PHYLOPOP.com - Setiba di garasi depan rumah paman, seperti biasa saya disambut anak-anakanya. Semunya sih ada empat orang, tapi siang itu hanya ada Rangga dan Novita. Keduanya menyambut ria kedatangan saya, tentu saja dengan panggilan akrabnya “Abang” (Maklum orang Jakarte).
“Abang datang... abang datang...!!” begitu teriak mereka kompak.
”Iya.. nih masukin tas Abang”, saya menyerahkan tas yang hanya berisi masing-masing sepotong celana dan baju di dalamnya. Setelah mencium tangan saya layaknya anak-anak bersalim, dengan sigap tas saya diraih oleh keduanya dan segera meluncur membawanya ke dalam.
“Pak.. bu... Abang datang” teriak mereka kompak pada ibu dan bapaknya yang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing.
Setelah memarkir motor, saya pun bergegas masuk dan salim pada paman dan bibi. Sambutan dan sapaan akrab pun meluncur dari bibir mereka, bersahut-sahutan layaknya ayam berkokok membangunkan orang-orang untuk shalat subuh.
“Kamu kelihatan kurus, kurang makan apa pusingin kerjaan”, mengawali pembicaraan.
“Banyak kerjaan Bi di kantor, juga karena puasa”, jawabku santai.
“Ooo.. ya udah, istirahat aja dulu di kamar atas. Di kamarmu ada Mone lagi tidur”, lanjutnya sambil tangannya sibuk membereskan perabot dan sayur mayur di dapur.
Di kamar yang biasa saya pakai ada Mone yang sedang tidur. Meskipun ada kamar atas (lebih tepatnya kamar yang lantainya agak tinggi sekitar 1 meter tapi masih satu lantai) yang kosong, tapi saya lebih senang duduk-duduk depan teras rumah. Di kanan kiri rumah paman saya sudah padat dengan rumah penduduk. Tapi di bagian depannya masih terhampar tanah yang sangat luas milik Pak RT. Angin segar dari rerumputan dan tanaman sawah masih bisa saya nikmati siang itu.
Masih segar dalam ingatan saya pada tahun 2001 saat pertama kali saya ke rumah paman, di ujung Perumahan Cakra Depok (arah Cinere Jaksel). Rumah yang saya duduki siang itu merupakan hamparan sawah yang luas dengan air sebagai pengairan yang masih bersih dan lancar memenuhi selokan dan hamparan sawah. Pada musim hujan dan satu musim setelahnya, sawah-sawah itu menawarkan hamparan daun padi yang menghijau ketika masih muda dan kilauan warna keemasan bulir-bulir padi saat menguning. Paling tidak, kala itu saya masih bisa menikmati suasana di kampung yang saya tinggalkan.
Rumah yang saya duduki siang itu adalah rumah ketiga yang pernah paman saya miliki di daerah itu. Rumah pertama masih berada di samping perumahan Cakra Cinere tapi bukan bagian dari perumahan. Rumah kedunya hanya pindah di seberang gang. Rumah ketiga yang sekarang dulunya masih merupakan sawah warga, dan di sekitarnya, kecuali bagian depan, sudah menjamur rumah warga yang sebagian besar adalah pendatang.
Mungkin dalam benak Anda mengatakan bahwa paman saya tergolong kaya atau paling tidak punya tiga rumah? Jawabannya jelas tidak. Lebih tepatnya paman saya disebut “orang berjiwa bisnis” meskipun ia bukanlah pebisnis dalam arti yang sebenarnya. Anda tentu akan sepakat dengan kata-kata saya bahwa paman saya berjiwa bisnis jika membaca cerita berikut.
Begini ceritanya. Awalnya paman saya membeli sebidang tanah karena ia beserta istri dan anaknya memutuskan tinggal di Jakarta. Tanah (masih berupa sawah) yang dibelinya saat itu (tahun 2000) dengan harga yang tergolong murah kemudian dibangunkan rumah di atasnya. Rumah itu hanya sempat ia tempati sekitar dua tahun. Saat itu saya masih SMA di kampung. Ketika menginjak tahun kedua (2001), rumah itu dijual dan uangnya dibelikan tanah yang lebih luas dan sebagian untuk membangun rumah meskipun belum bagus. Pada tahun pertama kuliah di Yogyakarta tahun 2001 saya masih sempat tidur di rumah itu, tepatnya pada liburan puasa karena saya tidak pulang kampung.
Seiring kian gencarnya pembangunan rumah oleh pendatang di atas sawah warga yang dibelinya, paman saya membaca peluang untuk bisa membeli tanah yang lebih luas dan rumah yang lebih besar meskipun tidak memiliki uang. Dengan sangat berani tentu juga cemoohan tetangga, dia menjual rumah keduanya. Hasilnya ternyata ia bisa membeli sawah yang luasnya dua kali lipat dan juga membangun rumah yang lebih besar. Sampai saat ini, belum ada tetangganya yang memiliki tanah dan rumah sebesar dia. Begitulah kisahnya paman saya sampai tinggal di tiga rumah miliknya. Dan alasan inilah kenapa saya berani mengatakan bahwa paman saya termasuk orang yang berjiwa bisnis. Tentu Anda pun demikian bukan?
Dua hal paling tidak yang bisa kita jadikan pelajaran mendengar kisah paman saya di atas. Pertama, untuk mendapatkan sesuatu terkadang kita harus berani mengambil resiko meski kadang cibiran dan cemoohan orang-orang mengalir deras. Kedua, hidup ini memang keras adanya jadi jangan takut untuk bermimpi meski terkadang mimpi itu jauh api dari panggang karena berkat mimpi mendapatkan rumah idamanlah paman saya bisa mendapatkannya meski pekerjaannya tak menentu. (Smartphone).
Posting Komentar