Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 06.39
Menumbuhkan Kesadaran Akan Hak

Menumbuhkan kesadaran akan hak memang menjadi masalah yang pelik dalam masyarakat kita yang mayoritas berlatar belakang pendidikan rendah. Kesadaran akan hak hampir tak pernah kita jumpai dalam keseharian warga karena kehidupan mereka sudah sedemikian rupa dibentuk oleh budaya dan kebiasaan bermalas-malasan, tidak terbuka terhadap perubahan, sifat sombong, angkuh, menganggap remeh budaya atau orang lain, sifat boros dan sifat-sifat negatif lainnya.

Langkah-langkah kebijakan pemerintah patut menumbuhkan kesadaran hak bagi warganya sehingga kesadaran akan hak dapat lebih dioptimalkan. Dengan begitu, negara akan mendapatkan keuntungan ganda, karena selain dapat mengaktifkan secara optimal keamanan dan kenyamanan bersama di atas dasar dan landasan serta keterlibatan bersama, juga meringankan kerja negara sehingga mengurangi pengeluaran kas negara dalam menjaga keamanan dan kenyamanan hidup masyarakat, dan pengehamatan kas tersebut dapat dialihkan untuk membangun dan menjamin kesejahteraan masyarakat dalam bidang lain seperti pendidikan, kelestarian alam, dan penyediaan lapangan kerja.

Menumbuhkan kesadaran akan hak perlu dilakukan secara serius dan kehati-hatian yang tinggi sehingga tidak salah arah kepada pendidikan kesadaran hak yang kebablasan. Maksudnya adalah kesadaran hak yang perlu ditumbuhkan tersebut bukan kesadaran akan hak yang berlebih-lebihan, yang memungkinkan setiap orang atau kelompok sosial berbondong-bondong turun ke jalan menuntut hak yang berlebihan kepada negara. Penumbuhan kesadaran akan hak tersebut diarahkan kepada pembelajaran akan sejauhmana hak-hak warga, bagaimana cara mendapatkannya, bagaimana kaitan dan hubungannya dengan hak warga yang lain dan hak negara, bagaimana tanggung jawabnya, bagamiana cara memenuhi tanggung jawab tersebut serta apa dan bagaimana cara kerja negara menjalankan kewajiban dan menenuhi hak warga negaranya.

Dengan proses yang demikian, masyarakat dapat mengetahui batas-batas haknya dan memenuhi tanggung jawabnya secara tepat dan bijaksana. Ivan A. Hadar (2004)Æ’n pada sebuah kesempatan mengatakan bahwa konflik dan separatisme hanyalah sekedar ungkapan-ungkapan ketidakpuasan yang dikarenakan perlakuan tidak adil, ditindas, dirampok, disiksa, dilecehkan, dikibulin, diperkosa, dibunuh suami-istri-anak dan kerabatnya. Atau karena tiadanya pengalaman dan, karena itu juga kemauan mengelola konflik secara konstruktif. Keduanya bersifat structural dengan bumbu cultural. Cultural, karena konflik melulu dipandang negatif.

Ungkapan ketidakpuasan dianggap separatis. Kiranya dapat dikatakan, bahwa salah satu faktor penting pemicu konflik SARA dan ancaman disintergarasi yang terjadi di berbagai daerah seperti Aceh, Maluku (Ambon), Papua, Poso, dan daerah-darah rawan lainnya, adalah kurangnya (jika tidak dikatakan nihil) pemahaman (pembelajaran) akan kesadaran hak karena dominan munculnya konflik semacam itu lebih dikarenakan ketidakpuasan.

Munculnya rasa tidak puas tersebut dikarenakan beberapa hal mendasar yang terkadang cenderung menindas atau membatasi hak-hak sebagai manusia maupun sebagai warga suatu negara. Sebagai pembelajaran juga, warga negara perlu mengetahui komponen-komponen utama penyebab konflik yang terjadi di sekitar mereka. Pemahaman yang jelas tentang hal ini akan memotivasi masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajibannya agar tidak bertentangan dengan hak dan kewajiban orang lain dan negara. Komponen yang dimaksud terdiri dari tiga bagian, yakni yang dikenal dengan segitiga SPK (sikap, perilaku, konteks). Ketiganya merupakan faktor yang saling mempengaruhi.

Tumbuhnya kesadaran akan hak dapat dilacak ketika masyarakat dapat mengetahui, melalui praktek kesehariannya, batas-batas haknya serta batas-batas hak orang lain serta pemenuhan kewajibannya baik terhadap orang lain maupun terhadap negaranya, secara wajar dan bertanggung jawab. Kesadaran tersebut mendidik dan melatih mereka untuk jeli dan hati-hati dalam mengambil keputusan dan bertindak sehingga setiap keputusan dan tindakannya adalah keputusan dan tindakan yang benar dan terarah kepada kepentingan dan tujuan bersama, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Perwujudan Hak Masyarakat Sipil

Ancaman keamanan dari dalam negeri bagaimana pun jauh lebih sulit untuk ditangani karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Akan tetapi usaha pemerintah untuk memenuhi hak-hak masyarakat sipil akan mampu meminimalisir ancaman keamanan tersebut, karena hampir sebagian besar kerusuhan dan konflik yang terjadi dalam masyarakat kita adalah diakibatkan adanya tuntutan pemenuhan hak yang tidak terealisasi oleh pemerintah. Bahkan yang lebih parah adalah adanya kepentingan beberapa orang untuk memanfaatkan kesempatan tersebut sehingga memicu kerusuhan dalam masyarakat, baik dengan melemparkan isu-isu negatif maupun mendorong langsung masyarakat turun ke jalan-jalan besar untuk menimbulkan kekacauan di mana-mana.

Kuat dugaan, kerusuhan dan konflik-konflik separatis yang terjadi di berbagai daerah juga dikarenakan kurang terealisasinya hak-hak masyarakat sipil oleh pemerintah. Pernyataan K.H. Abdurrahman Wahid dalam sebuah pidatonya saat menjabat kepala negara mempertegas hal ini. Menurutnya, setidaknya ada tiga faktor yang berperan, yakni pertama, kelalaian pemerintah selama ini dalam memberi respon yang optimal terhadap tuntutan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, justru pada saat yang sama berlangsung eksploitasi yang intensif atas sumber daya alam yang ada.

Kedua, kurang terakomodasinya kepentingan lokal dalam proses politik di daerah, akibat dominasi pemerintah yang berlebihan. Ketiga, memang ada anasir-anasir separatis yang fanatik dan secara sistematis memanfaatkan kekecewaan masyarakat demi agenda politik anti Indonesia.

Menghadapi kemungkinan ancaman keamanan masyarakat (keamanan dalam negeri), pemerintah perlu melakukan hal-hal teknis dan strategis sehingga rasa aman warga benar-benar terasa di setiap langkah aktivitas mereka. Tentu saja dalam mewujudkan rasa aman tersebut perlu diatur dalam aturan perundang-undangan sehingga perwujudan hak-hak masyarakat sipil dalam bidang keamanan benar-benar terjaga dan lestari karena ada jaminan yang memungkinkan masyarakat tidak resah dan khawatir akan keamanan dan keselamatan diri, harta benda dan sanak keluarganya kapan dan di manapun mereka berada.

Untuk mencapai pendistribusian keamanan yang tepat, karena itu, diperlukan dukungan dari berbagai pihak serta diperlukan adanya perbaikan dan perubahan sistem perundang-undangan yang benar-benar mampu menjamin keamanan dan keselamatan sehingga terwujud hak-hak masyarakat untuk mengenyam nikmatnya rasa aman yang diberikan oleh negara. Dengan demikian, implementasi makna demokrasi akan benar-benar dekat dengan masyarakat semua lapisan, sehingga keamanan dapat diakses secara mudah, murah dan aman oleh masyarakat demi menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat sebagai warga Negara.

Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri

Artikel ini juga dimuat di beberapa media online seperti : http://www.sumbawanews.com dan http://www.nusatenggaranews.com

Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 06.35
Dari tataran yang lebih rendah dan tingkat yang paling bawah serta sederhana, demokrasi dapat dipandang dari beragam corak dan bentuk. Masyarakat sipil (civil society) sebagai inti demokrasi sebenarnya merupakan akar dari segala upaya yang ditata oleh pemerintah melalui suatu sistem yang proporsional, membawa masyarakat sipil kepada pembelajaran akan makna demokrasi. Berbagai kebijakan merupakan representasi kebijakan dan kemauan masyarakat dan implementasi demokrasi, karena itu, layaknya dapat dikecap secara wajar, merata, mudah dan murah serta tanpa penindasan apalagi kesewenangan.

Keberhasilan demokrasi tidak hanya dipandang secara sempit, sekedar penggunaan hak pilih di bilik suara saat Pemilu. Keberhasilan demokrasi adalah wujud nyata kepedulian para pembuat kebijakan (policy making) yang mampu mengimplementasikan kewajaran dan kesahajaan bagi semua warga, agar mudah mengkses segala kebutuhan yang memang pantas dan wajar didapat oleh setiap warga negara, yang merupakan kewajiban negara untuk menyediakannya.

Kemudahan dalam mengakses dan mendapatkan pelayanan publik menjadi sangat penting ketika makna demokrasi tidak lagi sekedar mengambang di permukaan, tanpa implementasi yang nyata dalam keseharian warga. Di antara layanan publik yang perlu untuk mudah didapat dan diakses setiap warga adalah jaminan keamanan. Keamanan menjadi sangat urgen bagi setiap warga untuk menjamin keselamatan harta, nyawa dan keluarganya dari berbagai ancaman dan gangguan. Dengan begitu, hak setiap warga dapat terjamin oleh negara dengan menciptakan situasi dan kondisi yang aman dan nyaman bagi setiap warga, di mana pun berada, sehingga segala kegiatan dan aktivitas warga berjalan secara lancar dan harmonis tanpa ada rasa kekhawatiran akan berbagai ancaman keselamatan jiwa, raga, harta benda dan keluarganya.

Untuk itu, pemerintah selayaknya mendistribusikan keamanan secara merata untuk menjamin keamanan bagi setiap warga melalui penyediaan sarana dan prasarana pendukung. Setidaknya, persoalan keamanan terkait langsung dengan dua hal sekaligus yakni kenyamanan dan keselamatan bagi warga suatu negara dan keselamatan eksistensi suatu negara itu sendiri. Persoalan jenis pertama yang dimaksud adalah adanya tanggung jawab yang besar dari negara untuk selalu memberikan rasa aman kepada setiap warga negara terutama terhadap ancaman keselamatan yang datang dari dalam negeri. Ancaman keselamatan yang menyebabkan terganggunya kenyamanan dan ketentraman warga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adanya benturan antara hak-hak individu dalam suatu negara, adanya kepentingan pihak-pihak yang sengaja menganggu ketentraman dan kenyamanan umum, adanya rasa kekecewaan yang menimbulkan rasa tidak puas warga terhadap layanan yang diberikan negara, dan timbulnya persaingan-persaingan yang tidak sehat baik antar warga dengan warga yang lain, maupun antara warga dengan pejabat publik (negara).

Persoalan kedua terkait dengan adanya ancaman keselamatan bangsa dan negara yang datang dari luar. Ancaman jenis ini lebih dikarenakan adanya intervensi negara lain yang mengancam keselamatan bangsa dan negara yang didorong oleh adanya berbagai kepentingan dari negara lain. Berbicara masalah demokrasi, adalah berbicara hal-hal yang terkait langsung dengan warga negara yakni masyarakat sipil yang hidup dalam suatu negara. Oleh karena itu, yang menjadi kewenangan dalam pembahasan makalah ini adalah terkait ancaman jenis pertama sebagaimana telah dijelaskan di atas. Tulisan ini diarahkan untuk mengkaji serta memetakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat akan rasa aman yang diberikan oleh negara dalam rangka menemukan makna mendasar demokrasi pada aras hak civil society terhadap keamanan yang menjadi salah satu bentuk dari layanan negara terhadap warganya.

Menurut hemat penulis, keberhasilan utama demokrasi adalah sejauhmana makna demokrasi tersebut membawa efek-efek yang nyata dalam kehidupan masyarakat, dalam arti sebuah sistem demokrasi yang dijalankan semata-mata merupakan bentuk nyata upaya negara untuk mengoptimalkan layanan kepada warganya atas dasar persamaan dan pemerataan. Oleh karena itu, distribusi layanan publik, terutama masalah keamanan benar-benar menyentuh secara merata kepada semua level kehidupan masyarakat.

Keamanan dan Demokrasi

Sekilas, memang sukar untuk dapat dipahami bagaimana keterkaitan antara keamanan dengan demokrasi. Untuk itu, sangat perlu kiranya tulisan ini memaparkan suatu wacana menuju pemahaman akan hal itu, sehingga secara lebih yakin kita bisa mengatakan bahwa di antara keduanya memang memiliki sisi yang berbeda akan tetapi keduanya mampu disusun dan dipola untuk mengarahkan mind set kita kepada pemaknaan akan demokrasi. Demokrasi adalah tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan yang menerapkan nilai-nilai dasar demokrasi. Nilai-nilai dasar demokrasi tersebut adalah nilai-nilai yang sesuai dengan kapasitas, kebutuhan dan martabat manusia. Artinya, dalam negara demokrasi negara dituntut peran aktif dalam mensejahterahkan masyarakatnya melalui berbagai tindakan dengan melibatkan peran serta masyarakat. Tentu saja, penerapan nilai-nilai dasar demokrasi menjadi sangat penting, yakni kebebasan, kemandirian dan ikut menentukan, keterbukaan, toleransi dan diskusi, rasionalitas, keanekaragaman dan perdamaian, kebebasan berpikir dan beragama, kebebasan berkumpul, berserikat dan mengemukakan pendapat, kemajuan, kesederajatan, dan persaudaraan.

Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan untuk dapat menikmati keamanan dan keselamatan diri, harta benda, keluarga dan kerabat dari berbagai ancaman dan gangguan. Masing-masing individu memang memiliki ciri dan watak yang berbeda serta kepentingan yang beragam, akan tetapi keragaman tersebut perlu diramu bersama agar tercapai kedamaian dan keamanan dalam menjalin relasi dengan sesama sehingga hak-hak masing-masing individu terlindungi. Makna demokrasi juga merupakan wujud kesetaraan, persamaan dan persaudaraan dalam segala hal, termasuk dalam mendapatkan perlindungan dan rasa aman.

Oleh karena persoalan demokrasi terkait berbagai hal dan kegiatan yang memungkinkan bagi setiap rakyat mampu dan dapat mengakses secara bebas dan wajar serta mudah akan segala hal yang memungkinkan setiap warga negara terjamin haknya untuk berperan secara seimbang sebagai warga Negara, maka makna demokrasi perlu diarahkan serta didekatkan dengan rakyat dalam arti efek-efek demokrasi ada dan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak warganya sehingga tercapai kesetaraan dan kesejahteraan. Lalu bagaimana dengan keamanan? Keamanan adalah salah satu bentuk hak masyarakat yang dijamin oleh negara melalui pelayanan yang maksimal. Keamanan, karenanya, merupakan upaya negara untuk merealisasikan makna demokrasi yang merata bagi setiap warganya dengan menciptakan suatu tatanan yang terpola dalam rangka mendistribusikan keamanan di seluruh pelosok negeri.

Mencari Format Demokrasi

Format demokrasi dalam negara kedaulatan adalah demokrasi ada di tangan rakyat dan karena itu semua kekuasaan negara berasal dari rakyat. Semua lembaga kekuasaan menjalankannya sesuai dengan kehendak rakyat dan diabdikan untuk kepentingan rakyat, yakni keadilan, kesejahteraan dan keamanan untuk semua. Karena itu, logika demokrasi yang dibangun adalah logika demokrasi yang sesuai dengan logika masyarakat, bahkan bagi masyarakat awam. Konsep keadilan, kesejahteraan dan keamanan dapat terealisasi sesuai dengan kehendak dan kebutuhan masyarakat dan melampaui semua kebutuhan masyarakat terutama kebutuhan-kebutuhan mendasar yang memang menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Di era desentraliasi sekarang, makna demokrasi melebarkan kekuasaan dari pusat ke daerah melalui otonomi daerah yang seluas-luasnya. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah di daerah memberi peluang kepada daerah untuk mengembangkan serta mengoptimalkan pembangunan di daerah. Asumsinya, pemerintah daerahlah yang lebih tahu dan mengenal daerahnya masing-masing serta lebih dekat dengan rakyatnya. Implikasinya adalah kesejahteraan dan keamanan akan lebih dekat dengan masyarakat karena ditangani langsung pejabat yang berwenang di daerah. Akan tetapi, otonomi daerah juga memberi peluang kepada lahirnya raja-raja kecil di daerah yang berpeluang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan atas nama rakyat, sehingga mereka lebih cenderung mementingkan kepentingan dan keselamatan diri dan keluarganya dari pada rakyatnya.

