Ilustrasi Peluru Emas |
Ketika melintas di tengah ramainya kendaraan pagi dan kemacetan lalu lintas dari arah Kampung Melayu menuju kawasan Senen di Jakarta Pusat baru-baru ini, mata saya tertuju pada papan nama Universitas Pertahanan Indonesia, Kementerian Pertahanan Nasional RI di Jalan Salemba Raya. Di salah satu gedungnya terpampang sebuah tulisan lain : “Sekolah Pascasarjana Perang Semesta”.
Sambil merenung saya menebak-nebak apa gerangan yang dipelajari di sekolah Pascasarjana Perang Semesta tersebut. Pelajaran strategi melakukan perangs emestakah kepada bangsa lain, atau bagaimana mempertahankan diri dari serangan perang semesta? Lalu pekerjaan lulusannya apakah untuk merancang perang semesta terhadap negara lain atau menangkal perang semesta yang dilakukan bangsa lain?
Lalu apa yang dimaksud dengan perang semesta? Apakah seluruh semesta dalam keadaan keadaan saling berperang dan sejenisnya? Lalu, perangnya memakai peluru tajam atau perang yang disebut perang social politik (social political warfare).
Dalam keruwetan jalan yang makin macet, saya teringat pengalaman 33 tahun silam. Pada tahun 1978, saya memimpin delegasi pemuda ke DPR RI di Senayan. Saat itu disambut oleh Mashuri, SH. Selaku salah seorang pimpinan komisi DPR RI. Mantan Menteri Pendidikan, juga mantan mantan Tentara Pelajar TRIP masa perjuangan kemerdekaan, tersebut menceritakan pengalamannya sewaktu berjuang melawan penjajah Belanda dengan peralatan dan perlengkapan perang seadanya. Memakai bambu runcing ditembaki peluru tajam pun masih ada.
“Tapi semangat juang kami tidak terpengaruh. Dengan kebersamaan dan tidak pernah memikirkan apa yang diperoleh, dan jadi apa kita kelak, maju terus bahu membahu berjuang, sehingga penjajah dengan segala perlengkapan dan peralatan perang modernnya kewalahan. Itu karena semangat juang kita yang tidak memperhitungkan keuntungan pribadi yang diperoleh selain kepentingan bersama, kepentingan bangsa sebagai warga negara yang merdeka dan bermartabat. Tapi adik-adik tidak akan mengalami lagi ke depan ditembaki pihak asing dengan peluru tajam, melainkan Anda-anda ini kelak akan ditembaki “peluru emas”. Sebab demikian, adik-adik nantinya hanya berlindung dan asyik menguti “emas-emas” yang ditembakkan untuk dimiliki. Bahkan adik-adik tidak perduli lagi dengan nasib kebersamaan, tujuan kemerdekaan bangsa ini, persatuan, rasa senasib dan sebagainya. Karena yang diusahakan adalah memiliki peluru emas yang ditembakkan. Untuk itu, harapan kami yang tua ini agar semakin waspada terhadap “peluru emas”yang ditembakkan pihak asing”, kata Mashuri mengingatkan.
Itulah yang terjadi dalam perang semesta yang menjadi salah satu program studi Pascararjana Universitas Pertahanan Indonesia. Kita kini terus menerus terlibat dalam perang semesta, dimana seluruh aspek kehidupan atau asta gatra terlibat perang, terutama dengan “peluru emas” sehingga semua selalu dalam transaksional kepentingan materi. Pasal Undang-undang pun bias diatur asal ada emas, terjadi mafia hukum, mafia pajak, skandal korupsi, money politic dalam Pemilu dan Pemilukada. Menyeruaknya LSM bayaran dari luar dengan bendera kemanusiaan dan sebagainya, membuat konsep-konsep yang diadopsi dari bangsa asing merusak sendi-sendi mendasar bangsa ini, implikasi otonomi daerah yang menyebabkan daerah bersikap lebih dari negara bagian, wawasan nusantara yang terlupakan, Pancasila, pilar berbangsa lainnya yang tidak diperdulikan, pluralisme yang semakin memudar dan lain sebagainya.
Semuanya membuat bangsa ini jalan di tempat, atau bahkan mundur karena sengaja direm bangsa asing melalui rentetan tembakan “peluru emas”, kenikmatan materi dan sebagainya. Oh, rupanya renunga saya di tengah kemacetan lalu lintas sudah kemana-mana, tidak terasa mobil sudah memasuki halaman kantor yang saya tuju. Renungan saya pun berakhir mengenai “peluru emas” dalam perang semesta.
Eliakim Tambun
Kementerian Dalam Negeri
Posting Komentar