Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 20.57

Lebih dari sepertiga atau 35,7 persen anak-anak Indonesia tergolong pendek atau pertumbuhan tinggi badannya tidak sesuai dengan umurnya, demikian menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2010.

"Ini termasuk permasalahan gizi kronis. Inilah tantangan gizi kedepan. Kita masih akan menghadapi masalah-masalah gizi kurang terutama yang kronis dan akut pada beberapa kelompok masyarakat kita," kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih pada peringatan Hari Gizi Nasional di Kementerian Kesehatan di Jakarta, Selasa kemarin.

Selain itu, Riskesdas 2010 juga menemukan tingkat prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 17,9 persen atau diperkirakan sekitar 3,7 juta balita mengalami kekurangan gizi kurang dan gizi buruk.

Meskipun angka tersebut mengalami penurunan daripada tahun 1990, dimana 31 persen balita mengalami gizi buruk, Menkes menyebut harus segera dilakukan tindakan. "Di sisi lain kita juga mengalami masalah gizi berlebih pada anak yang sampai saat ini merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit degeneratif," ujar Menkes.

Sekitar 14 persen balita ditemukan mengalami gizi berlebih yang disebut Menkes juga tidak baik karena akan meningkatkan risiko terhadap penyakit seperti penyakit jantung. Sebanyak 19,1 persen orang berusia diatas 15 tahun juga mengalami obesitas alias kegemukan dan ini juga dinilai sebagai masalah kesehatan masyarakat.

"Gizi berlebih ini terdapat pada seluruh keluarga, baik miskin atau kaya. Sebanyak 13,7 persen keluarga miskin mengalami kelebihan gizi dan 14 persen pada keluarga kaya. Jenis kelamin dan pendidikan orang tua juga tidak berpengaruh terhadap kasus gizi berlebih ini," papar Menkes.

Menkes telah meminta agar Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) dikaji kembali baik dari konsep maupun penerapannya untuk disesuaikan dengan perubahan gaya hidup dan lingkungan yang ada. "Jika (PUGS) ini diterapkan, masalah gizi bisa dicegah," katanya.

Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Nasional juga telah menetapkan tiga strategi dasar perbaikan gizi masyarakat yaitu menekankan upaya pemberdayaan dan pendidikan gizi, mendorong meningkatkan mutu konsumsi pangan, baik melalui pendekatan penganekaragaman pangan atau melalui fortifikasi pangan dan suplementasi gizi.

Sedangkan strategi ketiga adalah dengan meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan. Pada 2011, Menkes memprioritaskan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin atau masyarakat di daerah terpencil dan perbatasan.

* kompas.com

Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 19.16




Istana Kesultanan Bima

PHYLOPOP.com - Bima adalah sebuah daerah yang terletak di Pulau Sumbawa bagian timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Sejak tahun 2001, Bima dimekarkan menjadi Kota Bima dan Kabupaten Bima.



Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air. Akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan adalah berasal dari imigrasi yang dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena beragamnya etnis dan budaya yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun cukup beragam meskipun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragama Islam. Untuk itu, dalam pembahasan berikut akan kita lihat bagaimana keragaman masyarakat Bima tersebut, baik dilihat dari imigrasi secara etnis/budaya maupun secara agama/kepercayaan.



Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Etnis/Budaya



Orang Donggo



Orang Donggo dikenal sebagai penduduk asli yang telah menghuni tanah Bima sejak lama. Mereka sebagian besar menempati wilayah pegunungan. Karena letaknya yang secara geografis di atas ketinggian rata-rata tanah Bima, Dou Donggo (sebutan bagi Orang Donggo dalam bahasa Bima), kehidupan mereka sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang dijalani masyarakat Bima saat ini. Masyarakat Donggo mendiami sebagian besar wilayah Kecamatan Donggo sekarang, yang dikenal dengan nama Dou Donggo Di, sebagian lagi mendiami Kecamatan Wawo Tengah (Wawo pegunungan) seperti Teta, Tarlawi, Kuta, Sambori dan Kalodu Dou Donggo Ele.



Pada awalnya, sebenarnya penduduk asli ini tidak semuanya mendiami wilayah pegunungan. Salah satu alasan mengapa mereka umumnya mendiami wilayah pegunungan adalah karena terdesak oleh pendatang-pendatang baru yang menyebarkan budaya dan agama yang baru pula, seperti agama Islam, Kristen dan bahkan Hindu/Budha. Hal ini dilakukan mengingat masih kuatnya kepercayaan dan pengabdian mereka pada adat dan budaya asli yang mereka anut jauh-jauh hari sebelum para pendatang tersebut datang.

Kepercayaan asli nenek moyang mereka adalah kepercayaan terhadap Marafu (animisme). Kepercayaan terhadap Marafu inilah yang telah mempengaruhi segala pola kehidupan masyarakat, sehingga sangat sukar untuk ditinggalkan meskipun pada akhirnya seiring dengan makin gencarnya para penyiar agama Islam dan masuknya para misionaris Kristen menyebabkan mereka menerima agama-agama yang mereka anggap baru tersebut.



Sebagaimana umumnya mata pencaharian masyarakat yang masih tergolong tradisional, mata pencaharian Dou Donggo pun terpaku pada berladang dan bertani. Sebelum mengenal cara bercocok tanam, mereka biasanya melakukan perladangan berpindah-pindah, dan karena itu tempat tinggal mereka pun selalu berpindah-pindah pula (nomaden).



Berhadapan dengan kian gencarnya arus modernisasi, seiring itu pula pemahaman masyarakat akan kenyataan hidup berubah, terutama dalam hal pendidikan dan teknologi. Saat ini, telah sekian banyak para sarjana asli Donggo, yang umumnya menimba ilmu di luar daerah seperti Ujung Pandang, Mataram atau bahkan ke kota-kota di pulau Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, Jakarta dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan teknologi, yang akhirnya merubah pola hidup mereka seperti halnya dalam penggarapan sawah, kendaraan sampai alat-alat elektronik rumah tangga, karena hampir semua daerahnya telah dialiri listrik. Bahkan tak jarang mereka menjadi para penyiar agama seperti Da’i, karena telah begitu banyaknya mereka naik haji.



Dou Mbojo (Orang Bima)



Dou Mbojo yang dikenal sekarang awalnya merupakan para pendatang yang berasal dari daerah-daerah sekitarnya seperti Makassar, Bugis, dengan mendiami daerah-daerah pesisir Bima. Mereka umumnya berbaur dengan masyarakat asli dan bahkan menikahi wanita-wanitanya. Para pendatang ini dating pada sekitar abad XIV, baik yang datang karena faktor ekonomi seperti berdagang maupun untuk menyiarkan agama sebagai mubaliqh. Mata pencaharian mereka cukup berfariasi seperti halnya bertani, berdagang, nelayan/pelaut dan sebagian lagi sebagai pejabat dan pegawai pemerintah.



