Oleh: Indira Permanasari dan Ahmad Arif
Semak belukar dan perdu menutupi jalan setapak yang menanjak dari Pos II menuju Pos III harus dilalui di Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat, Selasa (21/6).
Alam selalu memiliki cara untuk pulih. Bahkan, letusan gunung sedahsyat Tambora, yang berdampak terhadap perubahan iklim global, ternyata tidak memusnahkan ekologi lokal. Dengan cepat, alam Tambora terbentuk kembali. Indira Permanasari dan Ahmad Arif
Hampir 200 tahun setelah petaka itu, tidak kentara lagi bekas letusan yang nyaris memusnahkan kehidupan di Semenanjung Sanggar, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Kawasan Tambora menjelma hutan hijau yang rimbun.
Padahal, hutan ini pernah dibabat PT Veneer Products Indonesia, pemegang konsesi penebangan di wilayah itu tahun 1972 hingga 2003. Perusahaan ini mendapat konsesi hingga 2013, namun izinnya dicabut 10 tahun lebih cepat karena tidak menanam kembali pascapenebangan.
Hutan Tambora mampu pulih cepat. Abu vulkanik menjadi pupuk alami yang menumbuhsuburkan aneka jenis tanaman. Dalam pendakian ke Puncak Tambora, Juni 2011 lalu, pendaki harus menerabas semak dan rapatnya hutan. Pohon klanggo (Duabanga moluccana) yang nyaris punah ditebang, walaupun diameternya rata-rata 15-30 cm.
Penggalian oleh Balai Arkeologi Bali di Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, Bima, menemukan kayu klanggo telah dipakai masyarakat Tambora sebelum letusan pada 1815. Jejak itu terlihat pada bekas rumah lama dengan bahan kayu klanggo yang terkubur awan panas.
Munculnya kehidupan di sekitar Tambora dirangkum oleh antropolog Bernice de Jong Boers dalam tulisannya: Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath. Disebutkan pada tahun 1831, pegawai kolonial Hindia Belanda, E Francis, berlayar di sepanjang pesisir Sumbawa.
Melalui teropong, dia melihat sebagian besar kawasan Tambora kosong dan kering, tidak ada kehidupan manusia, hewan, bahkan tumbuhan. Namun, di bagian lain dia melihat sejumlah pohon kecil bulat yang sedang tumbuh, sebagai pertanda awal pemulihan kehidupan.
Tahun 1844, beberapa orang Sanggar melihat alam kembali ramah dan meminta izin kepada Raja Bima untuk kembali bermukim di semenanjung itu.
Tahun 1847, giliran naturalis Heinrich Zollinger berkunjung ke Tambora. Dia mendapati di bekas hutan yang terkubur muntahan gunung telah ditumbuhi alang-alang (Imperata cylindrica). Tanaman alang-alang merupakan perintis yang mampu bertahan di tengah keterbatasan air. Karena banyak mata air di sekitar Tambora kering tertutup material awan panas.
Namun, dalam perjalanannya di Sumbawa, Zollinger masih melihat jalur yang penuh abu dan sawah terabaikan. Ini pula yang menyebabkan G Kuperus, penulis Het cultuurlandschap, menyimpulkan, letusan mengubah lanskap pertanian di Sumbawa.
Area pembudidayaan berkurang, sedangkan padang rumput, yang semula sawah, bertambah luas. Mengutip Schelle dan Tobias, Bernice de Jong Boers menyebutkan, tanah di Pulau Sumbawa sebelum 1815 dikenal sebagai pulau yang diberkati. Padi, jagung, kacang hijau, kopi, dan hasil hutan melimpah.
Tim Ekspedisi Kompas Cincin Api melewati punggungan menuju posko empat jalur Doropeti ke arah puncak Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat, Selasa (21/6).
Pada tahun 1847 itu, Zollinger juga naik ke Gunung Tambora dan mendapati lereng gunung itu masih gundul hingga ketinggian 2.200 meter. Tetapi, dia mengamati kehadiran sejumlah kecil spesies tanaman, pohon, dan hewan. Namun, tak ada perincian tentang spesies yang diamatinya.
