Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 02.35
Mundurnya Presiden Mesir Hosni Mubarak, menjadi pintu bagi demokratisasi di negara itu. Selama ini, Mesir di bawah Hosni Mubarak tidak memberi peluang munculnya partisipasi rakyat dalam berdemokrasi sehingga mengakibatkan selama 31 tahun, Mesir berada di bawah kekuasaan yang otoriter.

Namun ruang yang ada ini, demokratisasi, tidak dimanfaatkan oleh Ikhwanul Muslimin untuk berpartisipasi politik. Hal demikian diungkapkan oleh pemimpin tertinggi Ikhwanul Muslimin, Mohamed Badie, yang menyatakan Ikhwanul Muslimin tidak akan menjadi partai politik. Organisasi yang didirikan oleh Hasan Al Banna pada tahun 1928 itu akan tetap sebagai organisasi massa dengan misi utama dakwah islamiyah.

Meski secara organisasi Ikhwanul Muslimin tidak berpolitik, namun organisasi itu memberi ruang kepada anggotanya bebas untuk berpolitik dengan jalur berbagai partai politik yang ada, bisa juga melalui jalur independent. Hal ini sudah dilakukan oleh anggota Ikhwanul Muslimin seperti Dr. Hoda Ghania (perempuan) dan Mohsen Radi (Time, November 29, 2010).

Mengapa Ikwanul Muslimin tidak menggunakan kesempatan ini untuk memperjuangkan cita-citanya untuk 'meng-Islam-kan' Mesir? Jawabannya adalah. Pertama, Ikhwanul Muslimin sekarang, bukan Ikhwanul Muslimin yang dulu. Artinya, dari tahun ke tahun anggota Ikhwanul Muslimin dalam memperjuangkan cita-cita organisasinya tidak secara kaku, namun bisa juga dengan cara-cara moderat.

Pembiasan cara berjuang inilah yang membuat anggota Ikhwanul Muslimin tersebar di berbagai partai politik, LSM, jalur independen, pengusaha, akademisi, bahkan ada pula yang mendukung Husni Mubarak. Langkah Ikhwanul Muslimin ini seperti langkah Muhammadiyah dan NU di Indonesia, tidak berpolitik namun memberi kebebasan anggotanya untuk berpolitik di manapun tempatnya.

Kedua, Ketika demonstrasi menuntut mundur Husni Mubark, kelompok Kristen Koptik juga berbaur dengan para demonstran. Alasan kelompok yang jumlahnya di Mesir sekitar 10% ikut menuntut Mubarak mundur karena mereka merasa tidak aman semasa pemerintahan Mubarak. Contoh terbarunya adalah terjadinya ledakan di Gereja Coptic di Alexandria yang menyebabkan terbunuhnya ummat Kristen Koptik sebanyak 23 orang. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Mubarak selain tidak bisa menjaga keamanan ummat Kristen Koptik juga melakukan tindakan diskriminasi. Dari sini terlihat bahwa semua unsur rakyat Mesir terlibat dalam menuntut Hosni Mubarak mundur.

Isu penggulingan Mubarak ini bukan sebuah isu yang selama ini dikembangkan oleh Ikhwanul Muslimin, yakni islamisasi. Isu yang ada adalah isu yang mempunyai nilai universal yang selama ini mendera rakyat Mesir terutama generasi mudanya, yakni soal kemiskinan, korupsi, distribusi ekonomi yang tak merata, kebebasan, keadilan, dan pengangguran.

Ketiga, gerakan menuntut mundur ini diinspirasi oleh Revolusi Jasmine di Tunisia, bukan Revolusi Islam Iran. Revolusi Jasmine di Tunisia yang mereka lihat dari televisi memberi harapan kepada rakyat Mesir, apa yang terjadi di Tunisia diharapkan juga bisa terjadi di Mesir. Revolusi Jasmine terjadi juga dilandasi faktor kemiskinan, korupsi, distribusi ekonomi yang tak merata, kebebasan, keadilan, dan pengangguran.

Lain ketika apa yang terjadi di Mesir diinspirasi oleh Revolusi Iran. Bila diinspirasi oleh negara Persia itu, tentu Ikhwanul Muslimin menjadi yang terdepan. Karena apa yang dicitacitakan dalam Revolusi Iran sama dengan cita-cita Ikhwanul Muslimin.

