PHYLOPOP.com - Bagi Suku Mbojo yang merupakan suku masyarakat Bima, sarun tenun dikenal dengan nama Tembe Nggoli adalah sarung tenun tangan khas Bima, dibuat dari benang kapas (katun), dengan warna-warni yang cerah dan bermotif khas sarung tenun tangan.
Saat ini, Tembe Nggoli sudah diproduksi dalam berbagai macam corak dan motif. Ada yang ‘biasa’ (untuk dipakai sehari-hari), dan ada pula yang istimewa yang hanya dipakai pada acara-acara resmi, kawinan, sunatan dll.
Bagi orang Bima, memakai sarung lazim dilakukan baik oleh kaum pria maupun wanita. Wanita Bima memakai sarung sebagai ‘bawahan’, bahkan masih ada yang menggunakan dua buah sarung, yang disebut “rimpu”. Rimpu adalah cara wanita Bima menutup aurat bagian atas dengan sarung sehingga hanya kelihatan mata atau wajahnya saja. Rimpu yang hanya kelihatan mata disebut “rimpu mpida”.
Dibeberapa desa di Kecamatan Wera juga mampu membuat tembe nggoli dengan kualitas yang bagus diantarnya Desa Sangiang, Tadewa, Tawali dll, namun perlu sentuhan dan penangan pemerintah untuk mengembangkan menjadi industry rumahan.
Dikutip dari buku "Mengenal Alat Tenun Bima-Dompu" karya M. Hilir Ismail dan Alan Malingi, dijelaskan secara garis besar jenis dan fungsi kain tenun dapat dibagi dalam empat kelompok, yaitu Tembe (Sarung), Sambolo (Destar), Weri (sejenis ikat pinggang) dan Baju Mbojo.
Tembe (Sarung)
Tembe merupakan barang unggulan yang dihasilkan oleh para penenun. Selain untuk
diperjualkan oleh masyarakat lokal, juga menjadi salah satu jenis barang yang laris dalam perdagangan Nusantara, terutama pada era Kesultanan sampai dengan Tahun 1960-an. Berdasarkan jenis dan fungsinya Tembe dapat dibagi sebagai berikut;
1. Tembe Songke (Sarung Songket)
Bahan baku Tembe termasuk motif pada umumnya didatangkan dari luar daerah. Pada masa Kesultanan para pedagang Mbojo, membeli benang untuk Tembe Songke dari Malaka (Malaysia) dan Dana Bara (Singapura). Selain itu mereka membeli berbagai jenis kain dan asesoris untuk bahan baju adat.
Pada umumnya “Dana” (warna dasar) Tembe Songke berwarna merah hati, coklat dan hitam dengan motif garis-garis kecil dipadukan dengan motif Bunga Samobo, Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando, diperindah dengan hiasan benang emas dan perak.
Fungsi utama Tembe Songke adalah untuk dipakai oleh kaum wanita ketika mengikuti upacara adat dan upacara keagamaan. Idealnya Tembe Songke tidak boleh dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
2. Tembe Kafa Na’e
Tembe Kafa Na’e (sarung dari benang besar) dalam pengertian, sarung yang ditenun dari benang asli dibuat oleh para penenun sendiri. Bukan benang berasal dari luar seperti Tembe Songke.
Berdasarkan motifnya, Tembe Kafa Na’e dapat dibagi dalam beberapa jenis:
a. Tembe Bali Mpida
Bermotif garis-garis lurus kecil, yang akan membentuk kotak-kotak segi empat ukuran kecil. Karena itu Tembe Kafa Na’e diberi nama “Tembe Bali Mpida” (bermotif garis kecil). Warna dasar (Dana), ada yang hitam, coklat dan putih. Khusus “Tembe Sambea Kai” (sarung untuk sholat), harus berwarna dasar putih (Dana Lanta).
b. Tembe Bali Lomba
Adalah Tembe Kafa Na’e yang motifnya berupa garis-garis lurus yang besar dan akan membentuk kotak-kotak yang besar pula. Dana (warna dasar) sama dengan warna dasar Tembe Bali Mpida.
c. Tembe Me’e (Sarung Hitam)
Tembe Me’e termasuk jenis Tembe Kafa Na’e yang warna dasarnya Me’e (Hitam) tanpa motif. Sesuai dengan daerah atau Desa asal, Tembe Me’e terdiri dari tiga macam:
- Tembe Me’e Ntonggu, berasal dari Desa Ntonggu Kecamatan Palibelo.