Pengunjung setelah Zollinger, seperti Pannekoek van Rheden tahun 1913 dan Petroeschevsky tahun 1947, melihat vegetasi seperti pohon cemara (Casuarina) dan rumputan di dalam kawah Tambora. Regenerasi terjadi lebih cepat di lereng bagian luar.
Pannekoek juga melaporkan, beberapa pohon mulai banyak ditemui di lereng utara. Pohon dan semak tumbuh pula di lereng barat daya yang terdampak letusan paling parah.
Pemulihan
Proses hadirnya kembali kehidupan setelah letusan gunung berapi bisa diketahui pasti dengan adanya data berseri. Sayangnya, penelitian spesifik tentang kembalinya kehidupan di Tambora belum pernah dilakukan. Tak ada catatan rinci tentang jenis tanaman dan kepadatan populasinya.
Pakar ekologi evolusi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Tukirin Partomihardjo, memberikan gambaran, secara umum, setelah letusan gunung berapi akan terjadi pemusnahan kehidupan. Namun, segera terbentuk media baru untuk hidup.
Terisinya media itu dengan kehidupan bergantung antara lain pada sifat fisik dan kimia bahan vulkanik yang dilontarkan. Geolog dari Museum Geologi Bandung, Indyo Pratomo, mengatakan, material letusan besar yang kasar seperti bongkahan dan awan panas biasanya bersifat merusak.
video on demand
”Kalau terlanda awan panas seperti pada letusan sedahsyat Tambora pasti tumbuhan yang terlanda akan hangus. Tetapi itu tergantung dari ketebalan endapan dan kondisi akar tanaman. Jika akar masih ada, tumbuhan dapat bertahan. Kalau tertimbun sampai dua meter, pasti tumbuhan mati seperti batang-batang kayu terarangkan yang ditemukan pada penggalian di lereng Tambora,” kata Indyo.
Tebalnya timbunan awan panas bergantung pada topografi lahan. Dia mencontohkan, saat terjadi letusan Gunung Kelud, area pada jarak lima kilometer dari kawah terkubur awan panas. Namun, lantaran endapan tidak terlalu tebal, akar pohon masih ada. ”Beberapa kali musim hujan, pohon pun tumbuh lagi. Apalagi di daerah tropis setiap tahun turun hujan,” ujar Indyo
Kesuburan tanah, menurut dia, bukan hasil letusan besar. Kesuburan lahan biasanya sumbangan letusan kecil yang antara lain mengakibatkan hujan abu halus. Abu halus, menurut Indyo, mudah terurai dengan air dan mengandung sejumlah unsur hara seperti magnesium, natrium, dan kalsium yang dibutuhkan tanaman. Hujan abu Gunung Merapi yang halus ke arah utara dan barat, misalnya, beberapa tahun kemudian dapat menyuburkan tanah.
Grafis Tambora
Tukirin menambahkan, hal lain yang menentukan kembalinya kehidupan adalah lokasi gunung. Gunung di daratan luas seperti Jawa relatif mudah memunculkan kehidupan baru ketimbang gunung berapi di pulau kecil. Posisi geografis gunung berapi secara umum memengaruhi proses pemulihan kehidupan. Kehidupan lebih sulit berkembang di gunung berapi yang beriklim kering.
Migrasi kehidupan ke tempat bekas letusan dapat oleh laut, angin, serangga, burung, atau manusia dengan kecepatan berbeda di tiap gunung. Berbagai faktor itu yang memunculkan kembali kehidupan di Tambora. Alam yang segera pulih setelah letusan, memberi pertanda tentang siklus hidup, bahwa di balik kebinasaan selalu ada kehidupan baru yang tumbuh. Demikian sebaliknya, di balik permai alam, terdapat ancaman petaka. (Amir Sodikin/kompas.com).
Posting Komentar