Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 18.28
Bagi Tari Sukmawidia Lestari (10), anak Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, gatrik lebih dari sekadar permainan melempar bambu. Gatrik ternyata bisa membantunya belajar berhitung dan matematika. Matematika yang tadinya begitu menyeramkan, kini menjadi pelajaran yang mengasyikkan. Tari mengatakan, sebelumnya paling malas belajar perkalian matematika. Matematika dianggap membosankan karena hanya berisi tentang angka dan hitungan rumit. Hingga akhirnya, ia mulai mengenal gatrik sejak bergabung dengan Komunitas Hong empat tahun yang lalu.

Gatrik adalah permainan tradisional dari Jawa Barat yang menuntut keterampilan memukul bambu. Penilaian dilakukan dengan menghitung jarak bambu yang dipukul dikalikan dengan panjang bambu pemukul. Pemainnya harus bisa perkalian untuk menghitung angka yang diraihnya.

"Lewat permainan ini, saya sekarang suka pelajaran matematika," ujar siswa kelas IV SDN Pakar I Kabupaten Bandung.

Contoh lain dialami Hanifah Muslimah (14), anak lainnya, saat mempelajari fisika. Siswa kelas III SMP PGRI Dago Pakar ini lantas terbiasa dengan pelajaran fisika. Sebab, saat memainkan bebedilan atau menembak, ia harus memperhitungkan jarak dan kekuatan melepaskan peluru bila ingin tepat sasaran.

Senapan yang digunakan untuk menembak terbuat dari kayu dan bambu yang dengan peluru dari buah-buah kecil dan kertas basah. Hong adalah komunitas pemerhati dan pelaku permainan tradisional Indonesia yang didirikan tahun 2003 di Bukit Pakar Utara, Bandung.

Kata hong adalah bahasa Sunda yang diambil dari permainan hong-hongan atau petak umpet. Dalam bahasa Indonesia, hong artinya bertemu. Beragam penelitian berhasil mendata ulang ratusan permainan tradisional yang telah punah.

Pendiri dan Koordinator Hong Zaini Alif mengatakan dalam kurun waktu 2003-2011, Hong telah telah menginventaris 250 jenis permainan tradisional asal Jawa Barat, 213 jenis asal Jawa Tengah, dan 50 jenis lainnya dari Lampung. Metode pencariannya lewat literatur dan terjun langsung ke lapangan.

"Ada banyak jenis permainan yang esensinya sama tapi memiliki nama yang berbeda di tiap daerah," katanya.
Selain mendata permainan di dalam negeri, ia juga melakukan penelitian ke beberapa negara untuk melihat eksistensi permainan tradisional. Hasilnya, ditemukan banyak permainan yang sama seperti di Indonesia.
Permainan hom pim pa dari Jawa Barat, misalnya. Permainan ini digunakan untuk menentukan siapa yang menang dan kalah menggunakan telapak tangan. Menurut Zaini, permainan ini juga dikenal juga di negara lain dengan sebutan berbeda, seperti cam cam tut di Singapura dan escargot di Perancis.

Selain itu ada juga permainan sondah dari Jawa Barat. Di Cina, permainan ketangkasan kaki mengisi enam kotak berbetuk palang ini, dikenal dengan sebutan it ching, di Inggris lazim dikena l dengan sebutan hopscotes, di Bolivia disebut latunka, dan masyarakat Amerika latin mengenalnya dengan nama la royuela.

Menurut Zaini, di negara-negera tersebut, masyarakatnya masih rutin memainkannya. Bahkan, di Jepang banyak permainan tradisional, seperti origami masuk kurikulum sekolah sebagai bahan ajar keterampilan.
"Esensinya permainan antar negara kurang lebih sama. Oleh karena itu, ironis bila di negara lain dikembangkan dan dianggap penting tapi di Indonesia jutru dilupakan," kata Zaini.

Zaini mengatakan, selain menjadi media bantu belajar, permainan tradisional juga menggambarkan kehidupan sosial dan kearifan sosial masyarakat suatu daerah.

Ia mencontohkan permainan enggrang di daerah pesisir pantai dan pegunungan di Jabar. Secara sederhana, enggrang didefinisikan sebagai permainan ketangkasan berdiri di atas dua batang bambu panjang.
Di daerah pesisir pantai, enggrang dikenal dengan sebutan pamayang yang dalam bahasa Indonesia berarti penangkap ikan atau nelayan.

Menurut Zaini, keberadaan pamayang terkait erat dengan adapatasi masyarakat pesisir saat air pasang menggenangi tempat tinggal mereka. Mereka membuat alat bantu berjalan dari bambu panjang untuk menghindari genangan air.

Sedangkan di daerah pegunungan, enggrang kerap disebut jajangkung an. Masyarakat menggunakan jajangkungan untuk melatih keberanian berdiri di atas ketinggian.

Jajangkungan juga kerap digunakan orang tua untuk menyampaikan pesan pada anaknya untuk rendah hati.
"Saat berada di atas jajangkungan, seseorang harus tetap melihat ke bawah memerhatikan langkahnya. Hal itu diartikan bila menjadi atasan jangan melupakan atau melecehkan bawahan kita. Pesan seperti ini juga ada di permainan tradisional lainnya," katanya.

Belajar dari pengalaman di atas, Zaini yakin bila pelestarian permainan tradisional dikembangkan ke daerah lain akan membawa banyak nilai positif bagi masyarakat sekitarnya.

Kini, Zaini berusaha mengembangkan komunitas masyarakat peduli permainan tradisional ke berbagai daerah seperti Garut, Tasikmalaya, Bandung, Bandung Barat, dan Subang.

Ia berharap, masyarakat kreatif mencari dan memainkan keberagaman permainan tradisional sesuai dengan ciri khas daerahnya masing-masing. Tahap awal sudah dilakukan pelatihan pengenalan permainan tradisional bagi 2.000 guru SD di Jabar awal tahun ini.

"Semoga semakin banyak kearifan lokal masyarakat dalam berbagai macam hal yang bisa terus tergali," katanya.

Selain itu, bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jabar, mulai April 2011, Zaini juga akan menjadi instruktur permainan tradisional bagi 400 guru di beberapa daerah di Jabar, seperti Indramayu, Sumedang, Garut, dan Bandung Barat.

"Selama enam bulan, Komunitas Hong akan mendampingi guru secara intensif. Harapannya, semua metode pengajaran bisa lebih mudah disampaikan lewat permainan tradisional," katanya.

Penulis: Cornelius Helmy Herlambang

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.