Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 20.09
Oleh : Enghui Sahputra


Sekitar awal tahun 70-an dan hingga tahun 2009 ini komunikasi di kalangan anak muda pada umumnya acap kali memakai bahasa yang tidak baku. Belakangan penggunaan bahasa yang tidak resmi itu dikenal/disebut sebagai “bahasa gaul.” Akan tetapi, tak hanya generasi muda (ABG) saja yang kini fasih berkomat-kamit dengan bahasa gaul itu,anak balita dan orangtua-kakek-nenek pun demikian halnya (dapat kita lihat dan temukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun lewat tayangan sinetron atau film bioskop). Tampaknya apa yang kita kenal sebagai bahasa gaul itu sudah menjadi salah satu genre dalam dunia komunikasi dan masyarakat semisal di beberapa urban besar.

Bahasa yang merupakan bagian dari kebudayaan tiap bangsa manapun harus diakui sebagai suatu sistem yang kompleks dan luas serta besar peranannya. Namun tak jarang ia pun dapat membingungkan atau tak pasti. Untuk bahasa gaul sendiri, saya melihatnya sebagai suatu sarana komunikasi yang berpusat dan berkembang dalam “kelompok-kelompok” tertentu dan dalam konteks tertentu pula. Saya sendiri agak sulit untuk dapat mendefinisikan apa itu bahasa gaul. Adakah bahasa gaul itu adalah “bahasa pasaran”? Mungkin saja. Wikipedia mendefinisikannya demikian: “Bahasa prokem adalah penggunaan kata-kata dalam bahasa yang tidak resmi dan ekspresi yang bukan merupakan standar penuturan dialek atau bahasa.” Pada dasarnya perkembangannya pun cukup pesat baik secara tuturan/lisan maupun tertulis. Anggapan saya adalah bahwa “bahasa gaul” yang kita kenal secara umum sekarang ini tak hanya sudah menjadi trend semata melainkan juga bagian dari kebudayaan masyarakat Indonesia yang sudah berkembang begitu luasnya.

Asal Usul Bahasa Gaul dan Realitas yang Dialami
Bahasa lahir dari masyarakat. Dan saya mengamati perkembangan bahasa gaul sendiri sebagai suatu percampuran dari berbagai macam ragam budaya (suku) yang terdapat di beberapa daerah Indonesia (etnis/suku) dan dipengaruhi pula oleh budaya Barat, khususnya Amerika-Inggris. Bahasa prokem yang berkembang di Indonesia lebih dominan dipengaruhi oleh bahasa Betawi yang mengalami penyimpangan/pengubahsuaian pemakaian kata oleh kaum remaja Indonesia yang menetap di Jakarta (Wikipedia). Kemudian ia juga dapat dilihat sebagai suatu kreativitas dalam hal berbahasa (bertutur dan menulis). Filsuf Aristoteles mengatakan bahwa bahasa adalah suatu yang diwariskan dan alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan manusia. Dengan adanya bahasa gaul yang semakin berkembang dalam masyarakat Indonesia memperlihatkan eksistensinya yang tampak cukup kokoh.

Bahasa gaul awalnya lebih dikenal dengan sebutan prokem. Bahasa ini bermula dari kalangan preman yang kemudian diikuti oleh kaum waria dan anak-anak jalanan yang menjadikannya sebagai sarana rahasia dalam berkomunikasi di antara mereka. Dapat dikatakan bahasa gaul itu dapat merujuk pada sistem tanda/lambang, seperti “sandi morse” atau huruf Braille. Namun, oleh karena pemakaiannya yang terus-menerus dalam komunitas tersebut, orang-orang yang berada di sekitar mereka pun mulai dapat mengerti bahasa sandi atau bahasa rahasia itu. Dan jadilah kemudian bahasa gaul menjadi suatu bahasa yang tidak rahasia lagi. Malahan, di kalangan anak muda (ABG), mereka yang tidak dapat berbicara atau berbahasa gaul akan dicap kolot atau “gak gaul.”

Tuturan-tuturan kata/kalimat ataupun tulisan yang ada dimunculkan oleh seseorang yang lalu diikuti oleh yang lainnya. Atau dapat dikatakan ungkapan-ungkapan bahasa dengan gayanya masing-masing lahir dari hasil kesepakatan beberapa orang yang selanjutnya beredar dalam masyarakat luas. Bahasa gaul dalam hal ini digolongkan sebagai bahasa konvensional. Akhirnya bahasa gaul menjadi bahasa yang biasa—umum dan dikenal khalayak ramai.