- Tembe Me’e Wera, berasal dari Desa Nunggi Tawali dan Desa lain di Kecamatan Wera.
- Tembe Me’e Donggo, hasil tenunan kaum wanita Donggo Ipa di Kecamatan Donggo.
Warna me’e dibuat dari bahan lokal yaitu dari daun tumbuhan perdu yang oleh masyarakat disebut “Fu’u Dau” (Pohon Dau).
Jenis Tembe Kafa Na’e sudah langka, karena itu harganya mahal, terutama Tembe Me’e.
d.Tembe Nggoli
Tembe Nggoli mulai dikenal oleh masyarakat sekitar Tahun 1970-an. Sebenarnya proses pembuatan serta motif dan warna dasar sama dengan Tembe Kafa Na’e. Yang membedakannya adalah benang yang dipergunakan. Kalau Tembe Kafa Na’e ditenun dari benang asli Mbojo, sedangkan Tembe Nggoli ditenun dari benang buatan pabrik, berbentuk gulungan oleh masyarakat benang itu disebut “Kafa Nggoli” (Benang Nggoli). Tembe yang bahan bakunya dari Kafa Nggoli populer dengan nama “Tembe Nggoli”.
Sambolo (Destar)
Sambolo sejenis ikat kepala tradisional Mbojo, untuk kaum laki-laki. Pada masa lalu merupakan hasil tenun unggulan setelah Tembe. Mulai usia remaja, kaum laki-laki wajib memakai Sambolo, bila tidak dianggap melanggar adat.
Warna dasar Sambolo hampir sama dengan Tembe Songke, ada merah hati, coklat dan kuning. Dipadukan dengan motif Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando. Karena warna dan motif sambolo hampir sama dengan dengan Tembe Songke, maka dinamakan “Sambolo Songke”.
Sekitar Tahun 1950-an, muncul Sambolo jenis baru dibawa oleh para pedagang hewan (kuda) yang pulang dari Jawa Timur (Pasuruan, Probolinggo). Bahannya dari batik, cara memakainya sama dengan memakai blankon Jawa. Sambolo motif Jawa itu oleh masyarakat diberi nama “Sambolo Bate” (Sambolo Batik). Tetapi kurang digemari oleh masyarakat lokal.
Weri (Ikat Pinggang) dari Malanta Salolo
Ikat pinggang lokal Mbojo dengan warna kuning, merah hati atau coklat dengan motif Pado Waji, Kakando dan Bunga Satako.
Malanta Salolo, yaitu kain putih tanpa motif, ditenun khusus untuk bahan Salolo atau kain kafan.
Baju Mbojo
Sekitar tahun 1980-an, para penenun berhasil menambah koleksi hasil karya mereka, dengan menampilkan bahan baju, yang dikenal dengan “baju Mbojo”.
Bahan baju itu tetap tampil dengan warna dasar dan motif Mbojo, dikombinasikan dengan motif-motif baru yang tidak bertentangan dengan nilai dan norma adat. Warna merah tua, biru, coklat dan hijau tetap menjadi warna dasar. Dipadukan dengan Motif Bunga Samobo, Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando sehingga produksi baru itu tetap berwajah Mbojo.
Kehadiran Baju Mbojo, mendapat sambutan positif dari masyarakat, terutama golongan menengah ke atas. Pemerintah Daerah menganjurkan kepada seluruh lapisan masyarakat agar mencintai Baju Mbojo. Sayang bagi masyarakat lapisan bawah, sulit untuk menikmati atau memakai Baju Mbojo, karena harganya cukup mahal, tidak terjangkau oleh penghasilan mereka yang pas-pasan. Faktor harga ini pula yang menyebabkan Baju Mbojo kalah bersaing dengan jenis baju yang harganya jauh lebih murah.
