Judul Buku : Wajah Otonomi Daerah di Era Reformasi (Segera terbit)
Penulis : Edgar Rangkasa
Instansi : Kementerian Dalam Negeri-RI
PHYLOPOP.com - Berdasarkan pandangan historis, politis, konstitusional, struktural maupun teknis operasional, kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia merupakan pilihan yang tepat atas dasar pertimbangan kondisi geografis Indonesia yang luas dan menyebar serta potensi dan karakteristik yang berbeda antar wilayah.
Perbedaan yang sangat jelas antara lain berupa keadaan demografis kependudukan multi etnis, multi kultural, adat, bahasa, keagamaan dengan heterogenitas yang tinggi dan secara faktual terbaur dalam keberadaan warga masyarakat dengan kondisi sosial ekonomis, tingkat kemajuan dan daya nalar yang berbeda-beda. Jauh sebelum Republik ini lahir, yaitu sejak wilayah Indonesia terbagi dalam kerajaan-kerajaan pola pendelegasian wewenang desentralisasi sudah dipraktekkan. Juga pada jaman penjajahan Belanda, kebijakan desentralisasi diberlakukan melalui Undang-Undang Desentralisasi tanun 1993. Begitu pula pada jaman penjajahan Jepang, kebijakan I desentralisasi tetap berlanjut dengan titik berat untuk mendukung kepentingan militer Jepang.
Dalam naskah penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 terlihat jelas pertimbangan-pertimbangan yang diajukan oleh para pendiri Republik ini dan terlihat indikasi yang tajam akan kesepakatan untuk melaksanakan kebijakan desantralisasi. Sejak Indonesia merdeka hingga kini, baik dengan Undang Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar sementara, diberlakukan kebijakan desentralisasi dalam samua Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 dan yang terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999.
Secara kostitusional, kebijakan desentralisasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 jelas terlihat dalam sistem Pemerintahan dimana di dalamnya juga mengatur tentang pamerintahan daerah. Dalam penjabarah Undang-Undang Dasar 1945, pada kebijakan desantralisasi senantiasa termuat dalam Ketatapan MPRS/MPR, khususnya dalam ketetapan tentang GBHN dan kebijakan Pemerintah yang tertuang dalam berbagai peraturan per undang-undengan, seperti Undang-Undang, Paraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai macam katentuan lainnya. Kebijakan desantralisasi manjadi landasan kuat untuk mengembangkan demokrasi di saluruh strata Pemerintahan, dimana demokrsai merupakan salah satu sendi utama dan prinsip dasar yang dianut olah Indonesia. Hal ini berarti memberi peluang yang luas terhadap peranan aktif elit politik daerah dan tokoh masyarakat serta segenap lapisan masyarakat disaluruh daerah dalam kahidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Memahami kebijaksanaan otonomi di Indonesia akan sangat sulit tanpa melihat latar belakang sejarah perkembangan otonomi itu sendiri. Pendekatan historis merupakan metode yang cukup relevan dalam melakukan analisis perkembangan otonomi di Indonesia. Pendekatan sejarah dimaksudkan untuk menunjukkan urutan perubahan yang terjadi dalam sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, yang dilihat pada dua periode, yaitu sistem Pemerintahan daerah periode sebelum kemerdekaan dan periode sesudah kemerdekaan.
Pemerintahan daerah yang bersifat relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-20 melalui Desentralisasi Wet tahun 1903, seluruh wilayah Hindia Belanda diperintah secara sentral oleh Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda di tangan jajahan. Disamping Pemerintahan yang dijalankan oleh pihak kolonial Belanda terdapat juga daerah-daerah yang disebut "Swapraja" yang diperintah oleh Raja-raja Pribumi setempat, yang diakui haknya untuk memerintah menurut adat tradisi di Wilayahnya, asalkan mereka mengakui dan tunduk kepada kekuasaan Pemerintah kolonial atas wilayan mereka. Raja-raja tersebut memerintah wilayahnya berdasarkan kontrak politik yang ditandatangani bersama wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas atas nama Pemerintah kolonial. Beberapa diantara kerajaan tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta, Bali dan Bone.
Pada tahun 1922, Pemerintah Kolonial Belanda mengadakan pambaharuan dengan maksud untuk memberikan otonomi lebih besar kepada daerah untuk menjadikannya lebih efektif dalam menjalankan aktivitas Pemerintahan daerah. Pembaharuan tersebut menyangkut hal-hal sebagai berikut :
a. Memberikan kewenangan lebih besar kapada pejabat-pejabat Balanda yang ditugaskan di wilayah Hindia Balanda.
b. Memberikan kawenangan yang lebih besar kepada pejabat-pejabat pribumi.
c. Melibatkan unsur-unsur progresif yang ada di daerah untuk ikut Berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan di daerah .
Perbedaan sistem Pemerintahan daerah sebalum dan sesudah Undang-Undang Desantralisasi Tahun 1903 terletak pada eksistensi Dewan Daerah. Sebelum Undang-Undang 1903, tidak tardapat otonomi Pemerintah daerah. Semua unit pemerintahan bersifat administratif dengan prinsip dekonsentrasi. Setelah Undang-Undang 1903 diterbitkan, didirikan Dewan Daerah pada unit-unit Pemerintahan tertentu, dimana kepada mereka diberikan kawenangan untuk menggali pendapat daerah guna membiayai Pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah diangkat dari tokoh-tokoh masyarakat setempat, namun Kepala Pemerintahan seperti halnya Gubernur, Presiden atau Bupati tetap diangkat oleh Pemerintah Pusat Belanda.
Pada tahun 1942, Pemerintah kolonial Belanda digantikan oleh pendudukan Jepang, yang memerintah sampai dengan tahun 1945. Sistem Pemerintahan dibawah tentara pendudukan Jepang diatur secara militer. Bagi wilayan Sumatra dan Jawa diperintah dibawah Angkatan Darat Jepang yang masing-masing bermarkas di Bukit Tinggi dan Jakarta. Di luar Jawa dan Sumatera diperintah di bawah Angkatan Laut Jepang dengan markas besar di Makassar.
Pada dasarnya sistem Pemerintahan dibawah kependudukan tentara Jepang, meneruskan sistem Pemerintahan yang diwariskan oleh Pemerintah kolonial Belanda. Unit-unit Pemerintahan daerah diatur berdasarkan prinsip dekonsentrasi dan semua kegiatan politik dilarahg. Ketika Jepang mendekati kekalahan mereka mengijinkan pendirian Dewan Daerah dengan tujuan untuk menggalang dukungan kepada bala tentara Jepang. Bahkan sebelum mereka menyerah, Jepang mendirikan suatu Komite yang beranggotakan pemimpin- pemimpin nasional untuk persiapan kemerdekaan Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang kemudian berakhir, seiring dengan kekalahan mereka dalam perang Asia Timur Raya dan rakyat Indonesia memproklamirkan Kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan proklamasi kemerdekaan tersebut dimulai era Pemerintahan daerah pasca kemerdekaan.
Posting Komentar