Penentuan arah kiblat adalah pengetahuan paling dasar yang diberikan pada kuliah ilmu falak. Pemahaman tentang bumi yang berbentu bola dan penentuan arah di permukaan bumi dengan menggunakan segitiga bola selalu diaplikasikan pada penentuan arah kiblat. Ilmu falak sebagai bagian astronomi termasuk ilmu tertua yang dikembangkan para ilmuwan Muslim dahulu awalnya untuk keperluan ibadah. Penentuan arah dan waktu menjadi perhatian ilmu falak, karenanya sangat berperan dalam memahami dalil syar’i terkait dengan arah dan waktu.
Awalnya cara menghitung arah kiblat dianggap rumit, karenanya hanya ahli falak yang dapat melakukannya. Tetapi kini, dengan berkembangkan komputer dan bahasa pemrograman, hitungan tersebut mudah dibuat dalam bentuk program aplikasi sehingga setiap orang dapat menghitung arah kiblat. Tinggal diajarkan cara menentukan arah sekian derajat itu menggunakan kompas atau bayangan matahari. Adanya GPS untuk menentukan koordinat tempat dan berfungsi pula sebagai kompas makin memberikan kemudahan.
Ahli falak memberikan alternatif lain yang paling mudah. Kalau di Masjidil Haram ada menara sangat tinggi dengan lampu sangat terang di puncaknya sehingga semua orang di banyak negara bisa melihatnya, maka kita akan sangat mudah menentukan arah kiblat. Cukup dengan melihat lampu di atas Masjidil Haram itu. Nah, ahli falak mengetahui ada lampu alami yang sangat terang yang pada saat-saat tertentu tepat berada di atas MAkkah, sekitar Masjidil Haram. Itulah matahari.
Pada sekitar tanggal 28 Mei dan sekitar 15/16 Juli tiap tahunnya pada saat tengah hari di Mekkah, matahari tepat berada di atas kepala. Pada saat itulah orang di Makkah tidak melihat bayangan mereka sendiri karena matahari tegak lurus di atas mereka. Tetapi di tempat lain di dunia yang bisa melihat matahari itu, ada bayangan benda yang bisa dijadikan pemandu arah kiblat.
Saat itulah seolah kita sedang melihat lampu sangat terang di atas Masjidil Haram dan garis bayangan kita menjadi petunjuk arah Masjidil Haram. Maka, berdasarkan dalil syar’i, hadapkanlah wajah kita saat shalat ke arah itu. Itulah arah kiblat. Sangat-sangat mudah. Tinggal lihat matahari dan bayangan sekitar pukul 16.18 WIB (28 Mei) atau 16.27 WIB (15/16 Juli).
Kalau kita ingin melaksanakan dalil syar'i QS 2:144, itulah saat yang paling tepat. Tak perlu rumus perhitungan segitiga bola. Tak perlu komputer. Tak perlu kompas. Cukup melihat matahari, kita saat itu menghadap ke arah Masjidil Haram. Kalau pun pada hari tersebut terganggu awan, plus minus 2 hari dari tanggal tersebut dan plus minus 5 menit dari waktu tersebut masih cukup akurat untuk menentukan arah kiblat karena perubahan posisi matahari relatif lambat.
Dengan berkembangnya teknologi satelit dan internet, maka kita sekarang bisa menentukan arah kiblat langsung dengan melihat citra satelit di lokasi yang kita kehendaki. Situs www.qiblalocator.com memberikan tanda garis merah yang mengarah ke arah ka’bah di Masjidil Haram. Kalau kita menggunakan laptop, cukup bentangkan layar laptop sesuah arah bangunan atau jalan di sekitar kita yang terekam pada citra satelit. Arah yang ditentukan dengan qiblalocator telah dibuktikan sama dengan hasil perhitungan menggunakan segitiga bola atau dengan bayangan matahari pada saat istimewa tersebut di atas.