Keempat, pemberangusan gerakan Ikhwanul Muslimin sejak Perdana Menteri Mesir Muhammad Fahmi Naqrasyi tahun 1948, Gamal Abdul Nasser, Anwar Sadat, hingga di masa Presiden Husni Mubarak.

Pemberangusan ini membuat Ikhwanul Muslimin tidak berani tampil vulgar dan lebih sering melakukan aktivitasnya di bawah tanah. Pemberangusan ini dilakukan dari penangkapan para aktivisnya, terutama menjelang pemilu, hingga membekukan organisasi dengan tuduhan hendak melakukan makar atau terkait jaringan teroris.

Hal demikian membuat traumatik para aktivis Ikhwanul Muslimin sehingga ketika terjun dalam dunia politik banyak aktivis Ikhwanul Muslimin menempuh jalur dari calon independent bukan dari Ikhwanul Muslimin. Pemberangusan dan intimidasi secara berkesinambungan dari regim ke regim inilah yang membuat Ikhwanul Muslimin susah melakukan konsolidasi sehingga mereka dalam masa-masa yang genting ini tidak bisa mengambil sikap apa yang harus dilakukan. Ikhwanul Muslimin seakan-akan hanya mengikuti apa yang terjadi begitu saja.

Gerakan di bawah tanah dari Ikhwanul Muslimin inilah yang membuat para demonstran, khususnya anak muda Mesir, tidak tahu Ikhwanul Muslimin ada di antara mereka. Di sebuah media nasional ditulis dengan jelas dengan judul Krisis Mesir, Revolusi di Mesir Bukan Revolusi Islam. Pendapat tersebut disimpulkan ketika penulis berita mengambil pendapat dari seorang demonstran, Usama mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Kairo dan Juru Bicara Ikhwanul Muslimin Rashad al Bayoumi.

Usama membantah sinyalemen bahwa Ikhwanul Muslimin memprakarsai dan berperan besar dalam aksi unjuk rasa terbesar menuntut Mubarak mundur. Dikatakan oleh Usama bahwa bahwa generasi muda Mesir bergerak secara spontan melalui jejaring sosial di internet, seperti twitter da Facebook. Apa yang dikatakan oleh Usama itu dikuatkan oleh Amer Ali, seorang pemimpin demonstran. Dikatakan, ketika orang tua melihat anak-anak muda turun ke jalan, akhirnya mereka juga ikut turun ke jalan. (Time, February 14, 2011).

Sedang Rashad al Bayoumi dengan tegas mengatakan, pihaknya (Ikwanul Muslimin) tak ingin menonjol dalam aksi menuntut mundur Mubarak agar tidak menimbulkan kesan bahwa ini merupakan revolusi Islam.

Kelima, Ikhwanul Muslimin tidak menampakkan diri dalam gerakan penurunan Mubarak bisa jadi ia lebih mendahulukan kepentingan rakyat Mesir daripada organisasinya. Sebab ketika Ikhwanul Muslimin, seumpama, berada pada garis yang terdepan, maka revolusi itu akan gagal. Sebab Mubarak untuk mencari dukungan kepada Barat dan Israel, untuk mempertahankan posisinya, ia selalu mengatakan bila dirinya mundur, yang akan muncul adalah fundamentalis Islam.

Tuduhan ini pastinya ditujukan oleh Ikhwanul Muslimin. Bila tuduhan itu benar, maka Barat dan Israel, dengan sekuat tenaga akan tetap mendukung Mubarak. Dan bisa jadi Tahrir Square akan seperti Lapangan Tianament, China. Militer Mesir yang dibiayai Amerika bisa melakukan tindakan yang keras kepada para demonstran.

Keenam, dukungan Barat kepada gerakan rakyat Mesir ini bisa jadi karena selain berubahnya peta politik luar negeri Presiden Barack Obama yang tidak lagi belah bambu dalam demokratisasi, juga karena tidak ada sesuatu yang mencurigakan dari Ikhwanul Muslimin. Sehingga ucapan Mubarak bahwa fundamentalis Islam akan muncul bila dirinya mundur dianggap angin lalu oleh para pemimpin Barat.

Ardi Winangun - detikNews

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.