Selama ini biaya sertifikasi halal kerap menjadi alasan para pengusaha baik industri olahan maupun restoran enggan dalam mengajukan sertifikasi halal. Namun bagaimana jika kini sertifikasi halal ditawarkan gratis?
Halal telah semakin mengglobal, tidak hanya produk industri olahan tetapi juga restoran-restoran pun mulai mencantumkan logo halal. Pencantuman logo halal memang belum menjadi keharusan di Indonesia, meskipun kini tidak dapat dipungkiri halal memiliki nilai jual tersendiri dan sangat menguntungkan.
Seperti yang dikemukakan oleh Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (Panja RUU JPH), bahwa pengusaha tidak tergiur biaya sertifikasi halal yang ditawarkan oleh mereka. Meskipun sebenarnya tawaran ini baru bersifat wacana dan akan diberikan jika nantinya jika sertifikasi halal bersifat wajib. Untuk biaya sertifikasi selanjutnya akan dibebankan ke dalam anggaran negara.
Dalam RDP RUU JPH ini dihadiri oleh beberapa pihak terkait. Sebut saja KADIN, GAPMMI, Gabungan Perusahaan Farmasi, PPKI, Asosiasi Franchise Indonesia, dan International Pharmaceutical Manufacturing Group.
"Dalam pengurusan sertifikat halal, tampaknya bukan hanya biaya yang menjadi persoalan. Proses sertifikasi yang sangat kompleks juga menjadi pertimbangan mereka," ungkap Hariyadi Sukamdani Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (KADIN) Bidang Moneter, Fiskal dan Kebijakan Publik.
Karena harus diverifikasi dan prosesnya cukup panjang, maka halal akan menjadi hukum positif dan semua produk yang ada di Indonesia nantinya harus halal. "Dengan infrastruktur yang ada di Indonesia saat ini, saya kira tidak memungkinkan. Buat apa nanti jika Undang-Undang dibuat tetapi tidak ada yang melakukan," tambah Hariyadi.
Pada Rapat Dengar Pendapat tersebut juga pihak-pihak yang hadir menyepakati hal-hal yang seharusnya diatur dalam RUU JPH. Diantaranya adalah mengenai Prinsip voluntary, Biaya sertifikasi halal harus tidak memberatkan pelaku usaha, Efisien dan tidak dikaitkan dengan jumlah produksi, Pencantuman keterangan halal dicetak langsung dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dari label produk, Sinkronisasi dengan peraturan perundang-undanngan lain yang masih berlaku, Jaminan kerahasiaan informasi formula produk, dan Kemudahan proses sertifikasi termasuk penerapan asas resiprositas.
(Sumber: LPPM MUI)
Halal telah semakin mengglobal, tidak hanya produk industri olahan tetapi juga restoran-restoran pun mulai mencantumkan logo halal. Pencantuman logo halal memang belum menjadi keharusan di Indonesia, meskipun kini tidak dapat dipungkiri halal memiliki nilai jual tersendiri dan sangat menguntungkan.
Seperti yang dikemukakan oleh Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (Panja RUU JPH), bahwa pengusaha tidak tergiur biaya sertifikasi halal yang ditawarkan oleh mereka. Meskipun sebenarnya tawaran ini baru bersifat wacana dan akan diberikan jika nantinya jika sertifikasi halal bersifat wajib. Untuk biaya sertifikasi selanjutnya akan dibebankan ke dalam anggaran negara.
Dalam RDP RUU JPH ini dihadiri oleh beberapa pihak terkait. Sebut saja KADIN, GAPMMI, Gabungan Perusahaan Farmasi, PPKI, Asosiasi Franchise Indonesia, dan International Pharmaceutical Manufacturing Group.
"Dalam pengurusan sertifikat halal, tampaknya bukan hanya biaya yang menjadi persoalan. Proses sertifikasi yang sangat kompleks juga menjadi pertimbangan mereka," ungkap Hariyadi Sukamdani Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (KADIN) Bidang Moneter, Fiskal dan Kebijakan Publik.
Karena harus diverifikasi dan prosesnya cukup panjang, maka halal akan menjadi hukum positif dan semua produk yang ada di Indonesia nantinya harus halal. "Dengan infrastruktur yang ada di Indonesia saat ini, saya kira tidak memungkinkan. Buat apa nanti jika Undang-Undang dibuat tetapi tidak ada yang melakukan," tambah Hariyadi.
Pada Rapat Dengar Pendapat tersebut juga pihak-pihak yang hadir menyepakati hal-hal yang seharusnya diatur dalam RUU JPH. Diantaranya adalah mengenai Prinsip voluntary, Biaya sertifikasi halal harus tidak memberatkan pelaku usaha, Efisien dan tidak dikaitkan dengan jumlah produksi, Pencantuman keterangan halal dicetak langsung dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dari label produk, Sinkronisasi dengan peraturan perundang-undanngan lain yang masih berlaku, Jaminan kerahasiaan informasi formula produk, dan Kemudahan proses sertifikasi termasuk penerapan asas resiprositas.
(Sumber: LPPM MUI)
Posting Komentar