Asumsi pelaksanaan otonomi bahwa pemerintah daerahlah yang lebih tahu dan dekat dengan rakyatnya berarti juga pemerintah daerahlah yang lebih mengetahui bagaimana cara “memanfaatkan” potensi tersebut untuk kepentingan diri dan golongannya. Tentu saja kenyataan ini memperbesar aliran konflik yang terjadi baik dalam internal masyarakat maupun masyarakat dengan para pejabat pemerintah. Menghindar dari kenyataan tersebut memang adalah sulit akan tetapi ada peluang untuk memperbaiki. Peluang tersebut adalah mengembalikan pemaknaan akan demokrasi pada rel yang dapat dipahami dan dimengerti oleh semua pihak, bukan semata demokrasi bagi para pejabat tinggi daerah.

Adalah menjadi tanggung jawab bersama untuk menyadarkan masyarakat serta mendidik mereka untuk dapat memaksimalkan peran diri dalam mencari format demokrasi yang dapat dijangkau oleh nalar setiap orang. Maka dari itu, format demokrasi adalah pemerintahan oleh semua dan untuk kepentingan semua, bukan hanya dinikmati oleh mayoritas suku atau ras tertentu. Semua rakyat dituntut terlibat aktif untuk memerintah, dengan hak dan kewajiban serta hak asasi yang sama. Untuk menjamin kelangsungan pemerintahan untuk dan oleh semua, maka perlu ada pembatasan kekuasaan pada tingkat konstitusi semua lembaga negara, dan menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Semua orang memiliki hak asasi yang melekat pada dirinya, dan semua warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan. Semua perbedaan pun diselesasikan secara damai, melalui berbagai cara seperti debat publik, diskusi, kompromi, dan voting sehingga setiap orang merasa aman dan nyaman dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.

Mandat yang diterima seorang pejabat adalah mandat dari seluruh rakyat bukan hanya dari kelompok atau golongan tertentu, dan karena itu harus melayani kepentingan seluruh rakyat. Demokrasi juga dapat dipahami sebagai jalan bagi terciptanya persamaan dan kesetaraan sehingga berbagai perbedaan dapat diramu dalam bentuk dan wujud yang konkrit untuk mencapai suatu solusi hidup bersama. Kehidupan demokrasi diarahkan kepada maksud dan tujuan bersama dan menyatu di atas segala perbedaan ras, agama, suku, profesi, status sosial, hak milik dan berbagai perbedaan lainnya. Maksud dan tujuan bersama tersebut adalah kesejahteraan dan keamanan bagi semua yang diperjuangkan secara suka rela atas rasa persaudaraan. Untuk mencapai tujuan tersebut adalah terbukanya peluang bagi siapa saja untuk berkreasi dan berekspresi dalam mencapai solusi hidup bersama sehingga kesepakatan menjadi jalan terbaik.

Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri

Artikel ini juga dimuat di beberapa media online seperti : http://www.sumbawanews.com dan http://www.nusatenggaranews.com

Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 06.21 1
*
Awalan

Dari sekian banyak kegiatan pendidikan dan pelatihan (Diklat) yang diselenggarakan Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri (Badan Diklat Depdagri), terdapat salah satu program diklat yang paling menarik perhatian penulis, yakni Diklat Pengelolaan Pasar Tradisional. Diklat ini menarik perhatian penulis selain karena diklat ini jarang dilaksanakan, juga karena diklat ini melibatkan biaya dan target peserta yang banyak serta bekerjasama dengan banyak pihak. Yang lebih penting adalah keseriusan pemerintah menaruh perhatian terhadap pengembangan pasar tradisional ke depan.

Selain pihak Depdagri, terutama Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badan Diklat) Depdagri dan Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengembangan Daerah (Ditjen Bina Bangda Depdagri), diklat ini juga melibatkan Kantor Menko Perekonomian; Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM); Perusahaan Daerah Pasar Jaya Jakarta; Pakar/Praktisi Pasar Daerah; kalangan akademisi (Perguruan Tinggi); serta tak ketinggalan badan internasional The Asia Foundation (TAF).

**
Dasar Hukum

Era otonomi daerah saat ini hakikatnya dijalankan dan dikembangkan berdasarkan konsep pemerataan kesejahteraan, khususnya pemerataan bagi daerah-daerah yang selama ini diabaikan pembangunannya. Konsep pemerataan ini mendapat pengakuan hukum melalui diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk mencapai konsep pemerataan tersebut, salah satu hal yang perlu dilakukan adalah peningkatan sumber daya manusia para aparat pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pendidikan dan pelatihan merupakan agenda pokok yang dicanangkan pemerintah untuk mencapai taraf peningkatan SDM tersebut, yang dalam hal ini tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) dijalankan oleh Badan Diklat Depdagri Pusat, Regional, maupun badan diklat-badan diklat yang berada di tingkat propinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia.

UU No. 32 tahun 2004 menjadi dasar hukum pokok pelaksanaan pemerintahan daerah saat ini. Oleh karena itu, segala usaha penyelenggaraan pemerintahan daerah harus sejalan dengan UU No. 32 tahun 2004, termasuk di dalamnya pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi aparat pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Selain itu, beberapa dasar hukum lain pelaksanaan diklat, khususnya Diklat Pengelolaan Pasar Tradisional ini, adalah UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Kawasan Perkotaan; PP No. 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern; Permendagri No. 53/M-DAG/PER/12/2008 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern; dan Permendagri No. 31 tahun 2007 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan di lingkungan Depdagri/Pemda.

***
Tujuan dan Sasaran

Diklat Pengelolaan Pasar Tradisional ini rencananya akan dilaksanakan dalam waktu dekat (antara April-Juni) tahun 2009 dan ditujukan untuk : (1) meningkatkan kompetensi aparatur daerah dalam pengelolaan pasar tradisional; (2) meningkatkan pembinaan dan penataan pasar tradisional secara optimal; (3) pemberdayaan pasar tradisional; dan (4) pengembangan kemitraan usaha. Poin pertama bertujuan untuk mendorong daya saing antar daerah dalam meningkatkan kapasitas pasar daerah yang berakibat pada optimalisasi pasar tradisional sebagai salah satu sumber pendapatan yang patut diperhitungkan. Asumsi ini berlandaskan bahwa kesejahteraan pasar sebagai wujud apresiasi kesejateraan rakyat. Dengan demikian, arah pengembangan pasar tradisional yang dicanangkan pemerintah ke depan dari orientasi ekonomi kepada orientasi sosial akan dapat berimbang dengan tercapainya kesejahteraan rakyat.

Poin kedua tertumpu pada prosedur pengelolaan secara internal untuk menjamin terpenuhinya standar kuantitas dan kualitas pasar tradisional. Poin ketiga guna pemberdayaan internal dan eksternal, terutama terkait pemberdayaan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pengelolaan dan operasional pasar tradisional. Poin keempat terkait kemitraan yang melibatkan kerjasama dan kesepahaman antara pihak yang terlibat tersebut dengan satu tujuan utama, yakni optimalisasi pengembangan pasar tradisional.

****
Keluaran

Pada dasarnya, Diklat Pengelolaan Pasar Tradisional bertujuan untuk membuka wawasan, pengetahuan serta paradigma pengelolaan pasar tradisional sesuai dengan landasan hukum dan pertumbuhan ekonomi daerah sehingga berdampak pada kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan.

