Korupsi di negeri ini nyaris sudah 'menyatu' dengan sistem kekuasaan, meskipun tentunya harus tetap diyakini bahwa masih ada peluang untuk membersihkan benalu korupsi dari roda birokrasi kekuasaan negara asal ada kemauan, komitmen, dan kejujuran dari semua pihak, khususnya para elite di lingkungan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Korupsi di negeri ini dalam cara pandang filsafat fondasionalisme dilihat sebagai dampak dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di lingkungan kekuasaan negara. Kekuasaan yang absolut ditambah lemahnya sistem pengawasan dan ketertutupan mekanisme penyelenggaraan kekuasaan telah membuka peluang terjadinya korupsi (absolute power tends to corrupt). Musuh terbesar dari upaya perwujudan kepemerintahan yang bersih (clean governance) adalah nihilisme atau absennya sistem pengawasan.
Kekuasaan yang tertutup dan jauh dari kontrol publik membawa pada hasrat subjek yang berkuasa untuk mendominasi dan memanipulasi. Dalam kondisi tersebut, Pierre Bourdieu mengajak untuk membongkar selubung dominasi menggunakan strategi praktis dengan cara mengobjektivasi subjek. Artinya, peluang untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif harus dieliminasi dengan menerapkan sistem pengawasan efektif pada setiap lini penggunaan wewenang (authority) pada pusat-pusat kekuasaan dan memperkokoh sistem saling mengawasi (checks and balances) antarporos-poros kekuasaan negara.
Belitan korupsi di lingkungan birokrasi kekuasaan eksekutif dapat diurai dengan menelusuri kembali rentang kendali (span of control) organisasi kekuasaan eksekutif (pusat/daerah), sambil mengefektifkan berbagai jalur pengawasan melalui kebijakan pengawasan terpadu yang puncaknya secara langsung dikendalikan presiden/wapres. Hal itu sangat penting mengingat gurita korupsi yang melilit birokrasi eksekutif sangat luas cakupannya. Korupsi di negeri ini kini menjadi rimba permasalahan yang kian tak jelas batas-batasnya dan cara menyelesaikannya. Sebuah kejahatan struktural yang di dalamnya berkelindan permainan posisi/kekuasaan, ambisi, amoralitas, penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan berakar pada apa yang oleh Nietzsche disebut kehendak berkuasa (the will of power). Nietzsche semasa hidupnya mengatakan bahwa hakikat dunia ini tak lain adalah kekuatan. Hidup adalah kumpulan kekuatan-kekuatan yang berada di bawah satu penguasaan.
Reduksi dalam pengungkapan jaringan mafia pajak dalam proses penegakan hukum berkelindan dengan transaksi kepentingan politik yang kian membawa hukum di negeri ini memasuki dunia kamuflase semiotik. Hukum telah menjadi sebuah fatamorgana (mirage), yaitu sebuah ontologi citraan dan semiotika yang dibangun di atas sebuah tanda dusta (false sign) atau kebohongan. Hukum telah menjadi penanda yang hampa (empty signifier) di saat konstitusi pun tak lagi sahih mengatur perilaku lembaga-lembaga negara dan aparat penegak hukum diperkuda hasrat epithumia, yaitu naluri irasional/instingtif sehingga bertekuk lutut di hadapan uang. Citra kamuflase (camouflage image) telah menjadikan hukum sekadar bersifat transaksional dan instrumental di bawah kendali aktor-aktor kepentingan politik dan ekonomi. Hukum dalam kamuflase semiotik hanya berganti-ganti permukaan tanda atau kulit luar (form), tetapi substansi di baliknya (content) tetap tak berubah.
Pengungkapan seluruh jaringan mafia pajak dengan kasus Gayus sebagai puncak gunung esnya dalam pandangan Ricoeur akan menarik garis hubungan sirkuler mutual (mutual-circular) antara fiksi bahwa pajak di negeri diwartakan sebagai instrumen kebijakan untuk melakukan redistribusi kesejahteraan (welfare redistribution/fungsi mengatur) dan realitas bahwa negeri ini kian salah urus dalam mengelola pajak dan kekayaan negara yang menjadikannya hanya menguntungkan oknum yang korup yang bersembunyi di balik birokrasi negara.