Ketika implementasi dalil syar’i QS 2:144 dapat dilaksanakan secara tepat dan mudah dengan bantuan sains (ilmu falak) dan teknologi, haruskah kita mundur ke belakang sekadar ”menghadap ke arah barat”? Mestinya tidak, kecuali dalam kondisi kita tidak bisa menentukannya secara tepat. Masyarakat kita semakin cerdas. ”Arah Barat” dalam bahasa fisis-teknis mudah diartikan sekitar titik matahari terbenam, sekitar azimut 270 derajat. Kalau benar fatwa ”menghadap barat” itu dilaksanakan, berarti fatwa menuntun orang untuk menghadap ke arah Afrika. Dengan pengetahuan geografi sederhana pun, orang mudah melihat arah Barat Indonesia mengarah ke Afrika. Bukankah itu justru mengingkari QS 2:144 yang memerintahkan menghadap ke arah Masjidil Haram di Mekkah?
Mengarah ke titik Ka’bah atau Masjidil Haram kini bukan lagi masalah dengan bantuan ilmu falak dan teknologi. Apakah kalau menghadap ke titik Ka’bah berarti shaf kita melengkung? Ibarat kita membuat lingkaran, di dekat titik pusatnya garis lingkaran tersebut sangat melengkung. Itulah yang terjadi pada garis shaf di dalam lingkungan Masjidil Haram. Semakin jauh dari titik pusat lingkaran, garis lingkaran tampak semakin lurus, nyaris tidak dikenali lagi bentuk lengkungnya. Demikianlah garis shaf di tempat-tempat yang jauh dari Mekkah.
Kita sering terbawa pada kerumitan matematis (yang sebenarnya tidak perlu) ketika menginginkan akurasi tinggi dalam penentuan arah kiblat. Kesalahan satu derajat di Indonesia (yang berjarak sekitar 8000 km untuk Jawa Barat) bisa menyebabkan penyimpangan besar di Mekkah (sekitar 140 km pada jarak tersebut). Hal serupa bisa kita balikkan. Kalau di Indonesia ada shaf sangat panjang sepanjang 140 km (sekitar jarak Jakarta-Bandung), untuk menghadap ke titik ka’bah arahnya akan sama dengan deretan orang memanjang ke belakang sampai jarak 40 meter dari ka’bah, dengan sudut hanya sekitar 1 derajat. Jadi jangan membayangkan bila menghadap ke titik Ka’bah atau masjidil haram seolah garis shaf akan melengkung. (republika.co.id).
Awalnya cara menghitung arah kiblat dianggap rumit, karenanya hanya ahli falak yang dapat melakukannya. Tetapi kini, dengan berkembangkan komputer dan bahasa pemrograman, hitungan tersebut mudah dibuat dalam bentuk program aplikasi sehingga setiap orang dapat menghitung arah kiblat. Tinggal diajarkan cara menentukan arah sekian derajat itu menggunakan kompas atau bayangan matahari. Adanya GPS untuk menentukan koordinat tempat dan berfungsi pula sebagai kompas makin memberikan kemudahan.
Ahli falak memberikan alternatif lain yang paling mudah. Kalau di Masjidil Haram ada menara sangat tinggi dengan lampu sangat terang di puncaknya sehingga semua orang di banyak negara bisa melihatnya, maka kita akan sangat mudah menentukan arah kiblat. Cukup dengan melihat lampu di atas Masjidil Haram itu. Nah, ahli falak mengetahui ada lampu alami yang sangat terang yang pada saat-saat tertentu tepat berada di atas MAkkah, sekitar Masjidil Haram. Itulah matahari.
Pada sekitar tanggal 28 Mei dan sekitar 15/16 Juli tiap tahunnya pada saat tengah hari di Mekkah, matahari tepat berada di atas kepala. Pada saat itulah orang di Makkah tidak melihat bayangan mereka sendiri karena matahari tegak lurus di atas mereka. Tetapi di tempat lain di dunia yang bisa melihat matahari itu, ada bayangan benda yang bisa dijadikan pemandu arah kiblat.
