Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 22.06



Penulis     : Zainudin, M.Si.
Instansi    : Kementerian Dalam Negeri
Kelahiran : Bima NTB

(Ini adalah pandangan pribadi, tidak mewakili pihak dan instansi manapun).



MASIH ingat peristiwa pemblokiran Pelabuhan Sape Bima oleh warga dan Front Rakyat Anti Tambang pada bulan Desember 2011 yang lalu? Ya, aksi penguasaan dan penutupan segala aktivitas di Pelabuhan Sape Bima tersebut merupakan tindakan penolakan warga terhadap ijin eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam Bima yang diberikan Putera Mahkota “Jena Teke” Kesultanan Bima Ferry Zulkarmaen selaku jabatannya sebagai Bupati Bima. Ijin tersebut diberikan kepada perusahaan pertambangan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam seperti emas, timah, mangan dll.

Rasanya ingatan itu tidak akan hilang dari memori masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Bima. Betapa tidak, peristiwa berdarah itu telah menewaskan tiga orang warga sipil yang ikut berdemo akibat keganasan aparat kepolisian untuk menghalau dan membubarkan masa di pelabuhan Sape Bima. Meski Komnas HAM sudah mengindikasikan adanya pelanggaran HAM, kasus tersebut tidak pernah tuntas. Hilang menguap tanpa ada tindak lanjut yang berarti.

Puncaknya, tanggal 26 Januari 2012 warga melakukan aksi pembakaran Kantor Bupati Bima yang berada di Jalan Soekarno Hatta Raba Bima.

Pelabuhan Sape yang merupakan jalur penghubung utama pemasok kebutuhan pokok masyarakat NTT tersebut dikepung warga dan gerakan mahasiswa selama hampir sepekan sebagai reaksi diterbitkannya ijin pertambangan sekaligus wujud cinta dan kepedulian mereka pada kelestarian alam Bima. Bagi masyarakat Bima, alam bukan sekedar sumber kehidupan. Ia sudah menjadi bagian dari roh kehidupan dan nafas bagi adat dan kultur-budaya masyarakat.

Tuntutan yang tak didengar

Tak banyak yang mengetahui bahwa jauh sebelum peristiwa penolakan tambang di Pelabuhan Sape Bima terjadi, warga masyarakat Belo Bima sudah melakukan hal yang sama di Bandara Muhammad Salahuddin Bima. Hanya saja, saat itu tidak ada korban sehingga tidak sampai diekspose begitu luas oleh berbagai media sebagaimana yang terjadi pada peristiwa di Pelabuhan Sape Bima.

Saat itu, berdasarkan kesepakatan bersama mahasiswa asal Kecamatan Belo (Desa Diha, Ncera, Soki, Lido, Ngali dan Renda) dibentuklah sebuah wadah gerakan dengan nama Alam-Belo (Aliansi Masyarakat Belo).Pada tanggal 08 Oktober 2008, Alam Belo melakukan aksi pemblokiran Bandara Muhammad Salahuddin yang terletak di Kecamatan Palibelo Kabupaten Bima.

Aksi demontrasi yang melibatkan ratusan warga dan mahasiswa Belo tersebut hanyalah pemicu. Terbukti, hingga tiga pekan setelah demontrasi yang sempat mengganggu jadwal penerbangan tersebut terjadi, berbagai aksi lanjutan pun menyusul di berbagai tempat di Bima. Mahasiswa di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, dan Mataram pun melakukan hal yang sama.

Alam Belo merupakan gabungan dari beberapa aliansi seperti Aliansi Mahasiswa Ncera (Aman), Aliansi Mahasiswa Soki (Amas), Aliansi Mahasiswa Lido (Amal) dan Aliansi Mahasiswa Ngali (Amang). Mereka berasal dari unsur mahasiswa yang menimba ilmu di sejumlah kota besar, seperti Jakarta, Yogyakarta, Makassar, Mataram dan dari Kota dan Kabupaten Bima sendiri. Mahasiswa dari Kota Gudeg Yogyakarta tergabung dalam Forum Intelektual Muda Ncera Yogyakarta (FIMNY) yang saat itu bernama Komunitas Intelektual Muda Jogja Ncera (KIMJA), dari Makassar tergabung dalam Lintas Studi Ncera Makassar (LSN Makassar), dari Mataram tergabung dalam Forum Komunikasi Pelajar Mahasiswa Ncera Soki (FKP-MARASO), dan dari Kota/Kabupaten Bima tergabung dalam Ikatan Pelajar Mahasiswa Ncera Bima (IPMNB).

Alam Belo menuntut dua hal, yaitu : (1) pembatalan/pencabutan Keputusan Bupati Bima Nomor 555 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi Bahan Galian Mangan pada PT Anugerah Nusantara Resources; dan (2) pencabutan/pembatalan Nota Kesepakatan Masyarakat Desa Lido, Soki, Ncera Kecamatan Belo Kabupaten Bima yang ditandatangani sepihak oleh tiga kepala desa tersebut dan tiga orang yang bertindak selaku notulen.

Nota kesepakatan dan keputusan bupati tersebut menyetujui eksplorasi dan eksploitasi tambang emas dan mangan di kawasan pegunungan yang membentang di sepanjang kawasan Desa Diha, Ncera, Soki, Lido, Ngali dan Renda, dan ditandatangani sepihak tanpa pemberitahuan dan musyawarah dengan warga.

