Oleh: Moh Ilham A Hamudy*
Akhir Januari lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) mewacanakan kenaikan gaji bagi kepala daerah (KDH). Salah satu pertimbangan dalam wacana gaji adalah biaya hidup di beberapa daerah sudah meninggi. Kenaikan gaji itu sedianya akan ditentukan berdasar pada kondisi daerah. Menurut Menkeu, KDH yang daerahnya luas akan mendapatkan tunjangan yang berbeda dengan KDH di daerah kecil.
Bak gayung bersambut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pun bersemangat menyikapi wacana itu. Menurut Mendagri, pemerintah wajar menaikkan gaji seluruh KDH karena dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. “Struktur gaji yang tidak seimbang di antara pejabat pemerintahan menjadi alasan. Selain itu, tugas, beban, dan tanggung jawab KDH tidak berbanding lurus dengan nominal (besaran gaji) yang diterima,” demikian dikatakan Mendagri saat memberikan sambutan dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi se-Indonesia di Bandung 9 Maret.
Malah, Mendagri sudah membuat rancangan peraturannya, meskipun belum final. Menurut Mendagri, gaji gubernur lebih kecil dari gaji direktur utama BPD (Bank Pembangunan Daerah). Padahal, Dirut BPD ditunjuk oleh gubernur. Untuk itu, pemerintah sudah mempertimbangkan penaikan gaji gubernur yang sekarang ini mencapai Rp8,7 juta per bulan dan gaji bupati serta wali kota yang besarannya mencapai Rp6,2 juta per bulan.
Mencermati wacana itu, patutkah gaji KDH naik? Rasanya tidak. Pasalnya, ada beberapa pertimbangan yang mesti ditelaah secara saksama. Pertama, banyak daerah belum memiliki sumber dana sendiri. Sebagian besar daerah bergantung pada APBD. Sementara, 70 persen dana APBD digunakan untuk gaji, baik gaji untuk KDH maupun birokrasi (pegawai negeri sipil).
Kalau gaji KDH dinaikkan, maka beban APBD makin meningkat. Untuk mengurangi beban itu, pemerintah daerah harus mampu menambah alokasi pemasukkan sumber pendapatan asli daerah (PAD), sehingga tidak bergantung penuh kepada APBD. Hanya saja, setiap daerah berbeda karakteristiknya, ada yang punya sumber daya melimpah, ada yang tidak. Dan, ini tidak mudah.
Kedua, semua kebutuhan KDH sudah dipenuhi pemerintah daerah. Selain gaji, KDH dan wakilnya mendapatkan pelbagai tunjangan. Tunjangan ini dipergunakan untuk biaya operasional koordinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat, pengamanan, dan kegiatan khusus lain. Nikmatnya lagi, biaya operasional itu besarannya cenderung terus naik mengikuti kenaikan PAD.
Merujuk Peraturan Pemerintah (PP) No 109 Tahun 2000 Pasal 9 Ayat 2 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, klasifikasi tunjangan operasional KDH dan Wakilnya ditetapkan berdasarkan klasifikasi PAD. Bagi daerah yang memiliki PAD minimal 5 miliar, biaya penunjang operasionalnya yaitu paling rendah Rp125 juta dan paling tinggi adalah sebesar 3 persen dari total PAD. Sedangkan daerah yang memiliki PAD paling tinggi Rp150 miliar, maka biaya operasional KDH setidaknya Rp600 juta dan maksimal 0,15 persen dari total PAD.
Bila kita cermati komposisi keuangan KDH dan Wakilnya dalam PP itu, paling tidak ada beberapa item alokasi anggaran untuk KDH dan Wakilnya. Selain gaji pokok, tunjangan jabatan dan tunjangan lainnya, KDH dan Wakilnya berhak mendapatkan biaya rumah tangga, biaya pembelian inventaris rumah jabatan dan kendaraan, biaya pemeliharaan rumah jabatan dan perabot inventaris, biaya pemeliharaan kesehatan, suku cadang kendaraan, belanja BBM dan pelumas, variasi kendaraan, instalasi listrik, biaya pakaian dinas, serta biaya perjalanan dinas. Alhasil, gaji yang besarannya dianggap relatif kecil itu menjadi tidak tersentuh sama sekali, karena semua kebutuhan KDH sudah ditanggung pemerintah daerah.
Ketiga, pengalokasian biaya-biaya KDH dan Wakilnya selain gaji dan tunjangan jabatan, hampir tidak ada acuannya sama sekali dan tidak ada pula larangan bahwa semua biaya-biaya tersebut tetap dianggarkan dari tahun ke tahun. Rumusan aturan ini terkesan sangat elastis dan melebar, sehingga cenderung dalam praktiknya dapat dipahami sepihak dan subyektif. Apalagi, besarannya pun terbilang fantastik, tergantung besarnya PAD!
Sementara, selain biaya tersebut masih banyak tersedia biaya-biaya lain yang kesemuanya untuk menjalankan operasional pemerintahan daerah. Bahkan, dalam APBD pun dialokasikan belanja tidak terduga dengan anggaran relatif besar. Dengan sistem penganggaran seperti itu, APBD cenderung sangat mudah dialihkan untuk mengisi pundi-pundi mereka yang sedang berada pada posisi sebagai orang nomor satu dan nomor dua di setiap daerah. Malahan, pada batas-batas tertentu bisa dimanipulasi oleh KDH.
Keempat, kenaikan gaji tidak meredam kecenderungan nafsu korupsi beberapa KDH. Untuk kasus ini, menarik kita simak buku Koruptor Go to Hell (2010) karya Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Riyanto. Menurut Bibit, KDH kerap memanipulasi sumber-sumber keuangan di daerah guna mendapatkan pendapatan tambahan di luar gaji.
Banyaknya sumber pendapatan di luar gaji pokok (hidden-income alias gaji gelap), membuat banyak orang bernafsu untuk menjadi KDH. Gaji gelap yang mungkin diperoleh KDH, antara lain dari upah pungut pajak, fee dari perbankan bila menitipkan anggarannya ke suatu bank, sumbangan setiap pengusaha yang mendapatkan proyek, fee perizinan yang dikeluarkan, belum lagi fasilitas dan tunjangan-tunjangan lain, dan sebagainya.
“Permainan" lain untuk mendapatkan penghasilan adalah dengan penetapan besaran anggaran rumah tangga yang jumlahnya tidak wajar.
Contoh terkini disajikan oleh Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo 7 Maret 2011 lalu. Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan pidana 4,5 tahun penjara kepada Yusak dalam kasus korupsi dana APBD tahun anggaran 2006 dan 2007. Yusak terbukti menikmati dana dari pos mata anggaran Stabilitas Daerah, anggaran Bantuan Sosial, anggaran Operasional Kepala Daerah, dan dana Sekretariat Daerah APBD Boven Digoel.
Oleh karena itu, rencana kenaikan gaji bagi KDH jelas tidak patut. Pendapatan KDH sudah lebih dari cukup! Bahwa diperlukan sistem standarisasi dan ukuran gaji KDH, memang layak dipikirkan. Agar, tidak terjadi perbedaan mencolok antara upah dan beban kerja. Namun, bukan berarti dengan peningkatan gaji. Yang lebih penting dipikirkan saat ini adalah bagaimana membuat single salary system bagi KDH, pengaturan alokasi biaya operasional KDH yang rasional, dan menutup celah yang bisa dijadikan KDH sebagai hidden income guna mendapatkan pelbagai fee.
* Penulis adalah Peneliti Muda Badan Litbang Kementerian Dalam Negeri.
Posting Komentar