Belakangan ini kata-kata tersebut malah dimodifikasi sedemikian rupa baik lisan maupun tulisan dan mungkin saja tetap memiliki makna (mempertahankan maksud sebenarnya).

Bahasa gaul berakarkan dari bahasa yang sudah baku. Tapi ada pula yang tidak terdapat dalam bahasa baku atau istilah-istilah baru diciptakan di luar bahasa induknya. Bagi para pemakainya (penutur/penulis) bahasa gaul yang baru diciptakan/ditemukan dengan segera dapat diterima, tapi di luar kalangan mereka mungkin saja tidak atau mengganggapnya sebagai sesuatu yang aneh, janggal ataupun berlebih-lebihan seperti fenomena berikut ini. Sekalipun demikian, kenyataannya hingga kini bahasa prokem ini tetap eksis.

Bahasa “Alay”: Sebuah Modifikasi Baru atas Bahasa Prokem
Dalam surat kabar The Jakarta Post tertanggal 28 Oktober 2009 halaman 25 (penulis: Dian Kuswandini) terdapat suatu artikel mengenai bahasa gaul dengan judul: “Messing with Letters.” Dalam artikel tersebut diangkat suatu fenomena yang terjadi dalam dunia kebahasaan (komunikasi) di kalangan anak muda. Sebenarnya gaya berbahasa yang dimaksud lebih mengarah pada bentuk tertulis atau “gaya tulisan yang kreatif”: disingkat, menggunakan huruf kapital dan kecil dan angka. Namun, adakalanya gaya tulisan ini dipakai dalam bertutur dengan orang lain (teman, sahabat, pacar, orang terdekat) dengan intonasi bunyi dan penekanan tertentu pula. Gaya bahasa tulisan yang dimaksud dikenal dengan sebutan “alay.” Artinya, seseorang yang menulis menggunakan suatu gabungan huruf-huruf atau angka-angka lebih besar dan lebih kecil. (Tinggal ketik di google: alay text generator akan langsung menemukan situsnya).

Beberapa contoh yang diberikan:
cXnK qMoh tO cKiDn A A A A a a a A a A a a a a … … (artinya: Sayang kamu tau sakitnya?)
mtHa apOn YoH………… (artinya: Minta ampun ya)
qoH tLuZ”an uCHA bWaD tTeP qEqEUh cXnK qMo………. (artinya: Aku terus terusan berusaha buat tetep kekeuh sayang kamu).

Saya sendiri ketika melihat rangkaian huruf-huruf yang demikian spontan bingung dan sekaligus kagum. Bingung, karena saya belum begitu familiar dengan gaya tulisan sejenis itu. Walau semasa SMU saya pernah mengenal bentuk yang lebih sederhana. Kagum, karena tulisan itu sebuah karya yang kreatif apa adanya. Akan tetapi dalam filsafat bahasa, gaya bahasa tersebut akan dinilai tidak bermakna sama sekali pun bila diujarkan (disuarakan). Agak aneh dan sulit pastinya bila dituturkan dalam bahasa lisan.
Tampak memang bahwa sebenarnya bahasa secara umum bersifat ambigu. Bahasa lisan dan tulisan sama-sama memiliki kelemahan. Adakalanya orang dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara gamblang, lugas dan mudah dengan bertindak tutur (lisan). Namun, ketika menuliskannya tak jarang ia menemukan kesulitan. Dan sebaliknya pula, tulisan dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh yang melihat atau membacanya, apalagi bila gaya tulisannya agak aneh. Sekalipun dibantu dengan tanda-tanda baca seperti titik, koma, tanda tanya, tulisan tidak dapat “mewujudkan” intonasi, jeda, tekanan kata, dan sebagainya.

Di lain sisi patut dihargai bahwa tulisan memiliki keefektifan seperti dalam surat-menyurat ataupun karena dapat diwariskan kepada generasi berikutnya, misal lewat buku.
Bahasa berawal dari bahasa lisan yang selanjutnya diturunkan ke dalam bentuk bahasa tulisan. Tapi dengan gaya tulisan di atas boleh dikata bahwa ada suatu pembalikan dimana bahasa tulisan hendak menurunkan bahasa lisan, tapi kenyataannya memiliki hambatan. Atas fenomena “berbahasa” ini, agaknya gaya bahasa “alay” hanya sesuai dipakai dalam konteks tertentu dan memiliki kesulitan ketika hendak dituturkan (disampaikan secara lisan).

