Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 02.15













Judul buku      : Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia;
                         Studi Perbandingan Birokrasi Publik di Indonesia dan Malaysia
Penulis             : Dr. Azhari, S.STP, M.Si
Penerbit           : Pustaka Pelajar
Cetakan           : I, Januari 2011
Tebal               : lvi + 346 halaman
Peresensi         : Fatkhul Anas*)

Citra miring birokrasi masih mencengkeram negeri ini. Pelayanan yang ruwet dan besarnya permainan politik di dalamnya, seringkali membuka celah kecurangan abadi. Korupsi dan nepotisme, adalah dua hal yang betah bersarang di tubuh birokrasi. Seolah, birokrasi adalah jaring laba-laba, dimana satu sama lain terhubung dengan rapi. Alhasil, kejahatan pun sulit terbongkar sebab oknumnya adalah jamaah laba-laba tersebut.
Kejahatan korupsi yang banyak terjadi di negri ini, ditengarai terjadi secara sistemik. Korupsi mengalir dari satu oknum ke oknum yang lain dengan model jejaring yang kuat dan rapi.

Di dalamnya terlibat pejabat birokrasi yang berperan kuat. Merekalah sumber informasi adanya peluang korupsi. Mereka selalu mengincar dan mencari celah. Begitu ada kesempatan, kejahatan siap dijalankan. Inilah kelemahan birokrasi kita. Masing-masing jenjang karir memiliki kekuasaan sendiri sehingga dengan mudahnya berbuat kecurangan.

Oleh karenanya, reformasi birokrasi menjadi satu pilihan pasti. Sebab, reformasi inilah yang bisa menjadi jembatan untuk perbaikan kedepan. Setidaknya, tatanan birokrasi tidak lagi menjadi sarang kejahatan seperti korupsi. Reformasi ini juga untuk menata kehidupan bangsa yang chaos akibat moral para pejabat yang nihil dari kebenaran. Mereka mengelola negri ini atas dasar kepuasan nafsu dan kepentingan diri maupun golongan. Sumpah yang mereka pegang ketika dilantik, seolah hanya kata yang tak punya makna.

Untuk menyusun agenda reformasi, tentu butuh contoh konsep yang sudah teruji di lapangan. Disinilah Dr. Azhari, S.STP, M.Si melalui buku ini, mencoba memberi kerangka pikir reformasi birokrasi. Beliau menyuguhkan perbandingan antara birokrasi di Indonesia dan Malaysia. Bagaimana pola birokrasinya, tingkat profesionalitas pegawainya, serta potensi kejahatan di dalamnya, semua direkam dengan baik di dalam buku ini.

Dimulai dari birokrasi Indonesia, Azhari menilai bahwa tingkat kejahatan yang terjadi di dalamnya salah satunya karena pola birokrasi kita adalah warisan Belanda. Belanda di Indonesia tidak hanya sukses menjarah kekayaan alamnya, tetapi juga sukses membentuk karakter licik pribumi. Saat mereka berkuasa, penduduk Indonesia yang terdiri dari kerajaan-kerajaan dijadikan antek untuk kepentingan kekuasaan. Para priyayi kerajaan tersebut dididik di sekolah Belanda yang kemudian dijadikan ambtenaar (pegawai Belanda).  Priyayi ini berbeda dari pribumi secara keseluruhan. Tugas mereka adalah membantu Belanda sehingga banyak terjadi pertentangan dengan pribumi.

Budaya keraton yang penuh dengan kepatuhan dimana raja adalah penguasa yang tidak boleh ditentang, sedang abdi dalem harus patuh total, menjadikan kekuasaan raja tak terbatas. Budaya semacam inilah yang terjadi pada birokrasi kita. Jabatan birokrasi layaknya jabatan raja yang tidak bisa diganggu gugat. Petuah raja adalah petuah dewa sehingga harus dilaksanakan. Anak buah layaknya abdi dalem yang tugasnya tunduk kepada raja. Apapun petuah atasan, harus dilaksanakan meskipun melanggar tata aturan. Kalau tidak dilaksanakan, pemecatan menjadi ancaman menakutkan.

Pejabat birokrasi tingkat atas seperti Gubernur memang mudah untuk melakukan pemecatan. Hal ini karena di Indonesia pemimpin birokrasi adalah pemimpin politik. Tentu saja, banyak kepentingan yang tertampung di dalamnya. Dikala kepentingan tersebut tidak terpenuhi, pemimpin birokrasi bisa memutasi para pegawainya dan diganti dengan pegawai yang patuh dengannya. Lagi-lagi, pola birokrasi layaknya raja-abdi dalem tak bisa dihindari. Pola seperti ini tentu saja menguntungkan pemimpin birokrasinya sebab ia bisa menentukan kebijakan tanpa hambatan.

Lain halnya dengan Malaysia. Meski negri ini tatanan demokrasinya tidak sebaik negri kita, namun tatanan birokrasinya rapi. Mereka mewarisi birokrasi Inggris karena Inggris-lah yang dahulu menjajah Malaysia. Pola birokrasi yang diterapkan Inggris di Malaysia berbeda dengan pola birokrasi Belanda yang diterapkan di Indonesia. Inggris tidak membentuk ambtenaar karena Malaysia tidak banyak memiliki kerajaan. Orang-orang yang duduk dijajaran birokrasi diukur dari kompetensi mereka sehingga pola birokrasi raja-abdi dalem tidak terjadi.

Selain itu, di Malaysia dibedakan antara pemimpin politik dan pemimpin birokrasi. Pemimpin politik hanya memegang tampuk kekuasaan eksekutif dan legislatif. Adapun pemimpin birokrasi dipilih oleh lembaga tersendiri. Seperti di negri bagian Sabah, Gubernurnya bukan berasal dari pemimpin partai, melainkan pejabat independent yang dipilih oleh lembaga pemerintah pusat yaitu Suruhanjaya Perkhidmatan Awam Negri Sabah (SPANS). Lembaga ini kedudukannya lebih tinggi dari pada jabatan ketua mentri dan lembaga inilah yang berhak memilih dan memberhentikan Gubernur (hal 250).

Karena pemimpin birokrasi dari kalangan independent, sangat minim terjadi kecurangan sebab tidak banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Lain halnya dengan Indonesia dimana pemimpin birokrasi adalah pemimpin politik. Kecurangan hampir selalu terjadi karena masing-masing pemimpin membawa misi dan kepentingan yang berbeda-beda. Disinilah kebobrokan birokrasi selalu menjadi perkara abadi sebab sistem yang dibangun belum direformasi.

Dengan hadirnya pola birokrasi baru sebagaimana yang diterapkan Malaysia, setidaknya bisa menjadi bahan petimbangan untuk mereformasi birokrasi di Indonesia. Meski kita banyak konfrontasi dengan Malaysia, bukan berarti kita menolak hal-hal positif yang dimiliki Malaysia.

*) Peresensi adalah pegiat buku pada Hasyim Asy’ari Institute

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.