Berikut Phylopop sajikan foto-foto proses pembuatan sarung tenun Bima yang masih menggunakan cara dan alat tradisional.
Saat ini, Tembe Nggoli sudah diproduksi dalam berbagai macam corak dan motif. Ada yang ‘biasa’ (untuk dipakai sehari-hari), dan ada pula yang istimewa yang hanya dipakai pada acara-acara resmi, kawinan, sunatan dll.
Bagi orang Bima, memakai sarung lazim dilakukan baik oleh kaum pria maupun wanita. Wanita Bima memakai sarung sebagai ‘bawahan’, bahkan masih ada yang menggunakan dua buah sarung, yang disebut “rimpu”. Rimpu adalah cara wanita Bima menutup aurat bagian atas dengan sarung sehingga hanya kelihatan mata atau wajahnya saja. Rimpu yang hanya kelihatan mata disebut “rimpu mpida”.
Dibeberapa desa di Kecamatan Wera juga mampu membuat tembe nggoli dengan kualitas yang bagus diantarnya Desa Sangiang, Tadewa, Tawali dll, namun perlu sentuhan dan penangan pemerintah untuk mengembangkan menjadi industry rumahan.
Dikutip dari buku "Mengenal Alat Tenun Bima-Dompu" karya M. Hilir Ismail dan Alan Malingi, dijelaskan secara garis besar jenis dan fungsi kain tenun dapat dibagi dalam empat kelompok, yaitu Tembe (Sarung), Sambolo (Destar), Weri (sejenis ikat pinggang) dan Baju Mbojo.
Tembe (Sarung)
Tembe merupakan barang unggulan yang dihasilkan oleh para penenun. Selain untuk
diperjualkan oleh masyarakat lokal, juga menjadi salah satu jenis barang yang laris dalam perdagangan Nusantara, terutama pada era Kesultanan sampai dengan Tahun 1960-an. Berdasarkan jenis dan fungsinya Tembe dapat dibagi sebagai berikut;
1. Tembe Songke (Sarung Songket)
Bahan baku Tembe termasuk motif pada umumnya didatangkan dari luar daerah. Pada masa Kesultanan para pedagang Mbojo, membeli benang untuk Tembe Songke dari Malaka (Malaysia) dan Dana Bara (Singapura). Selain itu mereka membeli berbagai jenis kain dan asesoris untuk bahan baju adat.
Pada umumnya “Dana” (warna dasar) Tembe Songke berwarna merah hati, coklat dan hitam dengan motif garis-garis kecil dipadukan dengan motif Bunga Samobo, Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando, diperindah dengan hiasan benang emas dan perak.
Fungsi utama Tembe Songke adalah untuk dipakai oleh kaum wanita ketika mengikuti upacara adat dan upacara keagamaan. Idealnya Tembe Songke tidak boleh dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
2. Tembe Kafa Na’e
Tembe Kafa Na’e (sarung dari benang besar) dalam pengertian, sarung yang ditenun dari benang asli dibuat oleh para penenun sendiri. Bukan benang berasal dari luar seperti Tembe Songke.
Berdasarkan motifnya, Tembe Kafa Na’e dapat dibagi dalam beberapa jenis:
a. Tembe Bali Mpida
Bermotif garis-garis lurus kecil, yang akan membentuk kotak-kotak segi empat ukuran kecil. Karena itu Tembe Kafa Na’e diberi nama “Tembe Bali Mpida” (bermotif garis kecil). Warna dasar (Dana), ada yang hitam, coklat dan putih. Khusus “Tembe Sambea Kai” (sarung untuk sholat), harus berwarna dasar putih (Dana Lanta).
b. Tembe Bali Lomba
Adalah Tembe Kafa Na’e yang motifnya berupa garis-garis lurus yang besar dan akan membentuk kotak-kotak yang besar pula. Dana (warna dasar) sama dengan warna dasar Tembe Bali Mpida.
c. Tembe Me’e (Sarung Hitam)
Tembe Me’e termasuk jenis Tembe Kafa Na’e yang warna dasarnya Me’e (Hitam) tanpa motif. Sesuai dengan daerah atau Desa asal, Tembe Me’e terdiri dari tiga macam:
- Tembe Me’e Ntonggu, berasal dari Desa Ntonggu Kecamatan Palibelo.
