Moh Ilham A Hamudy |
Dari sebanyak 70 program, dengan total 369 subrencana aksi, yang dilaksanakan baru 271 subrencana aksi, sedangkan yang tidak dilaksanakan 98. Disebutkan juga, 19,31 persen rencana aksi terkait dengan pemerintah daerah dan 23,7 persen subrencana aksi terkait dengan kementerian dan lembaga lain tidak tercapai. Fakta lain yang disajikan data UKP4, yakni ada 18,18 persen dari 253 subrencana aksi dengan lokasi kegiatan tersebar tidak tercapai.
Senyatanya, Inpres yang disebut di atas hanyalah satu dari sekian Inpres yang tidak jalan. Publik masih mencatat pelbagai Inpres yang juga mandeg. Penyebabnya, banyak kalangan menilai, Inpres yang dikeluarkan, selain terlalu normatif dan prosedural, sehingga sukar dilaksanakan, para pembantu presiden juga terlalu lemot dalam bekerja dan menerjemahkan Inpres itu.
Sebagai contoh, dulu Presiden SBY pernah menyuruh mengungkap kasus Tama (peneliti ICW Tama S Langkun), namun sampai sekarang tidak ada kabarnya. Begitu juga dengan kasus Gayus HP Tambunan yang katanya harus diungkap dan langsung dipimpin Wapres, serta dilaporkan secara periodik, tetapi kita tidak pernah dengar lagi kelanjutannya. Inpres itu menguap begitu saja.
Presiden SBY bahkan juga pernah mengeluarkan instruksi untuk pengusutan kasus Bank Century dan meminta agar semuanya dituntaskan saat kasus tersebut menjadi sorotan luas di masyarakat. Namun, lagi-lagi Inpres yang dikeluarkan hanya sekadar instruksi di atas kertas yang tidak bermakna dalam realitas. Padahal, mestinya menjadi kewajiban pemerintah untuk mengumumkan kepada publik mengenai progress report dari penanganan kasus tersebut.
Akibatnya, adalah wajar kalau publik merasa tidak puas dengan kinerja Presiden SBY dan para menterinya. Ketidakpuasan itulah yang dicandrakan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 1-7 Juni 2011 lalu yang melibatkan 1.200 responden di 33 provinsi.
Dengan menggunakan teknik wawancara tatap muka LSI mengungkapkan, pandangan publik terhadap tingkat kepuasan atas kinerja pemerintahan SBY menurun. Penurunan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan SBY mencapai 9,5 persen, yaitu dari tingkat kepuasaan sebanyak 56,7 persen pada Januari 2011 menjadi 47,2 persen pada Juni 2011.
Tidak jalannya Inpres dan menurunnya kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah sejatinya telah merongrong kewibawaan Presiden SBY. Sebagus apa pun konsep yang diinstruksikan, akan mubazir jika tidak bisa diimplementasikan. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang tidak sekadar berbicara tentang konsep-konsep yang mumpuni, lalu didiamkan, tetapi sejauh mana gagasan-gagasan besar itu bisa diimplementasikan di tingkat praktis.
Alih-alih di tengah situasi yang begitu berat, yang mestinya memerlukan tindakan-tindakan ekstra luar biasa, kedisiplinan tinggi untuk mengawal perubahan dan tetap fokus pada rencana yang ingin dituju, pemerintah justru seperti bermain-main dengan kekuasaan.
Di satu sisi, ada kesan serba menggampangkan persoalan yang dihadapi, tetapi pada saat bersamaan kecenderungan untuk menerapkan politik pencitraan terasa begitu menonjol, terutama akhir- akhir ini melalui iklan-iklan politik para menteri yang bahkan sampai ”membeli” slot acara di televisi.
Manajemen pengelolaan pemerintahan SBY sudah sangat mengkhawatirkan. Kepemimpinan Presiden SBY juga sangat lemah. Ini yang mengakibatkan banyaknya kementerian tidak bekerja secara maksimal. Seharusnya, Presiden SBY bisa melakukan sebuah tindakan dan perubahan drastis untuk mengatasi masalah ini.