Saat itulah seolah kita sedang melihat lampu sangat terang di atas Masjidil Haram dan garis bayangan kita menjadi petunjuk arah Masjidil Haram. Maka, berdasarkan dalil syar’i, hadapkanlah wajah kita saat shalat ke arah itu. Itulah arah kiblat. Sangat-sangat mudah. Tinggal lihat matahari dan bayangan sekitar pukul 16.18 WIB (28 Mei) atau 16.27 WIB (15/16 Juli).
Kalau kita ingin melaksanakan dalil syar'i QS 2:144, itulah saat yang paling tepat. Tak perlu rumus perhitungan segitiga bola. Tak perlu komputer. Tak perlu kompas. Cukup melihat matahari, kita saat itu menghadap ke arah Masjidil Haram. Kalau pun pada hari tersebut terganggu awan, plus minus 2 hari dari tanggal tersebut dan plus minus 5 menit dari waktu tersebut masih cukup akurat untuk menentukan arah kiblat karena perubahan posisi matahari relatif lambat.
Dengan berkembangnya teknologi satelit dan internet, maka kita sekarang bisa menentukan arah kiblat langsung dengan melihat citra satelit di lokasi yang kita kehendaki. Situs www.qiblalocator.com memberikan tanda garis merah yang mengarah ke arah ka’bah di Masjidil Haram. Kalau kita menggunakan laptop, cukup bentangkan layar laptop sesuah arah bangunan atau jalan di sekitar kita yang terekam pada citra satelit. Arah yang ditentukan dengan qiblalocator telah dibuktikan sama dengan hasil perhitungan menggunakan segitiga bola atau dengan bayangan matahari pada saat istimewa tersebut di atas.
Ketika implementasi dalil syar’i QS 2:144 dapat dilaksanakan secara tepat dan mudah dengan bantuan sains (ilmu falak) dan teknologi, haruskah kita mundur ke belakang sekadar ”menghadap ke arah barat”? Mestinya tidak, kecuali dalam kondisi kita tidak bisa menentukannya secara tepat. Masyarakat kita semakin cerdas. ”Arah Barat” dalam bahasa fisis-teknis mudah diartikan sekitar titik matahari terbenam, sekitar azimut 270 derajat. Kalau benar fatwa ”menghadap barat” itu dilaksanakan, berarti fatwa menuntun orang untuk menghadap ke arah Afrika. Dengan pengetahuan geografi sederhana pun, orang mudah melihat arah Barat Indonesia mengarah ke Afrika. Bukankah itu justru mengingkari QS 2:144 yang memerintahkan menghadap ke arah Masjidil Haram di Mekkah?
Mengarah ke titik Ka’bah atau Masjidil Haram kini bukan lagi masalah dengan bantuan ilmu falak dan teknologi. Apakah kalau menghadap ke titik Ka’bah berarti shaf kita melengkung? Ibarat kita membuat lingkaran, di dekat titik pusatnya garis lingkaran tersebut sangat melengkung. Itulah yang terjadi pada garis shaf di dalam lingkungan Masjidil Haram. Semakin jauh dari titik pusat lingkaran, garis lingkaran tampak semakin lurus, nyaris tidak dikenali lagi bentuk lengkungnya. Demikianlah garis shaf di tempat-tempat yang jauh dari Mekkah.
Kita sering terbawa pada kerumitan matematis (yang sebenarnya tidak perlu) ketika menginginkan akurasi tinggi dalam penentuan arah kiblat. Kesalahan satu derajat di Indonesia (yang berjarak sekitar 8000 km untuk Jawa Barat) bisa menyebabkan penyimpangan besar di Mekkah (sekitar 140 km pada jarak tersebut). Hal serupa bisa kita balikkan. Kalau di Indonesia ada shaf sangat panjang sepanjang 140 km (sekitar jarak Jakarta-Bandung), untuk menghadap ke titik ka’bah arahnya akan sama dengan deretan orang memanjang ke belakang sampai jarak 40 meter dari ka’bah, dengan sudut hanya sekitar 1 derajat. Jadi jangan membayangkan bila menghadap ke titik Ka’bah atau masjidil haram seolah garis shaf akan melengkung. (republika.co.id).
Posting Komentar