*****
Ruang Lingkup

Selain melibatkan secara langsung para widyaiswara Badan Diklat Depdagri, diklat ini juga melibatkan para pakar dan praktisi yang memiliki kompetensi dan pengalaman panjang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Ruang lingkup materi pembelajarannya meliputi : (1) Kebijakan Pengelolaan Pasar Tradisional (Landasan Hukum dan Aspek Legal lainnya); (2) Peran dan Kontribusi Pemda Dalam Pembinaan Pasar Tradisional; (3) Mekanisme Pengelolaan Pajak dan Retribusi Pasar Tradisional; (4) Pertumbuhan Supermarket/Mall, Hypermarket dan Daya Saing Pasar Tradisional; (5) Konsep dan Strategi Kerjasama Pengelolaan Pasar Tradisional Antara Pemerintah Daerah dengan Pihak Ketiga/Swasta; (6) Evaluasi dan Refleksi Pembelajaran; dan (7) Action Plan.

******
Target Group

Diklat Pengelolaan Pasar Tradisional ini mengikutsertakan berbagai pihak terkait, yakni para pejabat dari unsur Sekretariat Daerah (Sekda), Badan Pembangunan Daerah (Bappeda), Asisten Bidang Pembangunan dan Ekonomi, Dinas Tata Kota, Dinas Kebersihan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan Umum (DPU), Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Trantib), Dinas Perdagangan, BKMPD, Dinas Kependudukan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Sosial, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), Camat, Badan/Kantor BPM/PMD, Ketua dan Anggota DPRD Komisi Terkait, BUMD yang bertugas menfasilitasi pengelolaan pasar daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Komposisi peserta melibatkan beberapa unsur dari 34 pemerintah provinsi, sejumlah 119 Pemerintah kabupaten/kota, dan sebanyak 6.080 kecamatan seluruh Indonesia, dengan perkiraan jumlah target group 32.000 orang. Diklat yang di bawah tanggung jawab langsung Bidang Pembangunan, Pusat Diklat Pembangunan dan Kependudukan Badan Diklat Depdagri ini dibiayai dari Anggaran Badan Diklat Depdagri Tahun 2009 serta beberapa pihak pendonor, salah satunya adalah badan internasional The Asia Foundation (TAF), dengan jumlah biaya yang tergolong besar.

*******
Akhiran

Terlepas dari keterlibatan banyak pihak dan besarnya biaya penyelenggaraan, diklat ini tentu diharapkan akan mampu menjadi media dan alat kontrol bagi pemerintah untuk menjamin proses persaingan pasar tradisional di tengah gencar dan menjamurnya pasar modern dewasa ini. Tentu, hal pertama yang perlu dilakukan adalah perbaikan internal baik secara kuantitas terlebih secara Kualitas. Keseriusan dan kepedulian ini hanya akan sukses jika melibatkan kerjasama yang erat, baik dari pihak pemerintah, swasta dan juga masyarakat sebagai mitra sekaligus konsumen. Dengan kerjasama yang erat juga diharapkan akan menarik minat pihak-pihak lain untuk turut serta mengembangkan pasar tradisional, baik pihak dalam negeri maupun badan/organisasi internasional seperti halnya The Asia Foundation (TAF).

Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri

Artikel ini juga dimuat di http://www.sumbawanews.com dan http://www.nusatenggaranews.com

Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 06.27
Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil, dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar.

Isu-isu Utama Pasar Tradisional

Pasar tradisional mendapatkan keuntungan dari krisis keuangan dunia (global crisis) saat ini. Keinginan masyarakat/konsumen untuk memperoleh produk dengan harga murah di saat krisis membuat pasar tradisional terselamatkan dari desakan pasar modern. Kondisi ini bertolak belakang dengan pertumbuhan pasar modern yang kian agresif dan terus meningkatkan distribusi, promosi dan perbaikan model bisnis ritel.

Market Share dari pasar tradisional tahun 2008 lalu masih sekitar 80 persen dari total pasar di tanah air, sebagaimana menurut Retailer Service Director The Nielsen Indonesia, Yongky Susilo, di Jakarta, (Koran Jakarta, 18 Maret 2009) berdasarkan riset yang dilakukan The Nielsen Indonesia atas perilaku belanja rumah tangga di lima kota di Indonesia pada November 2008, penjualan produk ritel di pasar tradisional mencapai 79,2 persen. Orang ekspansi belanja ke pasar tradisional karena disana lebih murah, bisa ditawar, masyarakat khawatir terbuai promosi dan tergoda membeli barang sehingga menghabiskan uang dalam jumlah besar. Riset memperlihatkan rumah tangga yang berbelanja 54 kategori produk kebutuhan sehari-hari di hipermarket tinggal 45 persen atau turun dua persen dari 2007.

Sampai semester pertama 2009, tren terjadi penurunan belanja di hipermarket mencapai 27,5 persen. Ekspansi dari 2007 - 2008 untuk ritel format besar, yakni Hypermart dari 36 menjadi 43 unit, Giant Hyper dari 17 menjadi 26 unit, dan Carrefour dari 37 menjadi 42 unit, Giant dari 23 menjadi 55 unit, Superindo dari 56 menjadi 63 unit. Menurut riset Nielsen Indonesia juga memantau terjadinya inovasi format ritel modern, yaitu dengan munculnya toko midi yang lebih besar dari minimarket tetapi lebih kecil dari super market. Peritel yang telah meluncurkan toko-toko midi adalah Griya Hemat dan Alfa Midi. “Toko midi menjadi next generation format ritel modern, toko itu tidak kecil dan tidak juga besar.

Penjualan ritel barang konsumen yang masuk Fast Moving Consumer Group (FMCG) di luar rokok mencapai 109,6 triliun rupiah atau meningkat 15 persen ketimbang tahun lalu.

Salah satu hypermarket (Carrefour) merugikan usaha kecil menengah (UKM) yaitu melakukan penyewaan lahan berjualan kepada UKM. Menurut informasi bahwa hasil penerimaan dan penyewaan lahan berjualan lebih besar dari pada pendapatan usaha Carrefour yang sebenarnya (Media Indonesia, 27 Maret 2009).

Mayoritas pasar tradisional dikuasai dan dikelola oleh Pemda setempat, biasanya di bawah kendali Dinas Pasar. Sejumlah kecil pasar tradisional dikembangkan melalui kerjasama antara Pemda dan perusahaan swasta, umumnya di bawah skema bangun, operasi, dan transfer (build-operate-transfer/BOT). Perusahaan swasta kemudian membayar setiap tahun kepada Pemda sejumlah dana yang telah disepakati.

Pengelola pasar, yang diangkat oleh Kepala Dinas Pasar, mengelola pasar milik Pemda. Di beberapa kasus, pengelola pasar bertanggung jawab atas beberapa pasar sekaligus. Dinas Pasar menetapkan target retribusi pasar tahunan pada setiap pasar tradisional miliknya. Tugas utama yang diemban setiap kepala pasar adalah pemenuhan target yang sudah ditetapkan. Kegagalan pemenuhan target tidak jarang berbuntut pada pemberhentian langsung kepala pasar. Karena itu, penarikan dana retribusi dari para pedagang menjadi ajang perhatian utama dari setiap kepala pasar daripada pengelolaan pasar yang lebih baik.

Kehadiran pasar modern yang memberikan banyak kenyamanan membuat sebagian orang enggan untuk berbelanja ke pasar tradisional disebabkan : pertama, supermarket dapat menjual lebih banyak produk yang lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah; kedua, informasi daftar harga setiap barang tersedia dan dengan mudah diakses publik; ketiga, supermarket menyediakan lingkungan berbelanja yang lebih nyaman dan bersih, dengan jam buka yang lebih panjang, dan menawarkan aneka pilihan pembayaran seperti kartu kredit dan kartu debit dan menyediakan layanan kredit untuk peralatan rumahtangga berukuran besar; keempat, produk yang dijual di supermarket, seperti bahan pangan, telah melalui pengawasan mutu dan tidak akan dijual bila telah kedaluwarsa.