Karena pada awalanya mereka adalah pendatang, pada beberapa generasi kemudian banyak juga yang merantau ke luar daerah untuk berbagai keperluan dan profesi seperti sebagai pegawai daerah, sekolah/kuliah, menjadi polisi/tentara, pedagang dan lain-lain. Umumnya mereka memiliki sifat ulet, mudah menyesuaikan diri dengan orang lain dan bahkan kasar. Hingga kini, beberapa daerah di Bima mewarisi sifat-sifat kasar ini seperti beberapa daerah (desa) di Kecamatan Sape, Wera dan Belo.



Orang Arab dan Melayu



Orang Melayu umumnya berasal dari Minangkabau dan daerah-daerah lain di Sumatera, baik sebagai pedagang maupun sebagai mubaliqh. Jumlah mereka termasuk minoritas, yang pada awalnya menempati daerah Bima pesisir Teluk Bima, Kampung Melayu dan Benteng. Terdorong oleh arus mobilitas penduduk yang cukup cepat, sekarang sebagian besar mereka telah membaur ke wilayah-wilayah pedalaman bersama masyarakat Bima lainnya. Orang Arab pun datang ke Bima sebagai pedagang dan mubaliqh. Awal kedatangan orang Arab umumnya sangat tertekan karena harus berhadapan dengan masyarakat Bima yang sudah cukup variatif. Mereka dianggap sebagai pendatang dari Arab, sebagai turunan Nabi. Akan tetapi, sekarang mereka telah diterima secara umum dan wajar, serta telah berbaur dengan masyarakat. Bahkan seiring dengan kuatnya pengaruh Islam melalui Hadirnya Kesultanan Bima, termasuk orang Melayu, sering dianggap istimewa karena biasanya pada masa Kesultanan Bima mereka diangkat sebagai Da’I dan pejabat hadat di seluruh pelosok tanah Bima.




Pendatang Lainnya



Para pendatang ini datang dengan latar belakang yang beragam, dengan menduduki berbagai profesi baik sebagai pejabat pemerintah, polisi/tentara, pedagang/pengusaha. Mereka datang dari Jawa, Madura, Ambon, Flores, Timor-Timur, Banjar, Bugis, Bali, Lombok yang kemudian membaur dan menikah dengan masyarakat Bima asli maupun dengan para pendatang lain. Orang Cina tak ketinggalan memiliki peran di Bima, yang umumnya berprofesi sebagai pedagang. Dari segi jumlah, orang Cina memang tergolong kecil namun karena mereka sangat gigih dan ulet, peran mereka dalam perekonomian Bima sangat signifikan.



Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Agama



Kepercayaan Makakamba - Makakimbi



Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli penduduk Dou Mbojo. Sebagai media penghubung manusia dengan alam lain dalam kepercayaan ini, diangkatlah seorang pemimpin yang dikenal dengan nama Ncuhi Ro Naka. Mereka percaya bahwa ada kekuatan yang mengatur segala kehidupan di alam ini, yang kemudian mereka sebut sebagai “Marafu”. Sebagai penguasa alam, Marafu dipercaya menguasai dan menduduki semua tempat seperti gunung, pohon rindang, batu besar, mata air, tempat-tempat-tempat dan barang-barang yang dianggap gaib atau bahkan matahari. Karena itu, mereka sering meminta manfaat terhadap benda-benda atau tempat-tempat tersebut.



Selain itu, mereka juga percaya bahwa arwah para leluhur yang telah meninggal terutama arwah orang-orang yang mereka hormati selama hidup seperti Ncuhi, masih memiliki peran dan menguasai kehidupan dan keseharian mereka. Mereka percaya, arwah-arwah tersebut tinggal bersama Marafu di tempat-tempat tertentu yang dianggap gaib.



Masyarakat asli juga memiliki tradisi melalui ritual untuk menghormati arwah leluhur, dengan mengadakan upacara pemujaan pada saat-saat tertentu. Upacara tersebut disertai persembahan sesajen dan korban hewan ternak yang dipimpin oleh Ncuhi. Tempat-tempat pemujaan tersebut biasa dikenal dengan nama “Parafu Ra Pamboro”.



Agama Hindu



Sampai saat ini belum ada ilmuwan/sejarawan yang mengetahui secara pasti kapan agama Hindu memasuki tanah Bima. Dari sekian petunjuk peninggalan sejarah yang berupa prasasti maupun berbentuk monumen seperti prasasti Wadu Pa’a yang dipahat Sang Bima saat mengembara ke arah timur pada sekitar pertengahan abad VIII, bekas candi di Ncandi Monggo, prasasti Wadu Tunti di Rasabou Donggo, kuburan kuno Padende dan Sanggu di Pulau Sangiang, tidak meninggalkan informasi yang jelas tentang masuknya agama Hindu. Pengaruh agama Hindu dari Bali dan Lombok yang cukup besar tidak mampu menembus wilayah Bima, dan hanya bertahan di wilayah Dompu dan sebagian daerah Bolo.



Agama Kristen



Meskipun kehadiran agama Kristen kurang mendapat angin segar dari Dou Mbojo, namun agama ini berhasil menyebar dan dianut oleh masyarakat pendatang lainnya seperti pendatang dari Timur, anggota polisi/tentara, serta pendatang dari Jawa dan Manado, yang awalnya mendiami daerah-daerah pesisir Bima dan kemudian sebagian kecil lagi memasuki daerah-daerah pedalaman. Kehadiran mereka kemudian menambah kergaman dalam masyarakat Bima meskipun hanya bertahan dengan jumlah minoritas.



Agama Islam



Ada dua alasan utama kenapa agama Islam dapat lebih mudah diterima di Bima. Pertama, jauh-jauh waktu sebelum diberlakukannya secara resmi sebagai agama kerajaan, masyarakat Bima sudah lebih dulu mengenal agama Islam melalui para penyiar agama dari tanah Jawa, Melayu bahkan dari para pedagang Gujarat dari India dan Arab di Sape pada tahun 1609 M, yang awalnya dianut oleh masyarakat pesisir. Kedua, tentu saja peran yang penting adalah peralihan dari masa kerajaan kepada masa kesultanan yang kemudian secara resmi menjadikan agama Islam sebagai agama yang umum dianut oleh masyarakat Bima. Letak Bima yang strategis sangat mendukung sebagai jalur perdagangan antar daerah bahkan sebagai jalur transportasi perdagangan laut internasional, yang didukung dengan keberadaan Pelabuhan Sape.



Sebagai sultan pertama, diangkatlah Sultan Abdul Kahir pada tanggal 5 Juli 1620 M. Kehadiran sultan pertama ini memiliki pengaruh yang besar dan luas sehingga penyebaran agama Islam begitu cepat di seluruh pelosok tanah Bima, kecuali di daerah-daerah tertentu seperti di Donggo yang masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Selain Donggo, Wawo juga termasuk sebagian daerahnya masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Akan tetapi pada beberapa generasi berikutnya mereka mulai menerima Islam, karena makin sulitnya arus komunikasi terbatas internal yang mereka lakukan sesamanya serta makin meluasnya arus komunikasi masyarakat yang beragama Islam. Sekarang, bahkan di daerah-daerah yang dulu memegang kuat adat nenek moyang, hampir tidak dapat dibedakan antara Islam dengan budaya setempat.



