Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 23.20
Ilustrasi kondisi petani Indonesia
“Pada zaman berladang untuk subsistensi di waktu dulu, peladang mendapatkan rumput gratis untuk menganyam atap, bambu dan kayu bakar dari lahan terlantar milik umum. Mereka bisa mendapatkan ikan di danau atau sungai di sekitar mereka, dan menenun baju mereka sendiri di rumah".

Ketika lahan terlantar milik umum diubah menjadi ladang, perikanan dinyatakan sebagai hak pemerintah dan menenun di rumah menjadi tidak menguntungkan, orang-orang kecil, seperti penggarap, terpaksa mencari uang untuk memenuhi kebutuhan yang dulu dapat mereka penuhi sendiri.

Demikian James Scott (1993) dalam Perlawanan Kaum Tani mengutip tulisan Rangoon (1938) dalam Report of the Land Agriculture Committee ketika menggambarkan keadaan tertindasnya kaum tani di pedesaan. Kenyataan ini dialami hampir seluruh kawasan pedesaan yang akrab dengan kegiatan bertani di seluruh Indonesia.

Hal tersebut hanya menggambarkan satu sisi dari banyak sisi lain yang berpeluang pada penindasan, baik yang disadari atau tidak. Dalam konsep internal colonialism (penjajahan internal), keadaan semacam ini merupakan bentuk penindasan yang dilakukan terhadap segolongan masyarakat (meskipun masyarakat tersebut tidak merasa tertindas) sebagai akibat dari eksploitasi oleh kekuatan suatu kelompok dalam satu komunitas atau masyarakat yang sama.

Penindasan yang dimaksud adalah penindasan yang diciptakan melalui suatu sistem sosial yang dibangun sedemikian rupa oleh sekelompok yang kuat yang karena kekuatannya mampu menempati posisi-posisi penting, serta memonopoli proses pengambilan keputusan politik dan menguasai sumber-sumber ekonomi. Internal kolonialism umumnya muncul dalam suatu masyarakat yang memiliki tingkat pendididikan dan pemahaman yang masih relatif kurang.

Karena itu di negara-negara dunia ketiga, kolonialisme internal berkembang pesat seiring dengan minimnya tingkat pengetahuan masyarakat. Penindasan dan penjahan internal yang dialami masyarakat tani di Indonesia yang mayoritas penduduknya menggantungkan pendapatan pada hasil pertanian, perkebunan, peternakan dll pun ikut terbawa arus internal cklonialism yang dilakoni oleh kekuatan-kekuatan tertentu dari sekelompok orang, baik yang mengatasnamakan pemerintah, serta dalam bentuknya yang baru mengatasnamakan masyarakat setempat (indigenous people).

Kekuatan penindas tersebut telah mampu memutus rantai serta arus distribusi berbagai kebutuhan pokok masyarakat petani, seperti halnya mandeknya distribusi pupuk yang berakibat pada meningkatnya harga ketika pupuk tersebut sampai ke tangan petani. Hal lain yang lebih menghkhawatirkan adalah menurunnya harga hasil pertanian saat jatuh musim panen. Akibat yang demikian selain karena lemahnya koordinasi dan pengawasan dalam masyarakat petani yang berakibat pada tidak tersedianya saluran kepentingan masyarakat petani, juga dikarenakan “permainan gelap” kelompok kapital yang bermain di tingkat atas.

Perlu dijelaskan lebih lanjut, bahwa kelompok kapital di sini bukan hanya kelompok bisnis yang datang dari institusi-institusi non formal pemerintah (daerah), melainkan mereka lebih banyak memadu relasi dan kekuatan dengan para pemain di lembaga-lembaga formal pemerintah (daerah), yang sekali lagi tentu saja mengatasnamakan rakyat. Di era spekulasi bisnis yang semakin menantang seperti sekarang ini, kelompok kapital tidak lagi hanya duduk diam sambil menunggu keuntungan yang ditawarkan padanya. Mereka mulai jemput bola untuk memaksimalkan keuntungan serta meminimalkan kerugian dengan jalan bersentuhan langsung dengan masyarakat petani, meski terkadang aksi mereka di lapangan lebih sering terlihat melalui perantara.

Apa Yang Bisa Dilakukan?

Semakin dekatnya masyarakat petani dengan kelompok pemodal tersebut membawa implikasi positif sekaligus negatif. Implikasi positif hanya bisa didapatkan dengan membentuk kekuatan pembanding dengan cara menggabungkan diri dalam kelompok-kelompok tani maupun dengan jalan membentuk koperasi tani. Akan tetapi perlu diingat, pembentukan kekuatan pembanding tersebut semata sebagai wadah penjamin terluruskannya hak-hak yang memang pantas mereka dapatkan, bukan sebagai kekuatan pemberontak yang dapat melakukan segala macam cara.

Implikasi negatif terjadi karena dekatnya kelompok pemodal dengan masyarakat tani membuka peluang bagi besarnya manipulasi tawar menawar. Hal ini selain karena umumnya masyarakat petani belum memiliki cukup pengetahuan untuk mampu menerobos ruang-ruang rahasia yang menjandi peluang bagi kelompok pemodal di satu sisi dan sebagai hal yang tabu bagi masyarakat tani di sisi yang lain.