Pemilu kada yang seharusnya menjadi forum kedaulatan rakyat kini tak ubahnya sebuah arena kontestasi kekuatan yang distimulasi kehendak berkuasa dan di dalamnya tak jarang menghadirkan amoralitas permainan kekuasaan politik. Kalaulah demokrasi menjadi pembungkus dari pemilu kada, struktur perpolitikan yang tak terbiasa untuk melihat yang lain (baca: lawan politik) dari kedekatan dan dengan hati (passion), menjadikan pemilu kada sebuah pertarungan harga diri kelompok yang berkelindan dengan ambisi serta hasrat berkuasa. Padahal dalam pandangan Martin Heidegger bagaimana individu-individu menjadikan dirinya subjek yang mencintai kebebasan atau keberkuasaan dan mengakui hadirnya yang lain dengan penuh hormat dan kesanggrahan (hospitality) atau mengada di dunia dengan perhatian (care) menentukan kebusukan atau keharuman sebuah masyarakat.
Di lingkungan kekuasaan legislatif, benang kusut korupsi perlu diurai dengan membongkar struktur politik yang memicu terjadinya tindakan-tindakan koruptif. Sudah jamak diketahui bahwa sistem pemilu yang miskin nilai dan sarat jebakan money politic yang dipraktikkan selama ini telah menyebabkan para elite politik, baik di lingkungan legislatif maupun pada pucuk pimpinan eksekutif (pusat/daerah) terjerat siklus perputaran transaksi kepentingan politik dan ekonomi yang menyubordinasi demokrasi. Sistem pengawasan legislatif yang memungkinkan para anggota legislatif mengawasi langsung lembaga eksekutif sampai pada satuan tiga hierarki eksekutif pusat maupun daerah telah menyebabkan merebaknya korupsi yang disebabkan adanya simbiosis mutualisme antara legislatif dan eksekutif. Alhasil, demokrasi menjadi dangkal dan hukum menjadi instrumen untuk mengabsahkan transaksi kepentingan politik dan ekonomi tersebut pascaterpilih dalam jabatan-jabatan publik.
Di lingkungan yudikatif, korupsi masih sering terjadi karena tidak efektifnya sistem pengawasan, khususnya pengawasan internal, rendahnya penghargaan atas profesi dan habitus publik penegakan hukum yang sarat dengan perilaku koruptif. Siklus transaksi kepentingan politik dan ekonomi tak jarang juga merambah sampai ke ranah yudikatif. Hakim acap kali tak kuasa melawan infiltrasi kuasa ekonomi maupun politik dalam fungsi yudisial yang dijalankannya sehingga cukup banyak putusan tak sampai mengonstruksi keadilan sosial (social jusctice) yang diamanatkan sila kelima Pancasila dan konstitusi. Akibatnya, negara hukum yang dinisbatkan konstitusi sebagai karakter dari negeri ini kehilangan performanya dan telah menjadi negara kekuasaan (machtstaat) bahkan mafiastaat.
Berbagai faktor itu telah mendorong pengabaian tujuan dan nilai karena pada akhirnya yang menentukan adalah keputusan subjek yang berasal dari hasrat dan kepentingan politik maupun ekonomi. Rasio yang mendasari pilihan subjek-subjek tersebut adalah rasio instrumental, yaitu cara berpikir jangka pendek yang mendefinisikan kehidupan hanya atas dasar persaingan, kekuasaan, dan sikap-sikap pragmatis. Rasio instrumental mudah tergoda untuk melayani kepentingan-kepentingan tertentu, bahkan jika untuk hal itu etika dan norma hukum harus dilanggar.
Dalam kondisi rezim yang korup, Jacques Derrida menawarkan upaya untuk mendekonstruksi sistem yang korup dan menindas. Reformasi birokrasi dan sistem politik mendesak untuk segera dilakukan. Dalam konteks penegakan hukum, langkah tersebut perlu dilengkapi upaya untuk segera mengintegrasikan sistem pembuktian terbalik (shifting burden of proof) guna menutup peluang sekecil mungkin lepasnya perilaku koruptif para aktor kekuasaan publik di lingkungan trias politika negara dari jerat hukum. Berbagai tanda (sign,p>) yang menunjukkan lemahnya sistem kekuasaan perlu didekonstruksi dan selanjutnya direkonstruksi kembali antara lain: (pe)lemahan partisipasi karena pembatasan dan manipulasi, kekakuan sistem dan lemahnya koordinasi, diskresi tanpa batas serta tumpang tindih/konflik kewenangan (conflict of authority). Pengawasan yang dilaksanakan KPK harus diperkuat dengan merevitalisasi sistem pengawasan internal, fungsional maupun pengawasan publik melalui sistem keterbukaan informasi (open information system). Cara-cara itu memang memerlukan investasi waktu, dana, dan tenaga ditambah perlunya dukungan komitmen dari seluruh elemen bangsa. Namun, jika tidak segera dimulai, benang kusut korupsi akan kian sulit diurai.