Dalam kehidupan yang demikian Islami tersebut, muncul satu ikrar setia pada Islam dalam bentuk ikrar yang berbunyi “Mori ro made na Dou Mbojo ede kai hukum Islam-ku” yang berarti “Hidup dan matinya orang Bima harus dengan hukum Islam”. Untuk menguatkan ikrar ini, bahkan sejak masa kesultanan telah dibentuk sebuah majelis yang dikenal dengan Hadat Tanah Bima, yang bertugas dan bertanggung jawab selain sebagai sarana penyiaran dan penyebaran Islam juga sebagai penentu segala kebijakan kesultanan yang berdasarkan Islam dan kitabnya.



Penyebaran yang demikian pesat ini juga diiringi dengan berkembangnya berbagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam, serta masjid-masjid selalu menghiasi di setiap desa dan kampung tanah Bima. Pusat-pusat pengajaran Islam tidak hanya berkembang melalui pesantren, bahkan berkembang dari rumah ke rumah, terbukti dengan menjamurnya tempat pengajian di rumah-rumah yang menggema dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di setiap sore dan malam hari.



Pada masa kesultanan juga diperlakukan aturan yang bersendikan hukum Islam dengan mendirikan Badan Hukum Syara atau Mahkamah Tussara’iyah, yang mengirim pemuda-pemuda Bima untuk belajar memperdalam kaidah dan pengetahuan Islam ke Mekkah, Mesir, Istamul dan Bagdad serta negara-negara Arab lainnya. Bahkan telah diusahakan tanah wakaf di Mekkah untuk menjamu jamaah calon haji Dou Mbojo yang selalu membanjir setiap tahunnya untuk menunaikan ibadah haji.



Demikian dua model variasi masyarakat Bima yang kita lihat dan kenal sekarang. Meski demikian, pada perkembangan-perkembangan terakhir sebagaimana kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia umumnya dengan semakin cepatnya arus modernisasi, kenyataan tersebut secara perlahan mengalami perubahan. Berbagai perubahan tersebut semakin memberi warna, baik putih maupun hitam, dalam beragam kehidupan dan keseharian masyarakat Bima.



Sebagai penutup, yang kita harapkan bersama semoga masyarakat Bima tetap memegang teguh pada nilai-nilai kearifan yang sudah tertanam sejak nenek moyang mereka, dan benar-benar menghayati serta mengamalkan petuah “Maja Labo Dahu, Nggahi Rawi Pahu” dan petuah-petuah lainnya kapan dan di manapun mereka berada.



Zainudin, M.Si.

Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri

Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 00.37
Akhir-akhir ini, terdapat beberapa kasus yang menyedot perhatian kita terkait perkembangan penanganan hukum di negeri ini. Kasus-kasus tersebut terkait Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang yang disebutkan pertama terkait penanganan kasus korupsi yang melibatkan salah seorang oknum PNS Direktorat Pajak Kementerian Keuangan yang beberapa waktu yang lalu telah dijatuhi vonis 7 (tujuh) tahun penjara dan denda Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Kasus ini menempati urutan pertama yang telah berhasil menyedot perhatian seluruh rakyat Indonesia dan telah banyak menghabiskan energi bangsa, terutama aparatur penegak hukum. Kasus ini sekaligus “menampar” kredibilitas aparatur pemerintah dan para penegak hukum negeri ini.

Tentu, kita tidak menginginkan hal tersebut terulang kembali di masa mendatang. Untuk itu, kesadaran untuk membentengi diri dengan nilai-nilai moral, etika dan nilai-nilai agama yang masing-masing kita anut menjadi suatu keharusan. Bagaimana pun, kepercayaan rakyat tergantung kepada sukses tidaknya apartur pemerintah menakhodai negeri ini menuju kesejahteraan dan kemakmuran.

Kasus kedua terkait Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang menyeret seorang vokalis grup band ternama Ibu Kota dengan tuntutan 5 (lima) tahun penjara dan denda Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan penjara. Kasus ini pun tak kalah heboh. Begitu mudah anak-anak kita mendapatkan akses untuk menonton adegan yang tak senonoh tersebut, sementara pengawasan terhadap perilaku dan pergaulan mereka sangat jarang kita lakukan.

Satu hal yang perlu ditekankan bahwa cara efektif untuk mendidik anak-anak kita adalah melalui sifat keteladanan orang tua. Orang tua dituntut mampu memperlihatkan pada anak-anak tentang perilaku dan kebiasaan-kebiasaan terpuji seperti saling pengertian dan perhatian, sayang menyayangi, jujur dalam berucap, disiplin dengan waktu, patuh terhadap ajaran agama dan lain sebagainya. Tentu, masing-masing dari kita memiliki metode tersendiri dalam menamkan nilai-nilai keteladanan tersebut.

Yang terakhir terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kasus paling hangat yang tersaji akhir-akhir ini adalah 7 (tujuh) tuntutan Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring terhadap perusahaan asal Kanada, Research In Motion (RIM), melalui layanan Blackberry.

Tuntutan pertama Menkominfo selain berhubungan langsung dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, juga berhubungan dengan 2 (dua) Undang-Undang terkait lainnya, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.


Dua hal yang perlu saya tekankan terkait kasus terakhir. Pertama, kehadiran investor asing di Indonesia selain harus berdampak positif bagi perkembangan ekonomi, juga harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini tidak bisa ditawar lagi, karena selain untuk melindungi kepentingan rakyat dan pemerintah juga terkait kedaulatan bangsa dan negara.  

Kedua, saat ini dan ke depan, penguasaan terhadap teknologi informasi menjadi keharusan yang tak dapat dihindari aparatur pemerintah, terutama para pejabat struktural. Mengerti dan menguasai teknologi informasi selain mempercepat dan mempermudah dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, juga memungkinkan kita terhindar dari jerat hukum Undang-Undang tersebut di atas. Yang lebih penting, mengerti dan menguasai teknologi informasi akan berdampak pada capaian hasil pembangunan nasional yang optimal sehingga terwujud kesejahteraan rakyat.

Sementara itu, pendidikan dan pelatihan bagi aparatur yang dirancang untuk meningkatkan kompetensi aparatur pemerintah tidak mampu menjamin aparatur pemerintah terbebas dari jeratan korupsi, menguasai informasi dan transaksi elektronik, apalagi terhindar dari kasus pornografi.

Diklat semata sebagai stimulus awal untuk terus memperluas wawasan keilmuan dan memperkuat landasan mental spiritual serta agar mampu mengimbangi berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin dinamis dan terbuka. Untuk mampu melakukan semua itu, kesadaran diri sendirilah yang menjadi kuncinya sehingga kita terbebas dari jeratan korupsi, memahami dan menguasai teknologi informasi, dan terhindar dari kasus dan perilaku pornografi.