Kalau memang menteri-menterinya tidak perform, tidak memenuhi target, tidak ada salahnya mengganti dengan menteri yang lebih cakap. Karena, personil kabinet bukanlah soal jatah-jatahan. Presiden SBY seharusnya membentuk sebuah kabinet yang solid. Bukan kabinet yang hanya mengakomodasi anggota koalisi, dan akhirnya menghasilkan sebuah kabinet yang setengah-setengah.
Beberapa menteri sekarang terbukti gagal menjabarkan dan mengimplementasikan visi Presiden SBY. Beberapa menteri juga tidak memiliki kemampuan manajerial dan leadership yang teruji untuk menggerakkan institusinya secara efektif. Belum lagi loyalitasnya yang berat ke partai politiknya masing-masing. Kalau tidak dibongkar, Presiden SBY akan terjerumus dalam leadership force principle, yang membutuhkan kekuatan luar biasa untuk mengatasi conflict of interests dalam kabinetnya.
Praktik manajemen kepemimpinan SBY juga terlalu bersayap dan kurang memanfaatkan mekanisme jalur lini dari para menterinya. Pembentukan begitu banyaknya komite, satuan kerja di samping staf khusus, tidak saja mengaburkan akuntabilitas para pembantu presiden yang berada pada garis lini, tetapi juga mengurangi efektivitas komunikasi. Substansi kontennya bisa kabur dan berubah karena panjangnya jalur komunikasi.
Sebagai contoh, santer terdengar beberapa menteri KIB II mulai kesulitan menemui Presiden SBY secara langsung. Konsekuensinya, koordinasi menjadi buruk dan kerja sama tidak efektif khususnya untuk mengatasi masalah-masalah yang mendesak di sektor ekonomi, sosial, hukum, dan keamanan yang langsung dirasakan oleh masyarakat.
Sejatinya, Presiden SBY berhak membuat kabinet yang punya komitmen, bukan kabinet yang setengah-setengah. Menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat, bukan bagi-bagi jatah pada anggota koalisi. Presiden SBY masih punya 3 tahun untuk menuntaskan masa jabatannya dan memperbaiki semuanya sebelum 2014. Tahun-tahun ini merupakan tahun yang menentukan bagi SBY. Jika tidak berhasil, SBY akan selamanya dikenang sebagai pemimpin yang gagal.
Tetapi celakanya, reshuffle KIB II hanya hiruk pikuk di media massa, analis, pengamat, dan politisi saja. Presiden SBY sendiri tidak pernah bilang bakal merombak kabinetnya. Malah, wacana reshuffle kabinet terkesan hanya sebagai alat untuk memetakan kekuatan politik yang kelihatannya karut-marut seperti sekarang ini. Sehingga, akan kelihatan siapa yang memang layak dijadikan kawan. Inilah seni politik yang dimainkan Presiden SBY untuk kembali menstabilkan koalisi pemerintahan menuju seperti yang diharapkannya.
Reshuffle yang diwacanakan saat ini lebih kepada menjaga stabilitas politik daripada kinerja kabinet, karena memang keduanya memiliki korelasi atau saling keterkaitan yang cukup tinggi. Terlihat presiden lebih berat pada urusan politik ketimbang urusan kinerja memberantas kemiskinan, pemberantasan korupsi, dan penegakkan hukum.
Harusnya dengan hak prerogatif presiden dan dukungan data yang obyektif tentang kinerja para pembantunya, presiden bisa merombak kabinet. Jika ada menteri yang tidak becus, ya diganti saja. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kalau kelamaan, rakyat bisa marah. Jangan sampai rakyat lebih menginginkan reshuffle presiden ketimbang reshuffle kabinet.
Oleh: Moh Ilham A Hamudy (Berkhidmat di BPP Kementerian Dalam Negeri)
Posting Komentar