Pasar modern meskipun memiliki banyak kelebihan, akan tetapi dalam sistem pasar modern penentuan harga tidak bisa ditawar/sudah ditetapkan. Sedangkan pasar tradisional memiliki beberapa keunggulan, yakni : (1) masih adanya kontak sosial saat tawar menawar antara pedagang dan pembeli. Tidak seperti pasar modern yang memaksa konsumen untuk mematuhi harga yang sudah dipatok; (2) keinginan masyarakat memperoleh produk dengan harga murah di saat krisis membuat pasar tradisional terselamatkan dari desakan pasar modern; dan (3) pasar tradisional menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat kebanyakan. Di sana, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya, dari mulai para pedagang kecil, kuli panggul, pedagang asongan, hingga tukang becak. Di balik kelebihan tersebut, pasar tradisional biasanya becek dan bau, malas tawar menawar, faktor keamanan (copet, dsb), resiko pengurangan timbangan pada barang yang dibeli, penuh sesak, dan sejumlah alasan lainnya.

Revitalisasi Pasar Tradisional

Anggaran yang disediakan pemerintah hanya cukup untuk merehabilitasi fasilitas mikro di pasar-pasar tersebut. Total dana yang tesedia untuk merevitalisasi pasar tradisional pada tahun 2009 mencapai Rp 585 milyar berasal dari tiga sumber yakni stimulus fiskal untuk penanggulangan krisis ekonomi global Rp 315 miliar, dana alokasi khusus 120 milyar dan DIPA Depdag Rp 150 Miliar. Jumlah dana tesebut masih jauh dari kebutuhan untuk memperbaiki seluruh pasar tradisional.

Kendala yang membuat perbankan sulit mengucurkan dana untuk pasar tradisional antara lain : (1) pengelola pasar tidak mengetahui aset yang dibutuhkan untuk mendapatkan kredit bank. Sebagian besar kepemilikan kios di pasar tradisional berstatus hak pakai. Pengelola pasar bersedia meningkatkan status menjadi Hak Pengelolaan Lahan (HPL bahkan menjadi HGB jika bank mensyaratkan perubahan status tersebut); (2) belum ada bank khusus yang ditunjuk pemerintah untuk revitalisasi pasar tradisional; dan (3) adanya persaingan dengan pasar modern. Pada saat ini yang dibutuhkan dalam revitalisasi pasar tradisional yaitu pemotongan biaya transaksi, kreativitas, dan inovasi untuk mengembangkan keunikan masing-masing pasar (Kompas, Februari 2009).

Konflik antara pedagang pasar tradisional dengan pengelola dan Pemerintah disebabkan : (1) Dinas Pengelola Pasar sebagai leading sector tidak memiliki konsep yang jelas mengenai model revitalisasi pasar tradisional, sehingga sangat tergantung pada desain yang ditawarkan pengembang, apalagi keterbatasan dana turut memperlemah posisi tawar Pemerintah Kota dalam bernegosiasi dengan pengembang. Akibatnya, dalam sejumlah kasus, Pemerintah Kota justru dirugikan ketika ternyata desain yang diterapkan pengembang tidak berhasil dan pengembang akhirnya mengembalikan lagi proyek revitalisasi tersebut pada Pemerintah Kota; dan (2) tidak adanya political will dari Pemerintah Kota untuk membangun kesepahaman antara pemerintah dengan para pedagang di pasar tradisional tentang model revitalisasi yang akan diterapkan.

Rekomendasi Revitalisasi Pasar Tradisional

Dalam melakukan pengelolaan pasar, setidaknya dibutuhkan beberapa paradigma sebagai berikut : (1) paradigma dalam memandang pasar harus bergeser dari tempat bertransaksi ekonomi menjadi ruang publik tempat berlangsungnya interaksi sosial. Pasar yang sukses secara inheren memiliki bermacam-macam ruang yang berfungsi sebagai ruang publik, misalnya jalan, gang, tangga, trotoar, plaza terbuka, dan lain-lain, di mana tindakan untuk mencegah masyarakat menggunakan barang publik yang milik umum tersebut akan menjadi sangat mahal atau sulit, karena hak-hak "kepemilikan" terhadap barang-barang tersebut sangat labil dan sulit dispesifikasi secara tegas; (2) model revitalisasi pasar tradisional difokukan pada upaya memperbaiki jalur distribusi komoditas yang diperjual-belikan di pasar-pasar tradisional. Distribusi sini mengandung makna yang luas, mulai dari pemilahan komoditas; pengangkutan; bongkar muat; pengemasan; hingga penjualan komoditas di pasar; (3) pembangunan pasar jangan dihambat oleh kepentingan mencari keuntungan finansial karena pembangunan pasar selain memiliki tujuan sosial juga berperan untuk mereduksi biaya sosial, di mana revitalisasi pasar tradisional harus dipandang sebagai investasi jangka panjang dalam kerangka pengembangan properti kota (property development); (4) modernisasi pasar juga merupakan langkah untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil. Modernisasi pasar disini dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan pasar secara modern sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, sekaligus untuk menghambat beralihnya tempat belanja masyarakat; (5) Model kemitraan pemerintah kota perlu melibatkan pengembang untuk merevitalisasi pasar; (6) pasar tradisional harus dikelola secara kreatif untuk memecahkan persoalan ruang usaha bagi masyarakat.

Pasar, tempat usaha rakyat harus diciptakan secara lebih imajinatif, kreatif, dan rekreatif untuk bisa berkompetisi dengan department stores, shopping centers, mall, dan sejenisnya yang biasa dipasok sektor swasta. Ragam pasar yang lebih transformatif seperti pasar tematik (pasar elektronik, pasar tekstil, dll.), dapat dikembangkan menjadi model pengembangan pasar modern agar pasar modern tidak memonopoli seluruh komoditas yang menyebabkan daya saing pasar tradisional makin lemah (Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Pasar di Bandung, 2007).

Kondisi Pasar Tradisional

Untuk optimalisasi pasar tradisional, pemerintah telah melakukan beberapa hal terutama terkait pembinaan dan pengawasan. Beberapa pasar tradisional di beberapa kota sudah berhasil dikembangkan, di antaranya Wali Kota Solo telah berhasil membina unit pasar tradisional yaitu membina sebanyak enam unit pasar tradisional sehingga berhasil mendapat penghargaan dari MENPAN. Di Bandung pasar tradisional dikembangkan dan dimodifikasi sesuai produk khususnya, yaitu pasar Cibaduyut untuk pasar sepatu. Sementara di Jakarta, Pasar Tanah Abang secara khusus untuk pasar produk tekstil dan pakaian, Pasar Mayestik khusus untuk sembako dan aneka kue, serta Pasar Festival khusus kuliner dan hiburan di Kuningan/area di Jakarta. Kemudian di Provinsi Bali dikembangkan pasar tekstil, pakaian, produk seni dan kerajinan lokal di Sukowati dan di Tanah Lot.

Persoalan Pasar Tradisional

Deputi Kerjasama dan Investasi, Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo) (Kompas, 16 Maret 2009) mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen, dari 8.500 pasar tradisional di Indonesia, berusia di atas 20 tahun. Ini mengkhawatirkan karena membuat pasar tradisional yang menjadi tempat berdagang lebih dari 12 juta orang pedagang itu tidak mampu bersaing dengan pasar modern, oleh karena itu pasar-pasar tersebut mendesak untuk direvitalisasi. Pemerintah sudah mencanangkan program revitalisasi, tetapi tidak mendapatkan dukungan lembaga keuangan, terutama perbankan nasional. Anggaran yang disediakan pemerintah hanya cukup untuk merehabilitasi fasilitas mikro di pasar-pasar tradisional tersebut.

Total dana yang tersedia untuk merevitalisasi pasar tradisional pada 2009 relatif kecil hanya Rp 585 miliar, berasal dari tiga sumber, yakni stimulus fiskal untuk penanggulangan krisis ekonomi global Rp 315 miliar, dana alokasi khusus Rp 120 miliar, dan DIPA Depdag Rp 150 miliar.

Jumlah dana yang tersedia itu masih jauh dari kebutuhan untuk memperbaiki seluruh pasar tradisional yaitu sebanyak 6.800 pasar, sehingga menimbulkan persoalan yang membuat perbankan sulit mengucurkan kredit pembangunan pasar tradisional. Terlebih, belum ada bank khusus yang ditunjuk pemerintah untuk kredit investasi revitalisasi pasar tradisional, disamping terjadinya persaingan dengan pasar modern.

