Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 02.05
Akhir-akhir ini kita terjebak pada arus media utama sehingga Kompasiana sangat disibukkan dengan segala macam tulisan mengenai markus, Gayus, Susno, Nunung dan yang terakhir pro-kontra mengenai FA. Kenapa kita tidak berprinsip out of the box supaya tulisan kita tidak menjadi kembaran dari koran-koran yang kita beli sehari-hari.

Nah, di tengah-tengah pusaran arus berita utama akhir-akhir ini, saya mendapati ada satu isu yang sebenarnya patut mendapat perhatian dari kita karena bentuknya yang berupa lompatan jauh ke depan.Isu itu adalah mengenai diperbolehkannya penggunaan layar sentuh (e-voting) dalam proses pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30 Maret 2010 yang lalu.

KOMPAS edisi 31 Maret 2010 memberitakan bahwa Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan permohonan Bupati Jembrana I Gede Winasa beserta beberapa kepala dusun di Jembrana. Dalam permohonan itu mereka meminta MK menguji konstitusionalitas pasal 88 UU no 32 tahun 2004 yang mengatur pemberian suara dalam pilkada dilakukan dengan mencoblos surat suara.

MK menyatakan penggunaan e-voting konstitusional sepanjang tidak melanggar asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. MK menyatakan bahwa membatasi pemberian suara hanya dengan mencoblos berarti melanggar pasal 28C ayat 1 dan 2 UUD 1945 bahwa setiap negara berhak memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi demi meningkatkan kualitas hidup.

Dalam putusannya, MK memerintahkan bahwa penerapan metode e-voting harus disiapkan dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, perangkat lunak maupun kesiapan masyarakat.

Inilah yang saya sebut isu yang out of the box, isu yang berupa lompatan jauh ke depan. Bayangkan, puluhan tahun merdeka kita masih menggunakan metode jaman batu untuk melakukan pemilihan umum, yaitu dengan mencoblos kertas. Pemilu kemarin sudah lumayan, dengan mencentang he... he….

Metode pemilu selama ini sangat mahal, membutuhkan biaya lebih dari Rp 3 triliun, kata KPU untuk pemilu 2009 yang lalu. Bayangkan, untuk metode mencoblos kita membutuhkan miliaran rupiah untuk setiap kebutuhan logistik di bawah ini:

1. Paku (berapa ton paku yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh TPS ?)
2. Kertas suara (berapa ton kertas yang harus didistribusikan, berapa milyar uang yang diperlukan untuk membayar relawan pelipat kertas suara ?)
3. Kertas hasil rekapitulasi
4. Kertas untuk kartu pemilih
5. Bolpoint, untuk panitia mencatat
6. Kotak suara (berapa ton aluminium yang harus dipesan untuk membuat kotak suara ini ?)
7. Komputer dengan segala perangkatnya.

Waktu memakai metode "mencentang", sekian ton paku digantikan dengan sekian ton spidol he... he... sementara logistik yang lain tetap dibutuhkan.

Dengan logistik yang sedemikian besar dan beragam, wajar saja terjadi "kongkalikong" saat melakukan tender pengadaan. Maklum, uang yang beredar sampai triliunan rupiah (angka nolnya berjumlah 12 buah lho he... he...). Masih ingat nggak saat satu demi satu anggota KPU pada pemilu 2004 yang lalu masuk penjara karena terjerat kasus korupsi?

Itu kalau bicara logistik. Metode mencoblos atau mencentang juga rawan manipulasi, karena hasil rekapitulasi diperoleh secara manual, keakuratannya tergantung pada jujur enggaknya petugas KPU.

Kalau kita memakai e-voting, biaya pemilu bisa diharapkan lebih murah karena praktis biayanya hanya dipakai untuk beli komputer dengan segala perangkatnya lalu kertas hasil rekapitulasi saja. Kalau kertas suara hanya sekali pakai langsung dibuang. Kalau komputer sekali dipakai di pemilu ini masih bisa digunakan untuk pemilu berikutnya. Kalau teknologinya sudah ketinggalan jaman, bisa dijual dengan sistem lelang lalu duitnya digunakan untuk beli komputer yang lebih baru. Berdasarkan pengalaman di Jembrana, penggunaan e-voting ongkosnya lebih murah, hanya dua per tiga dari metode mencoblos atau mencentang.

Lalu bagaimana metode E-voting ini bekerja? Syarat pertama adalah Anda sudah harus memiliki KTP ber-chip (kayak kartu kredit itu lho), di situ semua database Anda akan disimpan, termasuk sidik jari Anda. Itulah sebabnya kartu pemilih (mungkin tinta juga) tidak perlu lagi karena Anda hanya bisa memilih kalau sidik jari Anda cocok dengan database yang ada. Anda pun tidak biasa 2 kali memilih karena seusai memilih yang pertama, sistem akan memblok Anda untuk curang memilih yang kedua.

Secara otomatis, software akan menghitung berapa jumlah suara yang masuk. Sehingga ketika waktu pemilihan sudah ditutup, Anda bisa langsung melihat hasil rekapitulasi yang dilakukan oleh komputer. Data di tingkat TPS ini akan otomatis masuk ke komputer di tingkat atas berikutnya sampai ke tingkat nasional, mungkin malah tidak perlu operator untuk mengetik data secara manual, persis seperti saat Anda mencetak buku tabungan Anda di bank setiap bulannya. Kalau listrik tidak byar-pet, malam harinya Anda sudah bisa melihat siapa pemenangnya.

Saya menceritakan di atas secara sederhana saja karena sebenarnya sistem yang di dalamnya sangat rumit. Saya sampaikan secara sederhana supaya kita bisa mendapatkan gambaran besar dan cita-cita mulianya. Kabupaten Jembrana sudah siap dengan metode ini karena mereka sudah punya KTP chip dengan nama J-card. Mereka juga sudah menggunakan E-Voting saat memilih kepala dusun.

Apa rakyat Jakarta tidak malu dengan rakyat Jembrana? Katanya provinsi kaya, penduduknya mayoritas berpendidikan menengah ke atas, tingkat ekonomi penduduknya juga mapan, sebagian penduduknya kemana-mana bawa laptop, tapi ternyata masih menggunakan paku saat melakukan pemilu he… he….

Sementara rakyat sederhana di kabupaten yang dulu kita enggak pernah dengar ternyata lebih canggih hidupnya, sudah biasa memegang kartu chip dan menggunakan layar sentuh kayak di negara-negara maju sono he... he....

Rakyat Jembrana, melalui keputusan MK ini sebenarnya juga sedang mengingatkan Kementerian Komunikasi dan Informasi, supaya daripada sibuk ngurusi RPP Penyadapan dan RPP Konten mereka lebih baik mempersiapkan e-voting untuk digunakan pada pemilu nasional berikutnya. Ayo, canggihan mana antara kita dengan rakyat Jembrana sekarang ini?

Saya sebenarnya juga malu lho he... he….Walaupun bekerja dengan peralatan modern dan teknologi canggih, saya juga masih menggunakan paku saat pilkada kemarin. Untung saya tidak masuk daftar pemilih saat itu sehingga tidak terlalu malu he... he.... dan untungnya saat sudah terdaftar di daftar pemilih untuk pilpres kemarin, sudah pakai spidol, lumayanlah ketimbang pakai paku. Gengsi dong he... he…. (kompas.com).

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.