            Sisi lain yang perlu mendapat perhatian adalah memberi peluang kepada wanita untuk berperan aktif dalam proses pembangunan secara umum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun secara khususnya di lingkungan keluarga. Hal inilah yang menjadi motivasi awal Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 893.3-15 Tahun 2001 tentang Penataran Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Isteri Peserta Diklat Spama dan Spamen (Diklatpim Tingkat III dan II) di Jajaran Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, guna meningkatkan peran bagi isteri para pejabat struktural dalam proses pembangunan nasional. Untuk mengoptimalkan peran tersebut, Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut saat ini sedang dalam proses revisi dan diubah menjadi Orientasi Peranan Wanita dalam Pembangunan Keluarga dan Bangsa.

* Zainudin, M.Si. (Badan Diklat Kemendagri)
** Artikel ini penulis susun sebagai Sambutan Kepala Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri pada Penutupan Diklatpim Tk. III di Pusat Diklat Kemendagri Regional Yogyakarta, tanggal 22 Januari 2011.

Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 18.16

Kementerian keuangan akhirnya merilis 149 nama-nama wajib pajak yang selama ini menjadi klien Gayus Tambunan. ke 149 nama tersebut telah diserahkan ke Mabes Polri melalui Direktur Tipikor Mabes Polri Brigjen Pol Ike Edwin.

Berikut daftar 149 wajib pajak tersebut:

1.    A Rahma Abbas
2.    BUT Chevron Indonesia Company
3.    BUT MOHG Management Ple Ltd
4.    BUT Pan PAcific Hotel & Resort Indonesia
5.    BUT Tokyo Electic Power Service Co. Ltd
6.    CV Sumber Setia Abadi
7.    Justinus Christophorus K
8.    Muktar Widjaya
9.    PD Chander Vinod Laroya
10.  PT Adei Plantation & Industy
11.  PT Adijaya Perdana Mandiri
12.  PT Adisarana Indotama
13.  PT Aditarwan
14.  PT Adriwana Krida
15.  PT Aica Indonesia
16.  PT Aker Kvaerner Subsea
17.  PT Asahi Synchrotech Indonesia
18.  PT Asianagro Abadi
19.  PT Asianagro Lestari
20.  PT Astellas Pharma Indonesia.
21.  PT Berkatnugraha Sinarlestari
22.  PT Bina Sawit Abadi Pratama
23.  PT Bintang Utama Lestari
24.  PT Bosch Rexroth
25.  PT Branita Sandhini
26.  PT Bukaka Teknik Utama, Tbk
27.  PT Bumi Resources, Tbk
28.  PT Cakrawala Mega Indah
29.  PT Capri Nusa Raya
30.  PT Cemerlang Abadi
31.  PT Ceria Worley
32.  PT Chevron Oil Products Indonesia
33.  PT Chiyoda Internasional Indonesia
34.  PT Chuo Senko Indonesia
35.  PT Cibalitung Tunggal Plantation
36.  PT Citra Link Indonesia
37.  PT Daitoh Indar Indonesia
38.  PT Delta Dunia Petroindo Tbk
39.  PT Dowell Anadrill Schlumberger
40.  PT Dunia Express
41.  PT Dwi Prima Sembada
42.  PT Ecorn Consulting
43.  PT Excelcomindo Pratama
44.  PT Federal Internasional Finance
45.  PT Ford Motor Indonesia
46.  PT Fun Motor Indonesia
47.  PT Garuda Mataram Motor
48.  PT Golden Jaya Abadi
49.  PT Gotrans interna Express
50.  PT Hasil Jaya Industri
51.  PT Honda Trading Indonesia
52.  PT Horiguchi Engineering Indonesia
53.  PT IDS Manufacturing
54.  PT Indah Kiat Pulp & Paper,Tbk
55.  PT Indocement Tunggal Prakarsa
56.  PT Intan Anugerah Kharisma
57.  PT Internasional Paint Indonesia
58.  PT Iris Sistem Inforindo
59.  PT Jae Hyun Indonesia
60.  PT Jasa Teknologi Informasi IBM
61.  PT Java Tobacco
62.  PT Jewelry Design Services
63.  PT JVC Indonesia
64.  PT Kaisar Motorindo Industri
65.  PT Kapuas Prima Coal
66.  PT Karya Cipta Karsa
67.  PT KDDI Indonesia
68.  PT Kelola Jaya Artha
69.  PT Kido Jaya
70.  PT Kizone Internasional
71.  PT Kornet Trans Utama
72.  PT Koryo Internasional Indonesia
73.  PT Kuala Pelabuhan Indonesia
74.  PT Kurnia Jaya Raya
75.  PT Kyung Dong Indonesia
76.  PT Kyungseung Trading Indonesia
77.  PT Ladangrumput Suburabadi
78.  PT Les Nouveaux Premier Real Property Indonesia
79.  PT Marga Nusantara Jaya
80.  PT Maskapai Perkebunan Leidong West Indonesia
81.  PT Marta Unikatama
82.  PT McDermott Indonesia
83.  PT Meares Soputan Mining
84.  PT Mega Kemiraya
85.  PT Melputra Garmindo
86.  PT Mesitechmitra Purnabangun
87.  PT Metec Semarang
88.  PT Mintek Dendrill Indonesia
89.  PT Mitra Infoparama
90.  PT Mitraland Harapan Sejati
91.  PT Molten Aluminium Producer Indonesia
92.  PT Multi Adiguna Manunggal
93.  PT Multi Rentalindo
94.  PT Multi Teknindo Inforonika
95.  PT Nelco Indonesia
96.  PT Newmont Nusa Tenggara
97.  PT Nissan Motor Distributor Indonesia
98.  PT Nusantara Secom Infotech
99.  PT OOCL Indonesia
100. PT Otsuka Indonesia
101. PT Pacific Wira Berjaya
102. PT Panasia Intersarana
103. PT Pantja Motor
104. PT Paramita Praya Prawatya
105. PT Pertamina Bina Medika (Pertamedika)
106. PT Pertamina Dana Ventura
107. PT Petrosea,Tbk
108. PT Petrosea-PT Clough
109. PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills
110. PT Pitamas Data Sempurna
111. PT Plaza Adika Lestari
112. PT Prawarasa Gemilang
113. PT Praquaman Konsultan
114. PT Proses Meterial Indonesia
115. PT Prudential Life Assurance
116. PT Quadra Media Publika
117. PT Rakintam Electical
118. PT Reckitt Benckiser
119. PT Rezdamurni Putramandiri
120. PT RTM Viditra Pratama
121. PT Sanko Gosei Technologi
122. PT Santan Batubara
123. PT Sawit Asahan Indah
124. PT Serasu Autoraya
125. PT Sgwicus Indonesia
126. PT Sibalec
127. PT Sierad Produce,Tbk
128. PT SK Food Indonesia
129. PT SKF Indonesia
130. PT SMI Electronic Indonesia
131. PT Sun Motor Indonesia
132. PT Supramatra Abadi
133. PT Sura Indah Wood Industries
134. PT Sun Hyundai Motor
135. PT Symrise
136. PT Tapian Nadenggan
137. PT Tegar Exporindo Jaya
138. PT Teguh Sinar Abadi
139. PT Thiess Contractors Indonesia
140. PT Tjahja Sakti Motor
141. PT Trisula Ulung Medasurya
142. PT Triwahana Jaya
143. PT Tunas Baru Lampung, Tbk.
144. PT U Finance Indonesia
145. PT Wangsa Indra Permana
146. PT Widjaya Karya
147. PT Wiratama Dharma Perkasa
148. Suyardi Syukur
149. Toru Inoue

* Sumbawanews.com

Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 20.01
“Sebuah negeri bisa menciptakan demokrasi politik dalam tempo 6 (enam) bulan dan bisa membangun ekonomi pasar selama 6 (enam) tahun. Tetapi tumbuhnya masyarakat sipil (civil society) yang kuat di Eropa Timur butuh waktu 60 (enam puluh) tahun”.