Permasalahan terkait pengelolaan pasar tradisional antara lain : (1) permasalahan dan citra negatif pasar tradisional umumnya terjadi akibat kurang disiplinnya pedagang, pengelola pasar yang tidak profesional, dan tidak tegas dalam menerapkan kebijakan atau aturan terkait pengelolaan operasional pasar; (2) pasar tradisional umumnya memiliki desain yang kurang baik, termasuk minimnya fasilitas penunjang, banyaknya pungutan liar dan berkeliarannya "preman-preman" pasar serta sistem operasional dan prosedur pengelolaannya kurang jelas (Kompas, 16 Februari 2009); (3) masalah internal pasar seperti buruknya manajemen pasar, sarana dan prasarana pasar yang sangat minim, pasar tradisional sebagai sapi perah untuk penerimaan retribusi, menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mengurangi pelanggan pedagang pasar, dan minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi pedagang tradisional.

Menurut Kantor Menko Perekonomian, dukungan pembiayaan untuk pasar tradisional cukup banyak. Kini, yang dibutuhkan adalah pemotongan biaya transaksi, kreativitas dan inovasi untuk mengembangkan keunikan masing-masing pasar.

Data pasar tradisional per 18 Desember 2008, jumlah pedagang 12.625.000 orang, pertumbuhan pasar tradisional menyusut 8,1 persen setiap tahun. Di Jakarta, setiap tahun 400 kios tutup, kontribusi pasar tradisional terhadap penjualan 47 produk terus menyusut, dari 78,1 persen pada tahun 2000 menjadi 69,9 persen pada tahun 2004.

Kendala terberat bagi pasar tradisional adalah sulitnya perbankan mengucurkan kredit pembangunan pasar tradisional. Hal ini disebabkan beberapa kendala seperti tidak jelasnya jenis aset pasar tradisional, serta status kepemilikan kios berupa hak pakai, bukan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atau Hak Guna Bangunan (HGB). Selain kendala tersebut, pasar tradisional juga dihadapkan pada permasalahan belum adanya bank khusus untuk penyaluran kredit investasi revitalisasi pasar tradisional, dan belum dibuatnya standar khusus pelayanan publik pasar tradisional.

Solusi Permasalahan

Kunci solusi sebenarnya ada di tangan pemerintah. Yang diperlukan adalah aturan tata ruang yang tegas yang mengatur penempatan pasar tradisional dan pasar modern. Misalnya tentang berapa jumlah hypermarket yang boleh ada untuk setiap wilayah di satu kota. Lalu berapa jarak yang diperbolehkan dari pasar tradisional jika pengusaha ingin membangun supermarket. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi ancaman kebangkrutan pada pasar tradisional akibat kepungan pasar modern yang tidak terkendali, dan memberikan wahana persaingan yang sehat antara keduanya.

Selain itu, perlu merubah “wajah” pasar tradisional agar bisa lebih nyaman dan teratur. Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya lebih sering mengedepankan kepentingan investor ketimbang kepentingan para pedagang sendiri. Harga kios yang tinggi tanpa kompromi kerap membuat pedagang “alergi” mendengar kata pembenahan. Keadaan ini tidak jarang akhirnya menimbulkan perselisihan antara pedagang lama dengan investor yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional (Indrakh wordpress.com. 2007).

Saat ini, Departemen Perdagangan menfokuskan program 2009 pada pembinaan dan revitalisasi pasar tradisional termasuk melakukan pelatihan manajemen pengelolaan pasar tradisional, penyusunan model pembangunan dan pengelolaan pasar, pelaksanaan pos ukur ulang dan perlindungan konsumen (Kompas, 16 Februari 2009).

Untuk menciptakan kondisi lingkungan pasar tradisional yang lebih baik dan lebih nyaman, kebijakan-kebijakan yang akan membantu meningkatkan daya saing pasar tradisional harus diciptakan dan dilaksanakan, dengan upaya-upaya : Pertama, memperbaiki infrastruktur. Hanl ini mencakup jaminan tingkat kesehatan dan kebersihan yang layak, penerangan yang cukup, dan lingkungan keseluruhan yang nyaman. Contohnya, konstruksi bangunan pasar berlantai dua tidak disukai di kalangan pedagang karena para pelanggan enggan untuk naik dan berbelanja di lantai dua. Untuk itu, Pemerintah Daerah dan pengelola pasar tradisional swasta harus melihat pasar tradisional bukan hanya sekadar sebagai sumber pendapatan.

Kedua, harus melakukan investasi dalam pengembangan pasar tradisional dan menetapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Hal ini mensyaratkan pengangkatan orang-orang berkualitas sebagai pengelola pasar dan memberikan mereka wewenang yang cukup untuk mengambil keputusan sehingga mereka tidak hanya bertindak sebagai pengumpul retribusi semata.

Ketiga, peningkatan kinerja pengelola pasar dengan menyediakan pelatihan atau evaluasi berkala. Selanjutnya, pengelola pasar harus secara konsisten berkoordinasi dengan para pedagang untuk mendapatkan pengelolaan pasar yang lebih baik. Kerjasama antar Pemda dan sektor swasta dapat menjadi contoh solusi untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional (www.semeru.co.id, 2007).

Terakhir, bahwa pedagang tradisional selama ini selalu dihadapkan pada masalah permodalan dan jaminan/asuransi atas barang dagangannya. Oleh sebab itu, sudah saatnya Pemda dan lembaga keuangan setempat memperhatikan hal ini. Strategi pengadaan barang yang kerap menjadi strategi utama pedagang tradisional adalah membeli barang dagangan dalam bentuk tunai dengan menggunakan dana pribadinya. Kondisi ini berdampak negatif terhadap usaha. Mereka menjadi sangat rentan terhadap kerugian yang disebabkan oleh rusaknya barang dagangan dan fluktuasi harga yang tidak menentu.

Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri
Artikel ini juga dimuat di beberapa media online seperti : http://www.sumbawanews.com dan http://www.nusatenggaranews.com

Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 06.03
Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air. Akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan adalah berasal dari imigrasi yang dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena beragamnya etnis dan budaya yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun cukup beragam meskipun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragama Islam. Untuk itu, dalam pembahasan berikut akan kita lihat bagaimana keragaman masyarakat Bima tersebut, baik dilihat dari imigrasi secara etnis/budaya maupun secara agama/kepercayaan.

Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Etnis/Budaya

Orang Donggo

Orang Donggo dikenal sebagai penduduk asli yang telah menghuni tanah Bima sejak lama. Mereka sebagian besar menempati wilayah pegunungan. Karena letaknya yang secara geografis di atas ketinggian rata-rata tanah Bima, Dou Donggo (sebutan bagi Orang Donggo dalam bahasa Bima), kehidupan mereka sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang dijalani masyarakat Bima saat ini. Masyarakat Donggo mendiami sebagian besar wilayah Kecamatan Donggo sekarang, yang dikenal dengan nama Dou Donggo Di, sebagian lagi mendiami Kecamatan Wawo Tengah (Wawo pegunungan) seperti Teta, Tarlawi, Kuta, Sambori dan Kalodu Dou Donggo Ele.

Pada awalnya, sebenarnya penduduk asli ini tidak semuanya mendiami wilayah pegunungan. Salah satu alasan mengapa mereka umumnya mendiami wilayah pegunungan adalah karena terdesak oleh pendatang-pendatang baru yang menyebarkan budaya dan agama yang baru pula, seperti agama Islam, Kristen dan bahkan Hindu/Budha. Hal ini dilakukan mengingat masih kuatnya kepercayaan dan pengabdian mereka pada adat dan budaya asli yang mereka anut jauh-jauh hari sebelum para pendatang tersebut datang.
Kepercayaan asli nenek moyang mereka adalah kepercayaan terhadap Marafu (animisme). Kepercayaan terhadap Marafu inilah yang telah mempengaruhi segala pola kehidupan masyarakat, sehingga sangat sukar untuk ditinggalkan meskipun pada akhirnya seiring dengan makin gencarnya para penyiar agama Islam dan masuknya para misionaris Kristen menyebabkan mereka menerima agama-agama yang mereka anggap baru tersebut.