Oleh Dr W Riawan Tjandra, SH, Mhum, Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Korupsi di negeri ini dalam cara pandang filsafat fondasionalisme dilihat sebagai dampak dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di lingkungan kekuasaan negara. Kekuasaan yang absolut ditambah lemahnya sistem pengawasan dan ketertutupan mekanisme penyelenggaraan kekuasaan telah membuka peluang terjadinya korupsi (absolute power tends to corrupt). Musuh terbesar dari upaya perwujudan kepemerintahan yang bersih (clean governance) adalah nihilisme atau absennya sistem pengawasan.
Kekuasaan yang tertutup dan jauh dari kontrol publik membawa pada hasrat subjek yang berkuasa untuk mendominasi dan memanipulasi. Dalam kondisi tersebut, Pierre Bourdieu mengajak untuk membongkar selubung dominasi menggunakan strategi praktis dengan cara mengobjektivasi subjek. Artinya, peluang untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif harus dieliminasi dengan menerapkan sistem pengawasan efektif pada setiap lini penggunaan wewenang (authority) pada pusat-pusat kekuasaan dan memperkokoh sistem saling mengawasi (checks and balances) antarporos-poros kekuasaan negara.
Belitan korupsi di lingkungan birokrasi kekuasaan eksekutif dapat diurai dengan menelusuri kembali rentang kendali (span of control) organisasi kekuasaan eksekutif (pusat/daerah), sambil mengefektifkan berbagai jalur pengawasan melalui kebijakan pengawasan terpadu yang puncaknya secara langsung dikendalikan presiden/wapres. Hal itu sangat penting mengingat gurita korupsi yang melilit birokrasi eksekutif sangat luas cakupannya. Korupsi di negeri ini kini menjadi rimba permasalahan yang kian tak jelas batas-batasnya dan cara menyelesaikannya. Sebuah kejahatan struktural yang di dalamnya berkelindan permainan posisi/kekuasaan, ambisi, amoralitas, penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan berakar pada apa yang oleh Nietzsche disebut kehendak berkuasa (the will of power). Nietzsche semasa hidupnya mengatakan bahwa hakikat dunia ini tak lain adalah kekuatan. Hidup adalah kumpulan kekuatan-kekuatan yang berada di bawah satu penguasaan.
Reduksi dalam pengungkapan jaringan mafia pajak dalam proses penegakan hukum berkelindan dengan transaksi kepentingan politik yang kian membawa hukum di negeri ini memasuki dunia kamuflase semiotik. Hukum telah menjadi sebuah fatamorgana (mirage), yaitu sebuah ontologi citraan dan semiotika yang dibangun di atas sebuah tanda dusta (false sign) atau kebohongan. Hukum telah menjadi penanda yang hampa (empty signifier) di saat konstitusi pun tak lagi sahih mengatur perilaku lembaga-lembaga negara dan aparat penegak hukum diperkuda hasrat epithumia, yaitu naluri irasional/instingtif sehingga bertekuk lutut di hadapan uang. Citra kamuflase (camouflage image) telah menjadikan hukum sekadar bersifat transaksional dan instrumental di bawah kendali aktor-aktor kepentingan politik dan ekonomi. Hukum dalam kamuflase semiotik hanya berganti-ganti permukaan tanda atau kulit luar (form), tetapi substansi di baliknya (content) tetap tak berubah.
Pengungkapan seluruh jaringan mafia pajak dengan kasus Gayus sebagai puncak gunung esnya dalam pandangan Ricoeur akan menarik garis hubungan sirkuler mutual (mutual-circular) antara fiksi bahwa pajak di negeri diwartakan sebagai instrumen kebijakan untuk melakukan redistribusi kesejahteraan (welfare redistribution/fungsi mengatur) dan realitas bahwa negeri ini kian salah urus dalam mengelola pajak dan kekayaan negara yang menjadikannya hanya menguntungkan oknum yang korup yang bersembunyi di balik birokrasi negara.
Pemilu kada yang seharusnya menjadi forum kedaulatan rakyat kini tak ubahnya sebuah arena kontestasi kekuatan yang distimulasi kehendak berkuasa dan di dalamnya tak jarang menghadirkan amoralitas permainan kekuasaan politik. Kalaulah demokrasi menjadi pembungkus dari pemilu kada, struktur perpolitikan yang tak terbiasa untuk melihat yang lain (baca: lawan politik) dari kedekatan dan dengan hati (passion), menjadikan pemilu kada sebuah pertarungan harga diri kelompok yang berkelindan dengan ambisi serta hasrat berkuasa. Padahal dalam pandangan Martin Heidegger bagaimana individu-individu menjadikan dirinya subjek yang mencintai kebebasan atau keberkuasaan dan mengakui hadirnya yang lain dengan penuh hormat dan kesanggrahan (hospitality) atau mengada di dunia dengan perhatian (care) menentukan kebusukan atau keharuman sebuah masyarakat.
