Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 07.13
BERTEMU KEMBALI, Sri Zerrer (empat dari kanan) pada pertemuan dengan Aminah (berkerudung) setelah 32 tahun lamanya.         
 

Di Facebookdia mengenalkan diri sebagai Sri Rejeki.Dalam surat menyurat dengan SINDO,dia menulis namanya dengan Sarah. ”Dua duanya betul,”tuturnya.

LENGKAPNYA Sarah Sri Rejeki Warni Zerrer.Paduan antara nama Eropa dan Indonesia. Seperti namanya, jalan kehidupannya juga panjang, tak biasa dan membentang dari Eropa hingga ke Jakarta. Jika ditanyakan hari paling indah bagi Sarah, atau Sri, tanpa ragu wanita kelahiran Jakarta, tapi sejak bayi menetap di Stuttgart, Jerman ini akan menunjuk tanggal 5 Februari 2011. ”Tidak terlukiskan, tidak ada kata-kata yang bisa merangkai kebahagiaanku di hari itu,”tuturnya dengan terbata-bata.

Betapa tidak, Jumat itu, selepas zuhur, di kawasan Jati Baru,Tanah Abang,Sarah menemukan kembali Aminah, ibu kandungnya, setelah puluhan tahun terpisahkan. ”Bagian sejarah hidupku, selama 32 tahun itu, akhirnya tertemukan kembali di sini,di Jakarta,”katanya sambil terisak-isak. Sri memang pantas sangat bahagia.Selama 32 tahun, wanita yang suka memasak ini tidak pernah bertemu ibu kandungnya. Di Stuttgart, dia memang sudah menemukan keluarga impian.

Orang tua yang penuh kasih sayang dan Sabine,kakak perempuan yang penuh perhatian. ”Tapi tetap ada yang hilang,” akunya. Keluarga Zerrer hanya keluarga angkat. Sri adalah salah satu kisah dari puluhan bayi di Jakarta yang diadopsi keluarga mapan di Eropa. ”Mereka sangat baik. Mereka menyayangiku seperti anak sendiri,”akunya.Tapi, ada saatnya dia ingin menemukan kembali ibu biologisnya. Tidakkah penantian itu terlalu lama? ”Bukan saya tak ada niat mencari sejak awal.Tapi,selalu tak siap,” akunya. Sri mengaku sejak kecil sudah ingin ke Indonesia,tapi selalu gagal.

Saban tantenya pelesiran ke luar negeri, dia menyempatkan diri mengantarnya ke bandara. ”Begitu pesawat lepas landas,suatu saat saya akan berada di dalamnya, terbang entah ke mana,”kenangnya. Niatnya mulai muncul ketika menginjak usia 20 tahun. Ibu angkatnya di Jerman sudah mengajaknya ke agen travel, tiket ke Indonesia sudah siap dibelinya. ”Tapi saat itu saya merasa ragu dan perjalanan ke Indonesia batal,” ungkapnya. Jika dipaksakan ke Jakarta saat itu, akunya, bisa jadi bukan hal baik yang ditemukannya. ”Saya masih labil,masih belum siap, bisa jadi akan tambah stres kalau saat itu ke Jakarta,”katanya.

Barulah ketika usianya menginjak 32 tahun,keinginan menemukan ibu kandungnya kembali menyala. ”Saatnya tepat, tak ada pekerjaan, tak ada pacar, dan inilah waktunya saya harus ke Indonesia,” katanya. Kali ini bapaknya yang bertugas memesan tiket pesawat, sementara Sabine yang kerap ke Bali mulai menelusuri jaringannya di Indonesia. Seorang teman di Sierre,Wallis,Swiss Barat, mengontak SINDO agar mencarikan orang di Jakarta yang bisa menunjukkan jalan.

”Sri baru pertama kali ke Indonesia.” ”Dia pasti kaget dengan semrawutnya Jakarta. Ada baiknya ada orang yang bisa menunjukkan jalan,” kata teman di Sierre itu.Bukan kekhawatiran yang berlebihan. Jakarta bagi orang Eropa adalah kota yang semrawut dan menakutkan. Apalagi,Jeroen,senasib dengan Sri, pernah gagal melacak keberadaan ibu kandungnya di Jakarta. Atas usaha SINDO,Sri akhirnya berkenalan dengan Jekti, wanita asal Mojokerto yang cukup lama menetap di Tangerang, sebagai penunjuk jalan di Jakarta.”Semua seperti diatur oleh kekuatan lain,” kata Sri.

Beberapa kerabatnya di Stuttgart sejak awal wanti-wanti bahwa di Jakarta kelak ia akan mengalami gegar budaya. ”Anehnya, ketika dari jendela pesawat, saat melihat Jakarta, saya merasa inilah rumah saya,” katanya. Setelah melepaskan lelah beberapa hari di rumah Jekti, pencarian ibu kandungnya pun di mulai. Hanya saja,modalnya sangat minim,cuma selembar dokumen kelahiran dan nama yayasan yang mengurusi adopsinya saat itu. Yayasan itu ternyata sudah raib dari bumi Jakarta.

Harapan satusatunya adalah alamat ibu kandungnya. Alamat itu yakni Jati Baru ternyata kampung semrawut dengan gang-gang kecil seperti labirin. Aminah, nama ibu kandungnya, sudah tak ada di kampung itu. ”Saya agak putus asa,” akunya. Tapi, perasaannya mengatakan lain dan akhirnya terus ditelusuri lorong-lorong di kampung semrawut itu. ”Dibantu belasan orang,” akunya.Akhirnya Sri ditemukan dengan orang yang mengaku saudara ibunya, juga kakak laki-laki dan kakak perempuannya. ”Tapi, mereka tak mengakui saya,” ungkapnya.

Penyebabnya, imbuh Sri,Aminah hanya memiliki enam anak. ”Saya tak masuk hitungan karena saya anak ketujuh,”imbuhnya. Aminah pun,akunya,tak mau menemuinya pada mulanya. Barulah beberapa jam Sri bisa berhadapan dengan Aminah,yang baru saja dijemput khusus dari Cileduk. Tak ada kata yang terucapkan, semuanya kaku, semuanya bisu. ”Saya juga tak yakin, akhirnya saya minta keluar ruangan,” katanya. Beberapa menit kemudian, ia masuk kembali ke ruangan.

Agar semuanya jelas, Aminah diminta menuliskan tanda tangan di sebuah kertas. ”Baru tiga huruf, saya tak tahan lagi untuk menangis. Tanda tangannya persis seperti tertuang dalam surat adopsi,” kata Sri. Ibu dan anak yang sejak 32 tahun tak bertemu itu pun berpelukan dalam deraian air mata. Jekti mengaku Sri memiliki keberuntungan besar. Sebulan lagi, katanya, Jati Baru akan diratakan dengan tanah. ”Akan dibangun mal di sini. Kalau terlambat sedikit, sudah sangat sulit mencarinya,”aku Jekti.(*)

LAPORAN KORESPONDEN SINDO
KRISNA DIANTHA
Zurich, Swiss  

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.