PHYLOPOP.com - Jika RUU Pemda yang diajukan ke bulan ini disetujui DPR, konsekuensinya gubernur tidak lagi dipilih langsung, melainkan cukup dipilih DPRD provinsi. Dalam draft tersebut juga diatur opsi pemilihan gubernur tidak satu paket, namun DPRD hanya memilih gubernur.
Adapun gubernur terpilih bisa menunjuk langsung wakilnya yang dirasa cocok untuk mendampinginya selama lima tahun. "Deparpolisasi itu tidak ada. Aturan ini agar pemerintah efektif dan dari segi biaya efisien," jelas Gamawan, Ahad (4/9).
Menurut Gamawan, peniadaan pilgub itu tepat sebab posisi gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Kebijakan dekonsentrasi yang melimpahkan sebagian kewenangan pusat kepada gubernur perlu diatur lebih baik lagi. Pasalnya sistem pemerintahan sekarang seperti tidak mengenal hirearki sebab bupati/wali kota tidak merasa bertanggung jawab kepada gubernur.
Merasa memiliki otonomi besar akibat konsekuensi otonomi daerah, kata Gamawan, bupati/wali kota sering tidak menaati perintah gubernur yang memiliki fungsi koordinasi. Bahkan, ia menengarai banyak bupati/daerah tidak mengenal dan memiliki hubungan kurang baik dengan gubernur.
"Wewenang koordinatif dan lintas daerah gubernur perlu diperkuat agar kebijakan pusat sinkron dengan daerah," ujar mantan gubernur Sumatra Barat tersebut.
Dijelaskan Gamawan, posisi ideal gubernur sebenarnya tercermin dalam sistem pemerintahan di DKI Jakarta. Gubernur memiliki kewenangan otonomi khusus yang istimewa dengan sistem pengawasan DPRD. Sedangkan, lima wali kota bertugas penuh membantu kinerja atasannya sebab dilantik gubernur.
Dengan begitu, sebut dia, posisi wali kota hanya kepala pemerintahan administratif yang berada di bawah koordinasi langsung gubernur. Sehingga wali kota tidak perlu DPRD kota untuk mengawasi tugasnya. "Idealnya sistem pemerintahan seperti itu. Draftnya saat ini masih dirapikan, tinggal satu kali lagi dipresentasikan ke Wapres," kata Gamawan.
Gamawan melanjutkan, RUU Pemda juga mengatur kewenangan absolut pusat dan daerah secara jelas. Seperti bidang agama yang menjadi urusan pusat, perlu ditelaah lagi apakah bisa dalam keadaan tertentu kewenangan itu diambil alih daerah.
Ia menyontohkan, dalam kasus kekerasan agama, banyak kepala daerah membiarkan kasus itu terjadi di wilayahnya. Sebab kepala daerah tersebut bukan tidak responsif, melainkan merasa tidak memiliki wewenang mencampuri hal itu. "Kita tertibkan, ada pasal urusan tertentu dapat diserahkan dengan penguasaan batas-batasanya ke daerah," terang Gamawan. (depdagri.go.id).
Posting Komentar