Sebagaimana umumnya mata pencaharian masyarakat yang masih tergolong tradisional, mata pencaharian Dou Donggo pun terpaku pada berladang dan bertani. Sebelum mengenal cara bercocok tanam, mereka biasanya melakukan perladangan berpindah-pindah, dan karena itu tempat tinggal mereka pun selalu berpindah-pindah pula (nomaden).
Berhadapan dengan kian gencarnya arus modernisasi, seiring itu pula pemahaman masyarakat akan kenyataan hidup berubah, terutama dalam hal pendidikan dan teknologi. Saat ini, telah sekian banyak para sarjana asli Donggo, yang umumnya menimba ilmu di luar daerah seperti Ujung Pandang, Mataram atau bahkan ke kota-kota di pulau Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, Jakarta dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan teknologi, yang akhirnya merubah pola hidup mereka seperti halnya dalam penggarapan sawah, kendaraan sampai alat-alat elektronik rumah tangga, karena hampir semua daerahnya telah dialiri listrik. Bahkan tak jarang mereka menjadi para penyiar agama seperti Da’i, karena telah begitu banyaknya mereka naik haji.

Dou Mbojo (Orang Bima)

Dou Mbojo yang dikenal sekarang awalnya merupakan para pendatang yang berasal dari daerah-daerah sekitarnya seperti Makassar, Bugis, dengan mendiami daerah-daerah pesisir Bima. Mereka umumnya berbaur dengan masyarakat asli dan bahkan menikahi wanita-wanitanya. Para pendatang ini dating pada sekitar abad XIV, baik yang datang karena faktor ekonomi seperti berdagang maupun untuk menyiarkan agama sebagai mubaliqh. Mata pencaharian mereka cukup berfariasi seperti halnya bertani, berdagang, nelayan/pelaut dan sebagian lagi sebagai pejabat dan pegawai pemerintah.
Karena pada awalanya mereka adalah pendatang, pada beberapa generasi kemudian banyak juga yang merantau ke luar daerah untuk berbagai keperluan dan profesi seperti sebagai pegawai daerah, sekolah/kuliah, menjadi polisi/tentara, pedagang dan lain-lain. Umumnya mereka memiliki sifat ulet, mudah menyesuaikan diri dengan orang lain dan bahkan kasar. Hingga kini, beberapa daerah di Bima mewarisi sifat-sifat kasar ini seperti beberapa daerah (desa) di Kecamatan Sape, Wera dan Belo.

Orang Arab dan Melayu

Orang Melayu umumnya berasal dari Minangkabau dan daerah-daerah lain di Sumatera, baik sebagai pedagang maupun sebagai mubaliqh. Jumlah mereka termasuk minoritas, yang pada awalnya menempati daerah Bima pesisir Teluk Bima, Kampung Melayu dan Benteng. Terdorong oleh arus mobilitas penduduk yang cukup cepat, sekarang sebagian besar mereka telah membaur ke wilayah-wilayah pedalaman bersama masyarakat Bima lainnya. Orang Arab pun datang ke Bima sebagai pedagang dan mubaliqh. Awal kedatangan orang Arab umumnya sangat tertekan karena harus berhadapan dengan masyarakat Bima yang sudah cukup variatif. Mereka dianggap sebagai pendatang dari Arab, sebagai turunan Nabi. Akan tetapi, sekarang mereka telah diterima secara umum dan wajar, serta telah berbaur dengan masyarakat. Bahkan seiring dengan kuatnya pengaruh Islam melalui Hadirnya Kesultanan Bima, termasuk orang Melayu, sering dianggap istimewa karena biasanya pada masa Kesultanan Bima mereka diangkat sebagai Da’I dan pejabat hadat di seluruh pelosok tanah Bima.

Pendatang Lainnya

Para pendatang ini datang dengan latar belakang yang beragam, dengan menduduki berbagai profesi baik sebagai pejabat pemerintah, polisi/tentara, pedagang/pengusaha. Mereka datang dari Jawa, Madura, Ambon, Flores, Timor-Timur, Banjar, Bugis, Bali, Lombok yang kemudian membaur dan menikah dengan masyarakat Bima asli maupun dengan para pendatang lain. Orang Cina tak ketinggalan memiliki peran di Bima, yang umumnya berprofesi sebagai pedagang. Dari segi jumlah, orang Cina memang tergolong kecil namun karena mereka sangat gigih dan ulet, peran mereka dalam perekonomian Bima sangat signifikan.

Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Agama

Kepercayaan Makakamba - Makakimbi

Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli penduduk Dou Mbojo. Sebagai media penghubung manusia dengan alam lain dalam kepercayaan ini, diangkatlah seorang pemimpin yang dikenal dengan nama Ncuhi Ro Naka. Mereka percaya bahwa ada kekuatan yang mengatur segala kehidupan di alam ini, yang kemudian mereka sebut sebagai “Marafu”. Sebagai penguasa alam, Marafu dipercaya menguasai dan menduduki semua tempat seperti gunung, pohon rindang, batu besar, mata air, tempat-tempat-tempat dan barang-barang yang dianggap gaib atau bahkan matahari. Karena itu, mereka sering meminta manfaat terhadap benda-benda atau tempat-tempat tersebut.

Selain itu, mereka juga percaya bahwa arwah para leluhur yang telah meninggal terutama arwah orang-orang yang mereka hormati selama hidup seperti Ncuhi, masih memiliki peran dan menguasai kehidupan dan keseharian mereka. Mereka percaya, arwah-arwah tersebut tinggal bersama Marafu di tempat-tempat tertentu yang dianggap gaib.

Masyarakat asli juga memiliki tradisi melalui ritual untuk menghormati arwah leluhur, dengan mengadakan upacara pemujaan pada saat-saat tertentu. Upacara tersebut disertai persembahan sesajen dan korban hewan ternak yang dipimpin oleh Ncuhi. Tempat-tempat pemujaan tersebut biasa dikenal dengan nama “Parafu Ra Pamboro”.

Agama Hindu

Sampai saat ini belum ada ilmuwan/sejarawan yang mengetahui secara pasti kapan agama Hindu memasuki tanah Bima. Dari sekian petunjuk peninggalan sejarah yang berupa prasasti maupun berbentuk monumen seperti prasasti Wadu Pa’a yang dipahat Sang Bima saat mengembara ke arah timur pada sekitar pertengahan abad VIII, bekas candi di Ncandi Monggo, prasasti Wadu Tunti di Rasabou Donggo, kuburan kuno Padende dan Sanggu di Pulau Sangiang, tidak meninggalkan informasi yang jelas tentang masuknya agama Hindu. Pengaruh agama Hindu dari Bali dan Lombok yang cukup besar tidak mampu menembus wilayah Bima, dan hanya bertahan di wilayah Dompu dan sebagian daerah Bolo.

Agama Kristen

Secara umum, Dou Mbojo tidak senang dengan kedatangan agama ini. Agama Kristen dianggap sebagai agama orang luar yang sangat berbeda dengan kenyataan hidup dan budaya mereka. Meskipun agama Kristen kurang mendapat angin segar dari Dou Mbojo, namun agama ini berhasil menyebar dan dianut oleh masyarakat pendatang lainnya seperti pendatang dari Timur, anggota polisi/tentara, serta pendatang dari Jawa dan Manado, yang awalnya mendiami daerah-daerah pesisir Bima dan kemudian sebagian kecil lagi memasuki daerah-daerah pedalaman. Akhir-akhir ini, tampaknya kegagalan sejarah tersebutlah yang kemudian memotivasi kembali kaum misionaris untuk melancarkan misinya ke daerah-daerah pelosok dan kepada masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan tergolong terbelakang, melalui apa yang dikenal dengan program “Plan”. Namun, lagi-lagi misi ini bukan tak ada hambatan, karena kemudian Majelis Ulama Indonesia NTB melarang keberadaan mereka dengan segala aktivitasnya.

Agama Islam

Ada dua alasan utama kenapa agama Islam dapat lebih mudah diterima di Bima. Pertama, jauh-jauh waktu sebelum diberlakukannya secara resmi sebagai agama kerajaan, masyarakat Bima sudah lebih dulu mengenal agama Islam melalui para penyiar agama dari tanah Jawa, Melayu bahkan dari para pedagang Gujarat dari India dan Arab di Sape pada tahun 1609 M, yang awalnya dianut oleh masyarakat pesisir. Kedua, tentu saja peran yang penting adalah peralihan dari masa kerajaan kepada masa kesultanan yang kemudian secara resmi menjadikan agama Islam sebagai agama yang umum dianut oleh masyarakat Bima. Letak Bima yang strategis sangat mendukung sebagai jalur perdagangan antar daerah bahkan sebagai jalur transportasi perdagangan laut internasional, yang didukung dengan keberadaan Pelabuhan Sape.