Begitulah Ralf Dahrendorf, seorang Sosiolog Jerman, mengilustrasikan betapa beratnya membangun sebuah masyarakat sipil yang kuat. Masyarakat sipil adalah pondasi sebuah bangsa. Sebagai pondasi, ia mampu mempengaruhi bahkan menentukan banyak hal dalam perjalanan sebuah bangsa. Kondisi ekonomi yang stabil misalnya,  tercermin dari sejauh mana masyarakat sipil mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar dan merata. Begitupun keadaan sosial budaya sebuah bangsa, yang hanya bisa terbentuk dari ekspresi hubungan antar individu dalam masyarakat serta ke

biasaan-kebiasaan yang menyertainya. Hal senada bisa terjadi dalam perkembangan dan penguasaan teknologi informasi. Kemampuan masyarakat memanfaatkan serta menguasai perkembangan teknologi informasi merupakan cerminan kemampuan sebuah bangsa dalam menjawab berbagai perkembangan dan perubahan jaman. Dalam bidang politik, terbebasnya masyakarat dari kungkungan budaya politik parokial-kaula menuju budaya politik partisipasi menunjukkan kesiapan sebuah bangsa menerapkan konsep demokrasi. Hal ini berarti kedewasaan politik masyarakat terbentuk melalui pendidikan politik yang mengarah kepada penguatan kesadaran masyarakat untuk memberi peran dalam sistem politik.

Ketika sistem politik terbentuk, hal yang paling logis dilakukan pemerintah adalah membangun pondasi kelembagaan. Pondasi kelembagaan tersebut haruslah kokoh, dan pondasi tersebut  hanya kokoh melalui dukungan sumber daya aparatur yang handal, handal secara keilmuan dan penguasaan teknologi informasi maupun handal dari segi mental spiritual. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah memformulasikannya dalam sebuah formula penanaman ilmu, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan (budaya) yang dirancang secara apik untuk membentuk aparatur yang kompeten dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Formula tersebutlah yang dikenal dengan Pendidikan dan Pelatiahan (Diklat).

Diklat Aparatur dan Tuntutan Perubahan

Diklat aparatur mengarah kepada tujuan yang sinergis dengan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mampu melayani dengan baik, aparatur pemerintah perlu memiliki kompetensi yang memadai seiring kian majunya tingkat pemahaman masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tak jarang, kesadaran tersebut mengarah kepada tuntutan kepada pemerintah untuk menyediakan sumber-sumber ekonomi yang bersifat spontan. Hal ini wajar dalam sebuah negara demokratis. Untuk itu, manajemen pelaksanaan Diklat aparatur harus mampu menjawab berbagai kemungkinan, segala perubahan dan semua perkembangan yang ada.

Perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks berimbas pula kepada perubahan tuntutan masyarakat terhadap administrasi pemerintahan. Hal ini ditandai dengan perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan negara dan kebutuhan kompetensi yang dipersyaratkan bagi aparatur dalam menyelenggarakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian, setiap aparatur khususnya pejabat struktural harus meningkatkan kinerjanya agar dapat mengakomodasikan kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Secara eksplisit masyarakat menghendaki adanya sumber daya aparatur yang berkualitas dan profesional, terlebih tuntutan dunia usaha dan kecenderungan perkembangan teknologi informasi dalam persaingan global mengharuskan setiap aparatur mampu membaca situasi dan mengantisipasi perubahan yang akan terjadi, sehingga dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya tersebut dapat menyesuaikan terhadap kemajuan-kemajuan dan dinamika yang terjadi di masyarakat.

Hal ini sejalan dengan  arah reformasi administrasi publik yang mengacu pada terselenggaranya kualitas pelayanan aparatur pemerintah yang ditandai dengan terselenggaranya good governance dan otonomi daerah yang semakin mantap guna mengatasi permasalahan bangsa, dan mewujudkan masyarakat madani (civil society) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah ini semakin kompleks karena dihadapkan pula pada lingkungan strategis yang sangat dinamis, yaitu gelombang globalisasi yang menuntut kualitas dan kompetensi tersendiri dari aparatur pemerintah.

Untuk itu Kementerian Dalam Negeri sesuai tugas dan tanggung jawabnya sebagai institusi pemerintah yang bertanggungjawab terhadap suksesnya penyelenggaraan otonomi daerah memegang peran penting dalam peningkatan kualitas sumber daya aparatur, baik di Lingkungan Kemendagri maupun pemerintah daerah. penyelenggaraan Diklat menjadi syarat mutlak guna mewujudkan kualitas aparatur yang kompeten dan handal guna menjawab berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin cepat dan dinamis.

Diklat aparatur bertujuan untuk membekali peserta dengan pengetahuan dan keterampilan kepemimpinan, pembimbingan pelaksanaan pekerjaan, pengelolaan kegiatan, pelaksaan program secara terkoordinasi, tertib, efektif dan efisien. Selain itu, derasnya arus perubahan jaman dan tuntutan globalisasi yang melanda semua negeri, menuntut aparatur mampu membaca segala kemungkinan dan peluang yang ada. Untuk mampu membaca peluang dan kemungkinan tersebut, penguasaan ilmu pengetahuan yang diimbangi keahlian dalam memanfaatkan teknologi informasi menjadi sangat urgen.

Penyelenggaraan Diklat yang hanya berlangsung dalam hitungan hari memang menjadi kendala utama dalam hal penguasaan dan pemanfaatan teknologi informasi bagi aparatur. Terlebih dihadapkan pada sebagian besar aparatur, terutama di daerah, yang masih tergolong gaptek (gagap teknologi), mengingat segala keterbatasan yang tak terelakkan di sebagian besar pemerintah daerah. Menyadari keterbatasan tersebut, pelaksanaan Diklat harus mampu menstimulus pola pikir aparatur untuk mampu secara sadar mengisi kekosongan-kekosongan cakrawala yang dimilikinya.

Karenanya, Diklat semata sebagai suplemen dasar untuk terus memperluas wawasan keilmuan dan memperkuat landasan mental spiritual serta agar mampu mengimbangi berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin dinamis dan terbuka, sekaligus dalam rangka menjawab berbagai tantangan dan perubahan jaman yang semakin cepat.