- Tembe Me’e Wera, berasal dari Desa Nunggi Tawali dan Desa lain di Kecamatan Wera.
- Tembe Me’e Donggo, hasil tenunan kaum wanita Donggo Ipa di Kecamatan Donggo.
Warna me’e dibuat dari bahan lokal yaitu dari daun tumbuhan perdu yang oleh masyarakat disebut “Fu’u Dau” (Pohon Dau).
Jenis Tembe Kafa Na’e sudah langka, karena itu harganya mahal, terutama Tembe Me’e.
d.Tembe Nggoli
Tembe Nggoli mulai dikenal oleh masyarakat sekitar Tahun 1970-an. Sebenarnya proses pembuatan serta motif dan warna dasar sama dengan Tembe Kafa Na’e. Yang membedakannya adalah benang yang dipergunakan. Kalau Tembe Kafa Na’e ditenun dari benang asli Mbojo, sedangkan Tembe Nggoli ditenun dari benang buatan pabrik, berbentuk gulungan oleh masyarakat benang itu disebut “Kafa Nggoli” (Benang Nggoli). Tembe yang bahan bakunya dari Kafa Nggoli populer dengan nama “Tembe Nggoli”.
Sambolo (Destar)
Sambolo sejenis ikat kepala tradisional Mbojo, untuk kaum laki-laki. Pada masa lalu merupakan hasil tenun unggulan setelah Tembe. Mulai usia remaja, kaum laki-laki wajib memakai Sambolo, bila tidak dianggap melanggar adat.
Warna dasar Sambolo hampir sama dengan Tembe Songke, ada merah hati, coklat dan kuning. Dipadukan dengan motif Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando. Karena warna dan motif sambolo hampir sama dengan dengan Tembe Songke, maka dinamakan “Sambolo Songke”.
Sekitar Tahun 1950-an, muncul Sambolo jenis baru dibawa oleh para pedagang hewan (kuda) yang pulang dari Jawa Timur (Pasuruan, Probolinggo). Bahannya dari batik, cara memakainya sama dengan memakai blankon Jawa. Sambolo motif Jawa itu oleh masyarakat diberi nama “Sambolo Bate” (Sambolo Batik). Tetapi kurang digemari oleh masyarakat lokal.
Weri (Ikat Pinggang) dari Malanta Salolo
Ikat pinggang lokal Mbojo dengan warna kuning, merah hati atau coklat dengan motif Pado Waji, Kakando dan Bunga Satako.
Malanta Salolo, yaitu kain putih tanpa motif, ditenun khusus untuk bahan Salolo atau kain kafan.
Baju Mbojo
Sekitar tahun 1980-an, para penenun berhasil menambah koleksi hasil karya mereka, dengan menampilkan bahan baju, yang dikenal dengan “baju Mbojo”.
Bahan baju itu tetap tampil dengan warna dasar dan motif Mbojo, dikombinasikan dengan motif-motif baru yang tidak bertentangan dengan nilai dan norma adat. Warna merah tua, biru, coklat dan hijau tetap menjadi warna dasar. Dipadukan dengan Motif Bunga Samobo, Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando sehingga produksi baru itu tetap berwajah Mbojo.
Kehadiran Baju Mbojo, mendapat sambutan positif dari masyarakat, terutama golongan menengah ke atas. Pemerintah Daerah menganjurkan kepada seluruh lapisan masyarakat agar mencintai Baju Mbojo. Sayang bagi masyarakat lapisan bawah, sulit untuk menikmati atau memakai Baju Mbojo, karena harganya cukup mahal, tidak terjangkau oleh penghasilan mereka yang pas-pasan. Faktor harga ini pula yang menyebabkan Baju Mbojo kalah bersaing dengan jenis baju yang harganya jauh lebih murah.
Berikut Phylopop sajikan foto-foto proses pembuatan sarung tenun Bima yang masih menggunakan cara dan alat tradisional.
Posting Komentar