Sebagai sultan pertama, diangkatlah Sultan Abdul Kahir pada tanggal 5 Juli 1620 M. Kehadiran sultan pertama ini memiliki pengaruh yang besar dan luas sehingga penyebaran agama Islam begitu cepat di seluruh pelosok tanah Bima, kecuali di daerah-daerah tertentu seperti di Donggo yang masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Selain Donggo, Wawo juga termasuk sebagian daerahnya masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Akan tetapi pada beberapa generasi berikutnya mereka mulai menerima Islam, karena makin sulitnya arus komunikasi terbatas internal yang mereka lakukan sesamanya serta makin meluasnya arus komunikasi masyarakat yang beragama Islam. Sekarang, bahkan di daerah-daerah yang dulu memegang kuat adat nenek moyang, hampir tidak dapat dibedakan antara Islam dengan budaya setempat.

Dalam kehidupan yang demikian Islami tersebut, muncul satu ikrar setia pada Islam dalam bentuk ikrar yang berbunyi “Mori ro made na Dou Mbojo ede kai hukum Islam-ku” yang berarti “Hidup dan matinya orang Bima harus dengan hukum Islam”. Untuk menguatkan ikrar ini, bahkan sejak masa kesultanan telah dibentuk sebuah majelis yang dikenal dengan Hadat Tanah Bima, yang bertugas dan bertanggung jawab selain sebagai sarana penyiaran dan penyebaran Islam juga sebagai penentu segala kebijakan kesultanan yang berdasarkan Islam dan kitabnya.

Penyebaran yang demikian pesat ini juga diiringi dengan berkembangnya berbagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam, serta masjid-masjid selalu menghiasi di setiap desa dan kampung tanah Bima. Pusat-pusat pengajaran Islam tidak hanya berkembang melalui pesantren, bahkan berkembang dari rumah ke rumah, terbukti dengan menjamurnya tempat pengajian di rumah-rumah yang menggema dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di setiap sore dan malam hari.

Pada masa kesultanan juga diperlakukan aturan yang bersendikan hukum Islam dengan mendirikan Badan Hukum Syara atau Mahkamah Tussara’iyah, yang mengirim pemuda-pemuda Bima untuk belajar memperdalam kaidah dan pengetahuan Islam ke Mekkah, Mesir, Istamul dan Bagdad serta negara-negara Arab lainnya. Bahkan telah diusahakan tanah wakaf di Mekkah untuk menjamu jamaah calon haji Dou Mbojo yang selalu membanjir setiap tahunnya untuk menunaikan ibadah haji.

Demikian dua model variasi masyarakat Bima yang kita lihat dan kenal sekarang. Meski demikian, pada perkembangan-perkembangan terakhir sebagaimana kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia umumnya dengan semakin cepatnya arus modernisasi, kenyataan tersebut secara perlahan mengalami perubahan. Berbagai perubahan tersebut semakin memberi warna, baik putih maupun hitam, dalam beragam kehidupan dan keseharian masyarakat Bima.

Sebagai penutup, yang kita harapkan bersama semoga masyarakat Bima tetap memegang teguh pada nilai-nilai kearifan yang sudah tertanam sejak nenek moyang mereka, dan benar-benar menghayati serta mengamalkan petuah “Maja Labo Dahu, Nggahi Rawi Pahu” dan petuah-petuah lainnya kapan dan di manapun mereka berada.


*(dari berbagai sumber).

Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri

Artikel ini juga dimuat dibeberapa media online di antaranya : http://www.melayu.com, http://www.sumbawanews.com, http://www.nusatenggaranews.com

Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 00.12
Perusahaan mesin pencari ternama dunia, Google memperkenalkan produk terbaru bernama Google Buzz, Selasa (9/2). Pengguna sistem ini dapat dengan mudah berbagi informasi, pesan, foto, dan lain sebagainya kepada teman dan kerabat dalam Gmail (kotak surat situs Google). Langkah tersebut diambil untuk menyaingi dua raksasa situs jejaring sosial Facebook dan Twitter.

Teknologi terbaru ini memiliki beberapa fitur kunci Facebook dan Twitter, dimana hal tersebut telah menjadi tantangan bagi Google selama beberapa waktu. Selain Buzz, Google juga mengeluarkan berbagai produk lain yang didesain khusus agar fitur jaringan sosial terbaru itu sesuai dengan ponsel, seperti smartphone yang memakai sistem Android.

Sebelumnya Google telah mencoba peruntungan di bisnis jejaring sosial dengan merilis Orkut pada 2004. Walau berhasil meraih keuntungan di sejumlah pasar seperti Brasil, Orkut gagal menandingi jumlah pengguna Facebook dan MySpace di Amerika Serikat.

Berdasarkan data comScore, Gmail adalah situs email ketiga terbesar di dunia dengan total pengguna sebanyak 176,5 juta pada Desember. Sementara Windows Live Hotmail milik Microsoft dan Yahoo Mail menduduki urutan pertama dan kedua dengan 369,2 dan 303,7 juta orang.

* Kompas.com

Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 23.46
Jika membaca profil saya, mungkin terbesit dalam benak Anda mengapa blog ini diberi nama Janu Rahab Az-Zain, terutama buat teman-teman yang sudah mengenal saya. Bagi saya, nama ini selain khas dan hampir tidak ada yang menyamainya, nama memiliki makna sendiri. Untuk itu, agar teman-teman tidak penasaran, pada kesempatan ini alangkah baiknya saya membuka tabir di balik nama Janu Rahab Az-Zain.

Janu Rahab Az-Zain merupakan sebuah singkatan dari nama diri, kedua orang tua, kakek dan nenek saya. Bagi saya, nama ini adalah sebuah anugerah meski ini hanya nama lain dan bukan pemberian kedua orang tua. Nama ini saya dedikasikan untuk kedua orang tua saya, khususnya untuk ayah yang sedang damai di sana.

Namun, jika ingin mengenal lebih jauh dengan saya, perhatikan ringkasan di bawah ini.

Secara fisik, saya memiliki ciri TB = 176, BB = 71, ciri khas kedua pipi lesung, kulit sawo matang, rambut lebih sering potong pendek dan kalau berjalan terlihat tegap.

Secara non fisik, yang bisa saya katakan adalah saya itu murah senyum (bawaan orok kalee...), ramah (sifat wajib...), dan kadang sering diam klo berhadapan dengan orang yang tidak disukai. Teman-teman saya sering bilang kalau saya itu orangnya cuek. Sebenarnya saya tidak teralalu cuek, hanya saja saya kurang senang berbicara hal-hal yang tidak terlalu penting dengan orang lain, kecuali teman dekat.

Selain itu, saya orangnya paling benci sama yang namanya ROKOK. Mulai dari batangnya, abunya, baunya, apalagi asapnya, dan yang lebih penting adalah paling benci kalau ada orang yang merokok rokok di dekat saya. Bagi saya, merokok sama sekali tidak ada manfaatnya. Malah menimbulkan banyak penyakit dan membuang-buang uang.

Saya lebih senang dekat dan bergaul dengan cewek yang berjilbab (Meski dalam hal tertentu bukan jaminan, tapi setidaknya dia tau kewajibannya sebagai muslimah). Dalam benak saya, cewek yang berjilbab itu bisa jaga diri dari hal-hal yang negatif. Menjaga diri dari hal-hal yang negatif banyak untungnya bagi diri sendiri dan orang lain. Misalnya, jika seorang pria itu orang baik-baik, Insya Allah masa depannya akan cerah, dunia akhirat, termasuk dalam hal jodoh (Ingat Firman-Nya : "Wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan sebaliknya laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik").

Lebih kurang begitulah tentang diri saya. Buat teman-teman yang ingin menambahi, silakan kasih komen di bawah ini agar kiranya saya pertimbangkan untuk perbaikan profil ini. Terima kasih. Sampai jumpa n' Wassalam.
Diberdayakan oleh Blogger.