Masalah Yang Belum Teratasi

Formulasi peningkatan kompetensi aparatur melalui Diklat diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor : 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Peraturan yang lahir pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, yaitu (1) adanya tuntutan nasional dan tantangan global untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance), (2) menciptakan sumber daya aparatur yang kompeten, dan sekaligus (3) mengatur kembali ketentuan tentang Diklat PNS sebagaimana telah diatur dalam PP Nomor 14 tahun 1994 tentang Diklat PNS. Peraturan ini jugalah yang menjadi dasar pelaksanaan Diklat Prajabatan Golongan I, II dan III, Diklatpim Tk. IV, III, II dan I, serta pelaksanaan Diklat teknis.

Dalam prakteknya, pelaksanaan Diklat-diklat tersebut mengalami berbagai masalah, baik masalah teknis maupun substantif. Masalah teknis dapat beragam bentuk, terutama belum adanya Sandar Operasional Prosedur (SOP) yang dijadikan pedoman pelaksanaan. Mengatasi keterbatasan tersebut, lembaga Diklat pemerintah menyusun pedoman pelaksanaan. Meski demikian, tidak semua lembaga Diklat melakukan hal yang sama sehingga sangat menyulitkan peserta Diklat. Tidak adanya SOP tersebut semakin rumit ketika dihadapkan pada pemerintah daerah yang jauh dari akses informasi dan berpeluang pada tidak tercapainya tujuan Diklat akibat terabaikannya hal-hal yang bersifat teknis sekalipun.

Riil masalah teknis tersebut beragam bentuk. Mulai dari prosedur penetapan dan pemanggilan peserta, pakaian dan kelengkapan yang harus dibawa, kapan peserta harus melapor dan berada di tempat Diklat, persyaratan administrasi peserta terutama berupa surat tugas dan kelengkapan surat keterangan kesehatan, kepastian jadwal pembelajaran, kelayakan fasilitas Diklat, penyediaan materi Diklat, absensi peserta dan para Widyaiswara/tenaga pengajar, bagaimana menghubungkan kepentingan peserta dengan penyelenggara, ketentuan ijin dan meninggalkan tempat Diklat, keharusan menginap atau tidak di tempat Diklat sampai kepada evaluasi dan pemberdayaan lulusan Diklat. Masalah-masalah teknis ini menjadi sangat kompleks terutama dalam pelaksanaan Diklat yang berdurasi panjang seperti Diklat Prajabatan dan Diklat Kepemimpinan.

Masalah lain terkait akreditasi lembaga diklat, terutama ketika Diklat tersebut dilaksanakan oleh lembaga Diklat pemerintah yang belum terakreditasi oleh Instansi Pembina. Sebagaimana amanat PP Nomor 101 tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS, Diklatpim Tk. IV, Tk. III dan Tk. II hanya dapat dilaksanakan oleh lembaga Diklat Pemerintah yang sudah terakreditasi, sementara Diklatpim Tk. I dilaksanakan oleh Instansi Pembina, yaitu LAN-RI. Lahirnya peraturan ini kemudian menjadi polemik yang berkepanjangan antar lembaga Diklat pemerintah, terutama LAN-RI sebagai Instansi Pembina dengan lembaga-lembaga Diklat Kementerian dan Non-Kementerian. Sebagaimana Keputusan Kepala LAN Nomor 194/XIII/10/6/2001 tentang Pedoman Akreditasi dan Sertifikasi Lembaga Diklat PNS Pasal 2 ayat (1) dan (2), akreditasi dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kelayakan lembaga Diklat dalam penyelenggaraan jenis dan dan jenjang Diklat tertentu. Unsur penilaiannya adalah keseluruhan komponen dari unsur-unsur kelembagaan Diklat, program Diklat, SDM penyelenggara Diklat, dan Widyaiswara. Artinya, LAN-RI memiliki kewenangan penuh untuk menentukan layak tidaknya sebuah lembaga Diklat dalam penyelenggaran Diklat, baik lembaga Diklat yang ada di Kementerian dan Non-Kementerian/Lembaga maupun Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Koordinasi dan Sinkronisasi Diklat

Beberapa kendala yang masih mengganjal khususnya terkait pembinaan aparatur melalui Diklat di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah adalah muatan beberapa Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) yang sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan dan perubahan yang ada serta adanya berbagai hal yang belum terakomodir dalam beberapa Kepmendagri tersebut. Untuk itu, revisi Kepmendagri menjadi pilihan yang mendesak untuk dilakukan. Saat ini Badan Diklat Kemendagri tengah merevisi paling tidak 2 (dua) Permendagri dan 1 (satu) Kepmendagri. Peraturan yang dimaksud adalah Kepmendagri Nomor 38 Tahun 2002 tentang Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan dan Kepemimpinan di Jajaran Departemen Dalam Negeri dan Daerah, Permendagri Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Rumpun Pendidikan dan Pelatihan Teknis Substantif Pemerintahan Daerah, dan Kepmendagri dan Otda Nomor 893.3-15 Tahun 2001 tentang Penataran Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Isteri Peserta Diklat Spama dan Spamen (Diklatpim Tingkat III dan II) di Jajaran Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.

Pertama, revisi Kepmendagri Nomor 38 Tahun 2002 tentang Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan dan Kepemimpinan di Jajaran Departemen Dalam Negeri dan Daerah dirasa sangat perlu untuk memenuhi persyaratan kompetensi dalam pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan pemenuhan persyaratan kompetensi jabatan struktural melalui Diklat Prajabatan dan Kepemimpinan yang berkualitas. Selain itu, Diklat yang berkualitas tersebut perlu diselenggarakan oleh lembaga Diklat yang juga berkualitas, yang dilakukan secara terkoordinasi dan berkesinambungan dengan memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan.

Koordinasi dan kesinambungan yang diusung melalui revisi Kepmendagri Nomor 38 Tahun 2002 terkait dengan Seleksi (terutama Seleksi Calon Peserta Diklatpim Tk. IV dan III), pola penyelenggaraan Diklat, akreditasi lembaga Diklat, pemanggilan peserta sampai kepada penerbitan Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP) dan nomor registrasi. Perhatikan diagram berikut :


Revisi ini mengakomodir beberapa hal yang belum sinkron dan tidak termuat dalam Kepmendagri Nomor 38 Tahun 2002, yang meliputi Diklat Prajabatan Golongan I, II dan III, Diklatpim Tk. IV, III, II dan I serta terkait akreditasi lembaga Diklat. Beberapa hal krusial yang perlu direvisi di antaranya :