Jalur distribusi hasil pertanian masyarakat Indonesia yang sebagian besar hanya terputus pada penjualan hasil panen sangat potensial untuk dikembangkan dengan prinsip pengembangan yang menuntut peran katif dari masyarakat tani itu sendiri. Menghadapi berbagai tantangan yang tak memungkinkan, sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan dari sekedar menanam lalu kemudian menjual hasil tanaman pada musim panen, yang berimplikasi pada murahnya harga saat musim panen dan mahalnya harga saat musim paceklik.

Melalui wadah koperasi tani, masyarakat tani dapat lebih produktif bukan hanya terbatas pada menjual hasil panen, melainkan juga berpeluang besar untuk mengolah hasil panen selain untuk meningkatkan harga jual juga sebagai langkah antisipasi mahalnya harga pada musim paceklik (biasanya satu - tiga bulan sebelum masa panen datang), seperti halnya melakukan penimbunan hasil panen pada gudang koperasi atau dengan langkah pengolahan menjadi barang jadi.

Langkah ini secara otomatis menpersempit ruang gerak para pemodal untuk melakukan “permainan harga” yang di satu sisi menguntungkan pemodal dan di sisi lain mencekik para petani.

Akibat Lebih Lanjut

Menghadapi makin besarnya kebutuhan hidup, meningkatnya pertumbuhan penduduk, serta makin melebarnya perluasan kawasan pemukiman yang dialami sebagian besar masyarakat kota maupun desa beberapa tahun terakhir telah membawa implikasi nyata pada semakin menyempitnya lahan pertanian. Pertumbuhan penduduk salah satunya belum diimbangi dengan penataan kawasan pemukiman yang memadai yang memungkinkan akses-akses pada sumber-sumber ekonomi pertanian tetap terjaga dan meningkat dari tahun ke tahun.

Akibatnya, lahan-lahan produktif pertanian semakin menyempit serta tidak termanfaatkannya secara optimal lahan-lahan produktif yang tersisa yang sedikit banyak dikarenakan minimnya pengetahuan dan lemahnya peran berbagai pihak untuk meningkatkan kawasan pertanian produktif. Kenyataan ini biasanya direspon oleh masyarakat tani dengan melakukan pembukaan lahan pertanian pada kawasan penyangga hutan (buffer zone) yang kemudian memperparah semakin merosotnya ketahanan yang dimiliki kawasan hutan.

Akibatnya, banjir bandang selalu terjadi pada musim penghujan, serta makin meluasnya kawasan kering pada musim gugur. Respon lain yang biasa dilakukan adalah melakukan perpindahan lahan di daerah lain yang dianggap produktif.

Memang tidak dapat dipastikan apakah keadaan yang demikian sengaja dikondisikan atau tidak, akan tetapi satu hal yang tak dapat dipungkiri adalah sangat minimnya (untuk tidak bisa dikatakan tidak) perhatian pihak-pihak terkait baik dalam langkah antisipasi maupun langkah penanganan. Terlambat memang (meski tidak ada kata terlambat dalam hal kebaikan) untuk dapat menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan masyarakat dapat mandiri serta menghargai kelestarian alam. Akibatnya bukan saja menimpa kaum tani yang sepenuhnya mengandalkan tanah sebagai ladang rezeki dengan terkikis dan makin menyempitnya tanah pertanian sepanjang kawasan sungai, tetapi juga telah menghancurkan berbagai infrastruktur yang ada.

Rekomendasi

Langkah antisipasi dan penanganan yang mendesak untuk dilakukan, yang sering terlupakan, adalah memberikan pembelajaran kepada masyarakat tani dengan melibatkan peran aktif masyarakat tani sendiri serta didukung peran yang strategis dari pemerintah dan berbagai lembaga kemasyarakatan setempat maupun lembaga-lembaga nasional yang memiliki semangat juang dalam membina masyarakat tani.

Proses pembelajaran bukan saja terkait pengembangan dan peningkatan kreatifitas dan produktifitas pertanian melalui wadah penyaluran yang aspiratif, tetapi yang tak kalah penting adalah proses pendewasaan dalam bersikap dan bertingkah laku yang memungkinkan perubahan dan perbaikan dalam cara pandang dan pemahaman akan berbagai hal yang selama ini memungkinkan tetap “terbelakangnya” masyarakat tani.

Apa yang menjadi hak dan kewajiban, bagaimana mendapatkan hak serta melakukan kewajiban, bagaimana menyalurkan aspirasi, bagaimana memperlakukan alam dan tanah pertanian serta bagaimana menghadapi berbagai hal yang tidak memungkinkan serta hal-hal lain yang terkait proses pendewasaan tersebut sudah saat dan sepantasnya mereka mengetahui, sehingga akses terhadap sumber-sumber ekonomi pertanian dapat termanfaatkan secara maksimal.

Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.