Di lingkungan kekuasaan legislatif, benang kusut korupsi perlu diurai dengan membongkar struktur politik yang memicu terjadinya tindakan-tindakan koruptif. Sudah jamak diketahui bahwa sistem pemilu yang miskin nilai dan sarat jebakan money politic yang dipraktikkan selama ini telah menyebabkan para elite politik, baik di lingkungan legislatif maupun pada pucuk pimpinan eksekutif (pusat/daerah) terjerat siklus perputaran transaksi kepentingan politik dan ekonomi yang menyubordinasi demokrasi. Sistem pengawasan legislatif yang memungkinkan para anggota legislatif mengawasi langsung lembaga eksekutif sampai pada satuan tiga hierarki eksekutif pusat maupun daerah telah menyebabkan merebaknya korupsi yang disebabkan adanya simbiosis mutualisme antara legislatif dan eksekutif. Alhasil, demokrasi menjadi dangkal dan hukum menjadi instrumen untuk mengabsahkan transaksi kepentingan politik dan ekonomi tersebut pascaterpilih dalam jabatan-jabatan publik.
Di lingkungan yudikatif, korupsi masih sering terjadi karena tidak efektifnya sistem pengawasan, khususnya pengawasan internal, rendahnya penghargaan atas profesi dan habitus publik penegakan hukum yang sarat dengan perilaku koruptif. Siklus transaksi kepentingan politik dan ekonomi tak jarang juga merambah sampai ke ranah yudikatif. Hakim acap kali tak kuasa melawan infiltrasi kuasa ekonomi maupun politik dalam fungsi yudisial yang dijalankannya sehingga cukup banyak putusan tak sampai mengonstruksi keadilan sosial (social jusctice) yang diamanatkan sila kelima Pancasila dan konstitusi. Akibatnya, negara hukum yang dinisbatkan konstitusi sebagai karakter dari negeri ini kehilangan performanya dan telah menjadi negara kekuasaan (machtstaat) bahkan mafiastaat.
Berbagai faktor itu telah mendorong pengabaian tujuan dan nilai karena pada akhirnya yang menentukan adalah keputusan subjek yang berasal dari hasrat dan kepentingan politik maupun ekonomi. Rasio yang mendasari pilihan subjek-subjek tersebut adalah rasio instrumental, yaitu cara berpikir jangka pendek yang mendefinisikan kehidupan hanya atas dasar persaingan, kekuasaan, dan sikap-sikap pragmatis. Rasio instrumental mudah tergoda untuk melayani kepentingan-kepentingan tertentu, bahkan jika untuk hal itu etika dan norma hukum harus dilanggar.
Dalam kondisi rezim yang korup, Jacques Derrida menawarkan upaya untuk mendekonstruksi sistem yang korup dan menindas. Reformasi birokrasi dan sistem politik mendesak untuk segera dilakukan. Dalam konteks penegakan hukum, langkah tersebut perlu dilengkapi upaya untuk segera mengintegrasikan sistem pembuktian terbalik (shifting burden of proof) guna menutup peluang sekecil mungkin lepasnya perilaku koruptif para aktor kekuasaan publik di lingkungan trias politika negara dari jerat hukum. Berbagai tanda (sign,p>) yang menunjukkan lemahnya sistem kekuasaan perlu didekonstruksi dan selanjutnya direkonstruksi kembali antara lain: (pe)lemahan partisipasi karena pembatasan dan manipulasi, kekakuan sistem dan lemahnya koordinasi, diskresi tanpa batas serta tumpang tindih/konflik kewenangan (conflict of authority). Pengawasan yang dilaksanakan KPK harus diperkuat dengan merevitalisasi sistem pengawasan internal, fungsional maupun pengawasan publik melalui sistem keterbukaan informasi (open information system). Cara-cara itu memang memerlukan investasi waktu, dana, dan tenaga ditambah perlunya dukungan komitmen dari seluruh elemen bangsa. Namun, jika tidak segera dimulai, benang kusut korupsi akan kian sulit diurai.
Oleh Dr W Riawan Tjandra, SH, Mhum, Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Posting Komentar