1.     Diklat Prajabatan Golongan I dan II : Kurikulum dan materi pokok tetap ditentukan oleh Instansi Pembina, tetapi dengan pertimbangan untuk memuat materi Muatan Teknis Substansi Lembaga yang meliputi Muatan Pemerintahan Dalam Negeri oleh Kemendagri dan Muatan Lokal oleh Provinsi, Penandatanganan STTPP dikembalikan pada pimpinan lembaga Diklat terakreditasi, nomor registrasi dikembalikan kepada Instansi Pembina, evaluasi pasca Diklat dilakukan oleh lembaga Diklat Provinsi, laporan pelaksanaan Diklat perlu disampaikan pada Badan Diklat Kemendagri dan Instansi Pembina, dan perencanaan Diklat dilaporkan ke Instansi Pembina dan Badan Diklat Kemendagri, serta Badan Diklat Kemendagri mengeluarkan ijin prinsip penyelenggaraan Diklat bagi lembaga Diklat yang baru berdiri.
2.     Diklat Prajabatan Golongan III : kurikulum nasional oleh Instansi Pembina dan Muatan Teknis Substansi Lembaga oleh Badan Diklat Kemendagri dan lembaga Diklat Provinsi, penandatanganan STTPP dikembalikan pada pimpinan lembaga Diklat terakreditasi, nomor registrasi oleh lembaga Diklat Provinsi yang bersangkutan dengan melapor pada Badan Diklat Kemendagri dan Instansi Pembina, evaluasi pasca Diklat oleh Instansi Pembina bersama Badan Diklat Kemendagri dan lembaga Diklat Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan laporan pelaksanaan dan perencanaan Diklat kepada Badan Diklat Kemendagri dan Instansi Pembina.
3.     Diklatpim Tk. I tidak banyak berubah kecuali pada pada seleksi calon peserta Diklat yang sebelumnya hanya oleh Instansi Pembina, perlu melibatkan Badan Diklat Kemendagri dan lembaga Diklat Provinsi.
4.     Diklatpim Tk. II : untuk seleksi calon peserta masih senada dengan Diklatpim Tk. I, sementara dalam mekanisme penyelenggaraan dilakukan oleh Instansi Pembina dengan melibatkan Badan Diklat Kemendagri, dan yang lain tidak banyak berubah.
5.     Diklatpim Tk. III : seleksi calon peserta Diklat dilakukan oleh Badan Diklat Kemendagri melibatkan Instansi Pembina dan Tim Seleksi Peserta Diklat Instansi (TSPDI) Provinsi dan Kabupaten/Kota, nomor registrasi oleh Badan Diklat Kemendagri melibatkan lembaga Diklat Provinsi dan melapor ke Instansi Pembina, mekanisme penyelenggaraan oleh Instansi Pembina bersama Badan Diklat Kemendagri dan lembaga Diklat Provinsi dan Kabipaten/Kota, laporan pelaksanaan Diklat disampaikan kepada Instansi Pembina dan Badan Diklat Kemendagri, dan perencanaan Diklat oleh Badan Diklat Kemendagri.
6.     Diklatpim Tk. IV : seleksi calon peserta Diklatpim oleh lembaga Diklat Provinsi melibatkan TSPDI Kabupaten/Kota, STTPP oleh lembaga Diklat Provinsi  melibatkan TSPDI Kabupaten/Kota, nomor registrasi oleh lembaga Diklat Provinsi dengan melapor pada Badan Diklat Kemendagri dan Instansi Pembina, mekanisme penyelenggaran oleh lembaga Diklat Provinsi melibatkan TSPDI Kabupaten/Kota, laporan pelaksanaan Diklat kepada Instansi Pembina dan Badan Diklat Kemendagri, dan perencaan Diklat oleh lembaga Diklat Provinsi.
7.     Akreditasi : perlu pengkajian lebih mendalam tentang akreditasi baik ruang lingkup, proses maupun kewenangan instansi.

Tampaknya revisi Kepmendagri Nomor 38 Tahun 2002 ini lebih tertuju pada perubahan dan usaha mengakomodir beberapa hal terutama dalam Pelaksanaan Diklatpim Tk. IV dan III, sementara untuk Diklatpim Tk. II dan I lebih fokus menjadi kewenangan LAN-RI sebagai Instansi Pembina. Meski demikian, apapun kelak muatan final hasil revisi ini tetap mengedepankan pelaksanaan Diklat Aparatur sebagai bagian Integral dari Pembinaan Aparatur dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas PNS yang berdayaguna dan berhasilguna agar mampu memenuhi mutu secara profesional dan meningkatkan sikap pengabdian dan kesetiaan alumni kepada Negara Kesatuan Republik.

Kedua, revisi Permendagri Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Rumpun Pendidikan dan Pelatihan Teknis Substantif Pemerintahan Daerah, dengan tujuan untuk menyelaraskan dan sinkronisasi antara rumpun Diklat dan nama Diklat yang disesuikan dengan kebutuhan bagi masing-masing unsur penyelenggaraan pemerintah daerah sehingga muncul beberapa Diklat unggulan. Beberapa alasan yang dimunculkan adalah :

1.  Permendagri 37 Tahun 2008 belum mempertimbangkan penetapan jabatan fungsional sehingga Diklat perlu adanya penyesuaian.
2.  Nama–nama mata Diklat dalam Permendagri 37 tahun 2008 banyak yang belum dapat dibedakan dengan  Diklat Teknis Substantif Umum. Rumpun Diklat Teknis Substantif hanya memuat pengelompokkan Diklat yang memiliki karakteristik pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Diklat-diklat teknis yang bersifat umum tidak dimasukkan ke dalam rumpun diklat ini.
3.  Diklat sebagai bagian dari sistem penyelenggaraan pemerintahan harus memiliki fokus tertentu.
4.  Jenis Diklat di Permendagri 37 tahun 2008 masih terlalu banyak dan perlu disederhanakan sehingga muncul diklat prioritas sebagai diklat unggulan Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri yang sesuai dengan kebutuhan daerah.
5.  Ke depan, Diklat harus memiliki korelasi dengan pengembangan karir PNS.

Ketiga, revisi Kepmendagri dan Otda Nomor 893.3-15 Tahun 2001 tentang Penataran Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Isteri Peserta Diklat Spama dan Spamen (Diklatpim Tingkat III dan II) di Jajaran Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Kepmendagri ini diubah menjadi Pedoman Penyelenggaraan Orientasi Peranan Wanita Dalam Pembangunan Keluarga dan Bangsa bagi Isteri Peserta Diklatpim Tk. III di Lingkungan Kemendagri dan Pemda, sehingga cakupannya hanya untuk siteri peserta Diklatpim Tk. III dengan alasan bahwa Diklatpim Tk. II menjadi kewenangan Instansi Pembina. Permendagri ini juga sejalan dengan peraturan lain sebelumnya, yaitu Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan, Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarustamaan Gender Daerah, dan Kepmendagri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Daerah.

Permendagri tentang Orientasi ini disusun dalam rangka meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan para isteri Pejabat Struktural Esselon III, khususnya dalam memberikan dukungan bagi suami yang melaksanakan tugas-tugas pengabdian, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta agar mampu berperan aktif dalam pembangunan keluarga dan bangsa. Sebagian besar Mata Diklat yang diusung memang dirancang untuk memberi peluang yang besar kepada Isteri peserta Diklatpim Tk. III untuk ikut serta dalam pembangunan melalui dukungan terhadap tugas-tugas suami. Lahirnya Permendagri ini sekaligus memperkuat ciri khas Kemendagri dalam melakukan pembinaan terhadap aparatur di Lingkungan Kemendagri dan daerah, yang tidak dimiliki oleh Kementerian atau non Kementerian lain.

