Wilayah Kemandoran di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, berasal dari kata Mandor. |
Tak bisa disalahkan jika banyak orang ingin mengadu nasib di Jakarta, Karena kota ini memang menawarkan kesuksesan bagi mereka yang mau bekerja. Dan itu pun sudah berlangsung sejak berpukuh-puluh tahun yang lalu.
Sebagai salah satu kota pelabuhan penting pada masa lalu, Jakarta memiliki daya tarik tersendiri bagi berbagai kelompok etnis untuk datang ke sini. Terbukti, dalam kurun waktu satu abad, jumlah penduduk Jakarta telah meningkat berkali-kali lipat.
Menurut sensus tahun 1819, penduduk Jakarta terdiri atas 14.139 orang budak, 11.845 orang Cina, 7.720 orang Bali, 3.331 orang Jawa dan Sunda, 3.151 orang Melayu, 2.208 orang Eropa, serta sejumlah kecil orang daerah dan Arab.
Pada pertengahan abad ke-19, Jakarta telah “menjelma” menjadi kota kelompok-kelompok etnis. Masing-masing kelompok membawa budaya dan bahasa asalnya.
Kemudian, sensus tahun 1930 membawa hasil separuh dari penduduk Jakarta adalah anak Betawi, dan separuhnya lagi adalah penduduk baru yang sebagian besar adalah orang Sunda (494.547 orang) dan orang Jawa (142.563 orang). Diperkirakan, jumlah keseluruhan penduduk Jakarta mencapai 1,2 juta orang.
Adanya kelompok-kelompok etnis tersebut masih tersisa sampai sekarang sebagai nama-nama daerah atau kampung, antara lain Kampungmelayu, Kampungjawa, Makasar, Kampungbali, Kampungambon, Kampungbandan, Kampungbugis, Pekojan, Manggarai, Matraman (berasal dari tentara Mataram), dan Ragunan (berasal dari nama Wiraguna).
Kelompok etnis ini semula menempati berbagai wilayah yang merupakan hadiah dari pemerintah Belanda. Lama-kelamaan mereka memboyong kerabatnya dari kampung. Jumlah penduduk pun semakin meningkat karena perkawinan. Kini kampung-kampung yang berbau etnis itu telah menjadi daerah multietnis. Berbagai sukubangsa tinggal bersama di wilayah tersebut.
Dulu banyak warga datang ke Jakarta karena berbagai kawasan masih terlihat kosong. Kita bisa menelusuri hal tersebut lewat sebutan nama daerah atau nama jalan, seperti Rawabambu, Rawabening, Rawabangke, Rawamangun, Rawaterate, Rawakebo, Rawakemiri, Rawajati, Kebon Jati, Kebon Sayur, Kebonmanggis, Kebonsereh, Kebonnanas, Kebonpala, Kebonkosong, Kebonjeruk, Utankayu, dan Utanpanjang. Adanya berbagai rawa, kebon, dan utan menyiratkan bahwa waktu itu areal Jakarta masih sangat luas dan masih jarang ditinggali orang.
Sebagai contoh, dulu Kebon Jati yang terletak di daerah Tanahabang adalah hutan jati. Banyak kayu jati yang berasal dari daerah ini dan amat terkenal kualitasnya. Karena itu, para pembuat mebel tidak perlu mendatangkan jati bermutu dari luar Jakarta. Banyak mebel yang berasal dari hutan jati Tanahabang masih bisa ditemui sampai sekarang, misalnya pada sejumlah rumah berarsitektur China di kawasan kota tua.
Multietnis, multibangsa
Lambat-laun keadaan Jakarta semakin berubah. Sejak Belanda menguasai Indonesia, maka kota Batavia ditata menurut pola kota-kota di Belanda. Daerah permukiman ditempatkan pada wilayah tertentu. Sementara daerah lain diserahkan pengelolaannya kepada sejumlah orang atau pejabat tertentu yang dianggap berjasa kepada Belanda.
Sampai kini nama-nama berbau Belanda masih dikenal di Jakarta, seperti Pejongkoran (berasal dari nama Kapten Jonker), Kemayoran (mayor), Kemandoran (mandor), dan Mester (Meester Cornelis). Mereka secara langsung dan tidak langsung juga “mengundang” kaum urban untuk datang ke Jakarta.
Banyaknya pengaruh luar (daerah dan mancanegara) setahap demi setahap telah menjadikan Jakarta sebagai kota yang multietnis dan multibangsa, sekaligus menjadi daya tarik para pendatang. Pengaruh demikian masih tersisa sampai sekarang, meskipun sebagian terbesar telah musnah tergerus pembangunan fisik. Sisa-sisa tersebut berupa bangunan atau gedung.
Sejumlah peninggalan dari bangsa Belanda, Inggris, Portugis, China, dan lain-lain masih bisa diamati di beberapa wilayah kota. Ada yang berdiri megah, hanya berubah fungsi menjadi museum atau café. Ada pula yang kondisinya mengkhawatirkan karena pembangunan gedung tinggi dan megah di lingkungannya, seperti Gedung Candra Naya (Jakarta), Pondok Cina (Depok), dan Pondok Gede (Bekasi).
Namun, lebih banyak bangunan sudah tinggal nama. Akibat fatalnya, generasi masa kini hanya bisa mengetahui produk budaya masa lalu itu lewat gambar dokumentasi atau arsip. Banyak warisan bersejarah itu dihilangkan paksa untuk kepentingan bisnis. Sampai sekarang, kepentingan bisnis memang selalu mengalahkan kepentingan ilmu pengetahuan dan kepentingan apapun.
Sebenarnya, Jakarta merupakan salah satu kota di dunia yang benar-benar mencerminkan kemultietnisan dan kemultibangsaan. Bila ditangani serius dan ditata dengan baik, tidak mustahil wilayah-wilayah tersebut akan menjadi daya tarik pariwisata yang potensial. (kompas.com).
Posting Komentar