Pramono Anung |
Akhirnya Presiden SBY merespons pergunjingan seputar masa depan koalisi parpol yang tergabung di Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Koalisi Pendukung Pemerintah.
Dalam pernyataan, Selasa (1/3/2011), Presiden berjanji segera melakukan penataan ulang koalisi karena ada satu-dua parpol yang dinilai tidak menaati kesepakatan dalam bentuk code of conduct yang telah dibuat bersama.
Presiden, dalam pidato sekitar 10 menit itu, juga mengingatkan pentingnya koalisi yang efektif agar pemerintah bisa menjalankan tugas secara efektif pula.
”Karena hakikatnya, di samping platform yang sama sebagai kontrak dari anggota koalisi, sesungguhnya kita bekerja untuk kepentingan rakyat. Semua untuk kepentingan rakyat,” katanya.
Dua sisi
Kita tahu, rencana melakukan regrouping dalam Setgab tidak lepas dari munculnya beda penyikapan terhadap pembentukan pansus hak angket mafia pajak. Parpol koalisi yang mendukung usulan itu dianggap mbalelo karena Setgab yang notabene diketuai SBY tegas menolak pembentukan pansus ini. Dari sisi ini, tentunya kita bisa memahami sikap Presiden karena Setgab memang telah memiliki aturan main sendiri.
Namun, persoalannya, apakah sikap penolakan terhadap terbentuknya pansus hak angket mafia pajak—sebagaimana ditunjukkan para pendukung SBY di Senayan dalam rapat paripurna beberapa waktu lalu—adalah cerminan dari kepentingan atau aspirasi rakyat? Pertanyaan ini menjadi substansial karena koalisi itu sendiri, menurut Presiden SBY, bekerja untuk (mewujudkan) kepentingan rakyat.
Jika kita melihat kondisi psikologis masyarakat saat ini, bukan tak mungkin sikap Presiden yang menolak terbentuknya pansus hak angket mafia pajak justru bertolak belakang dengan keinginan rakyat. Sebaliknya, disadari atau tidak, sikap ini justru mencederai aspirasi rakyat, bahkan berpotensi menggerus kepercayaan masyarakat terhadap keseriusan Presiden dalam memperbaiki kondisi bangsa.
Ada sejumlah alasan untuk menguatkan kalkulasi itu. Pertama, dalam berbagai kesempatan, Presiden selalu mengampanyekan pentingnya penindakan tegas terhadap segala bentuk penyimpangan. Apalagi, penyimpangan itu berpotensi menggerogoti keuangan negara, seperti korupsi atau bentuk kejahatan lainnya.
Pernyataan tegas Presiden jelas amat melegakan karena kian memperkokoh harapan rakyat akan terjadinya perubahan. Namun, yang dikehendaki rakyat tentu bukan sebatas wacana.
Yang lebih penting, implementasi konkret dari pernyataan-pernyataan tersebut, termasuk tentu saja dalam menangani kasus mafia pajak.
Kedua, kesadaran rakyat akan betapa besarnya bahaya mafia pajak sepertinya kini tengah kuat-kuatnya, seiring mencuatnya kasus Gayus Tambunan. Kesadaran ini kemudian memunculkan semacam ”geregetan kolektif” bahwa persekutuan jahat itu harus segera dilenyapkan.
Dari kasus Gayus, rakyat meyakini bahwa masih banyak ”Gayus” lain yang aksinya tidak kalah gila. Jika sebagai makelar, Gayus yang hanya pegawai negeri golongan IIIA memiliki kekayaan lebih dari Rp 100 miliar, tak terbayangkan lagi uang negara yang diisap para mafioso pajak.
Dengan latar dua alasan itu, sikap yang diambil Presiden SBY dengan menolak pembentukan pansus hak angket mafia pajak rasanya tidaklah populer di mata rakyat. Apalagi, Presiden sendiri sepertinya justru menempatkan diri di jalur ”abu-abu” karena di satu sisi meminta mafia pajak ditindak tegas, tetapi di sisi lain, dengan alasan sudah ada panitia kerja (panja) seperti yang disampaikan pendukungnya dalam rapat paripurna, Presiden menolak pembentukan hak angket yang bertujuan membongkar jaringan mafioso pajak ini.
Dilihat sekilas, sepertinya hanya soal beda cara dalam penanganan. Namun, rakyat pasti memiliki tafsir sendiri karena yang mereka ketahui, pengusutan lewat hak angket akan jauh lebih transparan dan akuntabel dibandingkan dengan menggunakan panja. Lantas, kenapa Presiden memilih panja? Dari sinilah kekecewaan terhadap penyikapan Presiden berpotensi terjadi.
Kekecewaan itu bahkan bisa memicu munculnya regrouping baru sikap rakyat terhadap keseriusan Presiden SBY dalam memperbaiki kondisi bangsa, sekiranya pengusutan jaringan mafia pajak tak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Apalagi, sebagaimana kita tahu, saat ini masih banyak kasus yang menggantung dan arahnya kurang jelas. Sementara penyikapan Presiden terhadap kasus yang masih menggantung, seperti Bank Century, seolah juga berada di jalur yang ”abu-abu”.
Bagi saya, inilah sebentuk ”isyarat gawat” yang mesti juga dipertimbangkan Presiden SBY, di balik kesibukannya sekarang melakukan regrouping kekuatan politik dalam Setgab. Kendati hingga sekarang rakyat terlihat diam dan tidak bereaksi, rakyat pasti memiliki kalkulasi tersendiri tatkala kepercayaannya terhadap Presiden terus tergerus.
Perlu keberanian
Penyikapan terhadap munculnya ”isyarat gawat” itu tentu sepenuhnya bergantung pada SBY: apakah akan dibiarkan atau sebaliknya diantisipasi. Namun, jika pilihan kedua yang diambil, tidak bisa tidak, keberanian menjadi kunci. Keberanian di sini tentu tidak sebatas keberanian dalam ranah wacana. Keberanian yang harus diimplementasikan dengan ketegasan dan keseriusan dalam melaksanakan mandat rakyat, yang notabene telah diberikan di bilik suara waktu pencoblosan.
Ini artinya, Presiden tidak bisa lagi hanya men-deliver keinginannya. Namun, keinginan itu harus disandarkan pada aspirasi dan kehendak rakyat hingga terbangun sinkronisasi kepentingan dan tujuan, dengan orientasi peningkatan kesejahteraan rakyat serta kemajuan bangsa dan negara. Dengan demikian, selain tidak diperlukan lagi politik pencitraan, Presiden juga harus tegas mengesampingkan kepentingan-kepentingan sempit, baik pribadi maupun kelompok. Termasuk juga, menihilkan terjadinya politik barter atau politik transaksional sekiranya itu hanya untuk kepentingan yang sifatnya praktis-pragmatis.
Harus diakui, sikap demikian memang bukannya tanpa risiko. Ini karena bukan tidak mungkin ketegasan dalam melaksanakan mandat rakyat itu akan memicu lahirnya ketidakpuasan dari kelompok-kelompok tertentu yang merasa kepentingannya tidak terakomodasi atau terusik.
Namun, sebesar apa pun risiko itu, hemat saya, dampaknya tak seberapa jika dibandingkan dengan risiko akibat tergerusnya kepercayaan rakyat. Sudah waktunya Presiden bersikap tegas terhadap mafia pajak. Saya meyakini rakyat akan memberi dukungannya. Minimal saya pribadi akan mendukung sepenuhnya.
Pramono Anung Wibowo; Wakil Ketua DPR
Posting Komentar