Diklat Penjenjangan Aparatur

Untuk mempersiapkan para pejabat (Eselon IV, III, II dan I) atau staf potensial untuk menduduki jabatan struktural, ditetapkanlah PP Nomor : 13 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor : 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural. Peraturan ini menjadi dasar pelaksanaan Diklat jabatan struktural, baik pejabat yang akan atau telah menduduki jabatan. Sebagai pedoman dalam penyelenggaraan Diklat jabatan struktural, LAN-RI sebagai Instansi Pembina menjabarkannya dalam 4 (empat) keputusan, yakni Keputusan Kepala LAN Nomor : 542/XIII/10/6/2001  tentang Pedoman Penyelenggaraan Diklatpim Tk. I untuk Diklatpim Tk. I, Keputusan Kepala LAN Nomor : 199/XIII/10/6/2001  tentang Pedoman Penyelenggaraan Diklatpim Tk. II untuk Diklatpim Tk. II, Keputusan Kepala LAN Nomor 540/XIII/10/6/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Diklatpim Tk. III untuk Diklatpim Tk. III, dan Keputusan Kepala LAN Nomor : 541/XIII/10/6/2001  tentang Pedoman Penyelenggaraan Diklatpim Tk. IV untuk Diklatpim Tk. IV.

Sebagai pelaksana urusan pemerintahan di bidang urusan dalam negeri dan otonomi daerah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) menetapkan Permendagri Nomor : 31 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah dan Kepmendagri Nomor : 38 Tahun 2002 tentang Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan dan Kepemimpinan di Jajaran Departemen Dalam Negeri dan Daerah (peraturan yang disebutkan terakhir sedang dalam proses revisi).

Sebagai dasar pelaksanaan Diklat struktural, PP Nomor : 13 Tahun 2002 Pasal 7 ayat (1)  mengatur keharusan mengikuti dan lulus Diklatpim sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan untuk jabatan tersebut bagi PNS yang akan atau telah menduduki jabatan struktural. Selanjutnya ayat (2) berbunyi : PNS yang telah memenuhi persyaratan kompetensi jabatan struktural tertentu dapat diberikan sertifikat sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh instansi pembina dan instansi pengendali serta dianggap telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan yang dipersyaratkan untuk jabatan tersebut.

Penerapan PP Nomor : 13 Tahun 2002 (Pasal 7) ini ternyata juga berdampak pada beberapa hal, mulai dari seleksi calon peserta Diklat sampai kepada keharusan mengikuti Diklat bagi pejabat yang sudah menduduki jabatan struktural. Di daerah banyak bermunculan pertanyaan terkait pelaksanaan seleksi dan Diklatpim pasca penerapan PP Nomor : 13 Tahun 2002. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah terkait seleksi Diklatpim bagi pejabat yang sudah menduduki jabatan struktural. Sejauh ini, Badan Diklat Kemendagri tetap melakukan seleksi meski pejabat tersebut sudah menduduki jabatan struktural atau bahkan tengah mengikuti Diklatpim yang dipersyaratkan sementara menurut ketentuan hal itu tidak lagi diperlukan. Seleksi tersebut biasa dikenal dengan seleksi khusus, dilakukan dengan alasan untuk menerapkan asas persamaan dan kesetaraan bahwa semua pejabat yang menduduki jabatan struktural harus mengikuti seleksi. Tentu saja seleksi tersebut hanya bersifat administratif dan tidak ada alasan untuk tidak lulus.

Permasalahan lain yang muncul terkait korelasi Diklatpim dengan pengembangan karir PNS. Harus diakui persoalan ini sebagai persoalan klasik yang sensitif di kalangan PNS pusat maupun daerah. Hal ini dimulai dari ketidakpastian calon peserta Diklatpim yang sudah lulus seleksi Diklatpim yang dipersyaratkan tetapi tidak pernah diikutsertakan dalam Diklatpim terkait. Tak jarang PNS yang sudah mengikuti Diklatpim yang dipersyaratkan tetapi tidak memiliki kesempatan untuk menduduki jabatan struktural. Di lain sisi, tak jarang pula pejabat yang sudah menduduki jabatan struktural tetapi sudah lama tidak mengikuti Diklatpim yang dipersyaratkan. Bahkan terdapat beberapa kasus pejabat yang menduduki jabatan struktural tidak pernah mengikuti Diklatpim setingkat atau dua tingkat di bawah jabatan yang dipersyaratkan. Hal ini berakibat pada kecenderungan pejabat untuk mengejar jabatan struktural tanpa diimbangi dengan kompetensi jabatan yang dipersyaratkan. Jika ini yang terjadi, perlu dipertanyakan peran Instansi Pembina dan Badan Diklat Kemendagri sebagai koordinasi pelaksanaan Diklat aparatur di daerah.

Beberapa kasus unik juga terjadi di daerah, misalnya terdapat peserta seleksi Diklatpim Tk. III yang belum pernah mengikuti seleksi dan Diklatpim Tk. IV. Hal ini bisa terjadi salah satunya karena sebelumnya telah menduduki jabatan “Eselon V” (biasanya ini terjadi dalam beberapa kasus peserta seleksi yang sudah mendekati Batas Usia Pensiun yang sebelumnya menduduki jabatan tertentu tapi bukan eselon IV).

Penutup

Pembinaan SDM aparatur merupakan keharusan yang tak bisa ditawar dewasa ini, terlebih ketika penguatan masyarakat sipil menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Jika tolok ukur tersebut menjadi standar, maka penguatan masyarakat sipil haruslah ditandai dengan menguatnya masyarakat sipil secara kolektif dalam ruang publik untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat, pilihan, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi, mencapai sasaran kolektif, mengajukan tuntutan pada negara, memperbaiki fungsi struktur negara, dan untuk menuntut akuntabilitas negara. Sadar atau tidak, masyarakat sipil adalah suatu kehidupan sosial berorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama.

Ketika penguatan masyarakat sipil menjadi pilihan logis dalam dinamika perubahan yang semakin mengglobal, maka penguatan kompetensi aparatur dalam bidang pelayanan dan kepemimpinan menjadi hal yang tak dapat ditawar pula. Penguatan kompetensi tersebut harus benar-benar terakumulasi secara wajar dan mudah melalui distribusi yang merata sehingga tidak ada alasan bagi aparatur untuk memiliki kecenderungan mengejar jabatan struktural semata tanpa diimbangi dengan kompetensi yang dipersyaratkan.

Berbagai kendala yang menghambat sudah saatnya disuplemen secara serius. Alokasi dana dan dukungan sarana dan prasarana perlu direformulasi agar mampu memetakan berbagai kebutuhan dasar, penunjang dan tambahan dalam rangka optimalisasi peningkatan kompetensi aparatur dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelayanan yang cepat, tepat dan murah kepada masyarakat.

* Zainudin, M.Si. (Badan Diklat Kemendagri)
Diberdayakan oleh Blogger.