Kedua tuntutan tersebut pada dasarnya dipenuhi, namun ijin bertambangan di sejumlah kecamatan lain pun menyusul. Salah satunya ijin pertambangan di Kecamatan Sape yang memakan korban nyawa beberapa waktu yang lalu.

Rumah terendam banjir di Desa Soki Kecamatan Belo
Alam punya bahasa sendiri

Banjir bandang yang terjadi pada tanggal 26 Mei 2012 lalu menyapu paling tidak lima kecamatan sekaligus, yakni Belo, Palibelo, Woha, Langudu, dan Monta. Kerugian pun ditaksir mencapai puluhan miliar rupiah.

Kerugian ini dihitung dari sejumlah fasilitas dan sarana umum yang rusak seperti jalan, jembatan, selokan, fasilitas dam penampung air, termasuk juga rumah warga. Sedikitnya tiga rumah hanyut terbawa banjir, dan ribuan rumah yang tersebar disejumlah kecamatan direndam banjir sehingga merusak struktur bangunan yang sebagian besar merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Bahkan dikabarkan dua korban hanyut terbawa banjir dan sampai tulisan ini dimuat belum ada kabar penemuan mayatnya.

Kerugian terbesar dialami para petani dan pemilik sawah di sepanjang aliran sungai yang tersebar disejumlah kecamatan di Bima. Di setiap kecamatan, paling tidak ada empat aliran sungai besar di Bima. Banjir kali ini terjadi bersamaan dengan tibanya masa panen padi dan bawang merah. Kecamatan Belo, Palibelo, Woha, Langudu, dan Monta merupakan sentra penghasil padi dan bawang merah untuk Bima khususnya dan NTB umumnya. Bahkan sebagian hasil panen padi dan bawang merah (juga hasil panen lain seperti cabe merah, kacang-kacangan, ubi-ubian, jagung dll) tersebut dibawa ke NTT, Pulau Bali dan Jawa.

Jembatan penghubung antar desa di Lido terputus
Ribuan hektar padi dan bawang merah siap panen lenyap tersapu banjir bandang. Yang lebih parah lagi adalah sawah-sawah yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di sepanjang aliran sungai hilang dan membentuk sungai besar dua sampai tiga kali lebih lebar dari sungai sebelumnya. Bahkan di Kecamatan Langgudu dan Belo, aliran sungai yang melintasi Desa Lante, Diha, Ncera, Soki, Lido, Ngali dan Renda berubah aliran dan melintas bebas di puluhan hektar sawah warga. Sungai tersebut bahkan membentuk beberapa aliran baru (sungai baru) di daerah persawahan yang sebelumnya sama sekali bukan merupakan aliran sungai. Di sejumlah desa, tanah longsor pun siap menghantui warga.

Menurut pengakuan para tetua kampung, banjir kali ini adalah yang terbesar dalam sejarah banjir di Bima. Tak pernah mereka melihat alam begitu murka seperti yang terjadi pada akhir Mei 2012 lalu. Ini adalah bahasa alam menegur keserakan manusia yang mengutamakan kepentingan perut sendiri, terutama para penguasa daerah yang terlena keuntungan dan kenikmatan sesaat.

Gerakan atas nama alam

Menyadari kenyataan bencana yang terjadi, tiada alasan lain yang bisa diajukan warga dan mahasiswa serta pihak-pihak yang sepaham, untuk menolak masuknya perusahaan tambang. Satu-satunya alasan adalah sebagai upaya menyelamatkan alam dan lingkungan dari kerusakan.

Tidak sebatas melakukan aksi unjuk rasa, warga yang peduli bersama mahasiswa beberapa kali telah melakukan aksi jalan kaki mengunjungi masyarakat secara door to door. Sambil membawa selebaran himbauan penolakan terhadap tambang, warga dan mahasiswa melakukan aksi penyadaran akan pentingnya menjaga kelestarian alam untuk kelangsungan hidup masyarakat dan anak cucu kelak. Toh, kemurahan alam selama ini sudah lebih dari cukup memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Tanpa bencana, tanpa kelaparan.

Sambutan hangat dan simpati masyarakat belum banyak terlihat, namun dengan penjelasan yang sederhana dan masuk akal sedikit demi sedikit warga mulai memahami. Itupun harus berhadapan dengan nada sinis dari berbagai kalangan, terutama pihak pemerintah tingkat desa, kecamatan dan kabupaten yang pro tambang.

Gerakan sadar alam ini harus terus digalakkan dan wajib didukung semua pihak, mulai dari masyarakat itu sendiri, kalangan mahasiswa, pemuda desa, organisasi kemasyarakatan, organisasi politik dan terutama pemerintah desa/kelurahan, kecamatan dan kabupaten/kota.

Kesadaran dan cinta alam menjadi kuncinya. Kesadaran dan kecintaan tersebut pastilah berbuah kemakmuran. Alam itu maha kaya. Ia mampu memenuhi kebutuhan seluruh makhluk. Asalkan manusia merawat, memanfaatkan dan mengelolanya secara arif dan bijaksana. Bukan keserakahan, bukan ketamakan. Apalagi keserakahan dan ketamakan atas nama rakyat, atas nama pembangunan.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.