H. Paul Grice menyampaikan pemikirannya yang dikenal sebagai teori psikologis makna. Bila merujuk pada teorinya Grice, tampaknya trend bahasa “alay” ini bisa digolongkan dalam bagian teori makna: “teori gambaran mental/ide” dan “teori penggunaan” yang disatukan sebagai “teori makna pembicara (“speaker’s meaning”). Teori mental menyampaikan bahwa suatu kata bermakna bila mengungkapkan gagasan, keyakinan, keinginan, gambaran mental dalam pikiran pembicara. Sedangkan teori penggunaan menyatakan bahwa makna suatu kata/ungkapan linguistik tergantung dari konteks pemakaiannya dalam suatu komunitas pemakai bahasa berdasarkan aturan ketatabahasaan masing-masing. Demikian bahwa teori makna pembicara tak hanya mengungkapkan maksud dari si pengujar, juga dapat dimengerti dan diterima oleh lawan bicaranya.

Penutup
Bahasa gaul dan jenis bahasa “alay” jelas telah menjadi salah satu bagian dari bahasa baku. Bahasa sesuatu yang abstrak dan tuturan atau pun tulisan merupakan suatu perwujudan daripadanya. Kiranya itu yang diwakili oleh keduanya.

Apakah genre bahasa yang seperti ini dapat dikatakan mengacaukan bahasa yang umumnya kita kenal hingga kini? Tapi, bukankah genre bahasa yang demikian selain menunjukkan kreativitas seseorang juga sebagai ekspresi diri atau sikap protes atas bahasa baku yang ada? Atau seperti yang dituliskan dalam artikel tersebut: “… gaya tulisan semacam ini, menandai sebuah pencarian atas identitas diri.” Dan sungguhkah genre bahasa ini tidak memiliki makna ataupun tujuan sama sekali? Kelemahannya jelas ada, seperti bahwa ada gagasan-gagasan/kata-kata tertentu yang tidak mempunyai gambaran mental atau isi yang terkait dengannya.

Salah satu pandangan J. A. Fishman atas hubungan antara bahasa dan kebudayaan yakni ‘bahasa sebagai simbol kebudayaan’ dapat ditegaskan bahwa bahasa gaul “alay” merupakan suatu ‘gerakan bahasa dan konflik bahasa menggunakan bahasa sebagai lambang dari penduduk untuk membela (atau menyerang) dan untuk mendukung (atau menolak) kebudayaan yang terkait dngan mereka.’ (J.B. Hari Kustanto, “Bahasa dan Kebudayaan," hlm. 1). Berhubungan dengan ini pendapat Claire Kramsch tampaknya dapat dirujuk di mana ia menyatakan bahwa ‘bahasa melambangkan realitas budaya’: “Para penutur mengidentifikasikan diri mereka sendiri dan orang lain melalui penggunaan bahasa mereka; mereka memandang bahasa mereka sebagai simbol identitas sosial mereka. Larangan penggunaannya sering kali dirasakan oleh para penuturnya sebagai penolakan terhadap kelompok sosial merek dan kebudayaan mereka.” (J.B. Hari Kustanto, “Bahasa dan Kebudayaan," hlm. 2).

Bahasa gaul telah begitu populer dalam lingkungan sosial masyarakat kita. Dan bukanlah sebenarnya tidak mungkin dalam masa ini dan ke depan ia akan menjadi bahasa yang diterima dalam khasanah bahasa nasional kita: Indonesia. Kamus bahasa gaul telah hampir sepuluh tahun beredar di pasaran (sejak 1999 oleh artis Debby Sahertian), dan menurut Dendy Sugono sebagai Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional “bisa saja istilah-istilah gaul dicantumkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)…”

Tulisan anak muda masa sekarang sebagian besar mengikuti gaya demikian, dan lebih sering dengan ketikan (pemakaian komputer). Menulis dengan memakai pensil atau bolpoint pun mulai perlahan-lahan menyusut. Lebih dari itu, jenis tulisang bersambung pun (tulisan indah) tampaknya sudah semakin jarang kelihatan.

Demikianlah bahasa gaul telah menjadi realitas konkret dalam kehidupan kita dan semakin hari menemukan penerimaannya dalam lingkungan sosial sehari-hari. Dan tampaknya sangatlah sukar untuk dapat menghindari pengaruhnya dalam kebudayaan kita masing-masing, terlebih lagi bila ada pendapat yang bertebaran bahwa setiap orang mesti “gaul.” Kenyataannya selama rentang tiga puluh tahun, bahasa gaul tetap dapat bertahan dan malahan diwariskan hingga saat ini.  

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.