|
Timun Suri, Rangga dan Novita |
PHYLOPOP.com - Puasa sudah memasuki hari ke-13. Rasanya kangen juga menjalaninya dengan suasana yang berbeda dari rutinitas sehari-hari. Lagipula Sabtu-Minggu adalah hari libur kantor. Tak ada salahnya akhir pekan ini saya berkunjung ke rumah paman di daerah Cakra (Cinere) untuk menjalani puasa bersama. Apalagi anak-anaknya yang masih lucu-lucu selalu menyambutku dengan senyuman, bermain, canda dan tawa bersama. Suasana yang sangat jauh berbeda dengan yang saya alami di kantor dan di kamar kost.
Singkat cerita, perjalanan dari Pasar Minggu tempat kost ke arah Cakra (Cinere) Sabtu siang yang biasa ditempuh selama satu jam di hari kerja (naik motor) hanya butuh waktu 20 menit. Maklum saja, Sabtu-Minggu adalah akhir pekan bagi warga Jakarta untuk berlibur atau berekreasi ke kota-kota sekitar seperti Puncak Bogor, Depok, dan Bandung. Praktis, tiap Sabtu-Minggu Kota Jakarta jauh dari hiruk pikuk kendaraan.
Tapi, pada kesempatan ini saya tidak akan bercerita tentang kisah perjalanan, apalagi tentang kemacetan Jakarta. Berhubung saya dan Anda semua yang sedang membaca tulisan ini dalam kondisi menahan lapar dan dahaga karena puasa, maka sangatlah tepat saya berbicara soal makanan. Apalagi kalau makanan itu untuk menu berbuka puasa nanti sore.
Kali ini saya akan berbicara soal mentimun suri. Ya, mentimun suri atau yang akrab dikenal orang dengan sebutan timun suri. Meskipun tidak populer, nama timun suri sering juga disebut timun betik atau barteh. Sebelum kita lanjut, ada baiknya sekilas kita berkenalan lebih dulu untuk mengenalnya secara ilmiah.
-
Menurut sumber yang saya baca, timun suri adalah tumbuhan semusim penghasil buah yang masuk dalam anggota suku labu-labuan dan dikenal dengan nama Latin
Cucurbitaceae. Meskipun lebih dikenal dengan sebutan timun, tanaman ini sebenarnya bukanlah jenis mentimun walaupun bentuk buahnya memanjang dan menyerupai mentimun. Secara morfologi dan sitologi, tanaman ini sama sekali tidak sama dengan mentimun. Bentuk daun dan ukuran bijinya lebih mendekati blewah atau melon. Selain itu, banyak kromosom inti selnya 2x= 2n = 24 yang sama dengan semua anggota
Cucumis lainnya, kecuali mentimun (2x = 2n = 14).
Hasil penelitian Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc dan rekannya (Dosen dan Peneliti pada Lab. Genetika, Fakultas Biologi UGM) yang berjudul
“Bukti Ilmiah di Balik Nama Timun Suri” menemukan bahwa apabila timun suri dan timun adalah termasuk jenis tanaman yang sama, maka keduanya kemungkinan besar memiliki jumlah kromosom yang sama. Jumlah kromosom
diploid timun suri yang diketahui dalam penelitian tersebut adalah 24. Sedangkan jumlah kromosom
diploid timun dan melon berbeda yaitu timun 2n=14 sedangkan melon 2n=24. Hasil
karyotype juga menunjukkan bahwa timun suri memiliki bentuk kromosom metasentris dan memiliki kesamaan dengan varietas melon lokal. Berdasarkan jumlah kromosom dan
karyotype tersebut dapat disimpulkan bahwa timun suri bukan dan tidak termasuk anggota spesies timun. Namun, timun suri lebih dekat kekerabatanya dengan melon.
Untuk mempermudah, mari kita sepakat lebih dulu agar menyebut buah/tanaman ini dengan timun suri meskipun kita sudah membaca penjelasan di atas. Selain alasan tersebut, rasanya sulit (bahkan mungkin mustahil) merubah penyebutan “timun suri” menjadi “melon suri” di tengah masyarakat kita yang sudah sangat akrab dengan nama itu. So, biar tidak
bertele-tele mari kita kembali ke leptop.
Timun suri bukanlah tanaman musiman. Tanaman ini bisa tumbuh di sembarang musim. Akan tetapi, masyarakat kita terutama di wilayah Jakarta dan Depok (sejauh ini saya belum menemukannya di daerah lain), lebih senang menanamnya sebelum memasuki bulan puasa sehingga hasilnya bisa dipanen selama bulan Ramadhan. Buahnya mengandung kalium yang cukup tinggi serta sangat bermanfaat untuk menjaga kesegaran dan kesehatan tubuh. Terlebih ketika tubuh dalam kondisi capek, lelah, apalagi sedang haus/dahaga dan lapar. Karena itu, tidak mengherankan jika timun suri banyak dikonsumsi orang selama bulan puasa terutama sebagai menu berbuka sebelum lanjut pada menu utama (makan besar).
- -
Yuk, mari kita kembali pada kisah saya di rumah paman. Setiba di depan rumah paman, seperti biasa saya disambut anak-anakanya. Semuanya sih ada empat orang, tapi siang itu hanya ada Rangga dan Novita. Keduanya menyambut ria kedatangan saya, tentu saja dengan panggilan akrabnya “Abang” (Maklum orang Jakarte).
“Abang datang... abang datang...!!” begitu teriak mereka kompak.
”Iya.. nih masukin tas Abang”, saya menyerahkan tas yang hanya berisi masing-masing sepotong celana dan baju di dalamnya. Setelah mencium tangan saya layaknya anak-anak bersalim, dengan sigap tas saya diraih oleh keduanya dan segera meluncur membawanya ke dalam rumah.
“Pak.. bu... Abang datang” teriak mereka kompak pada ibu dan bapaknya yang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing.
Setelah memarkir motor, saya pun bergegas masuk dan salim pada paman dan bibi. Sambutan dan sapaan akrab pun meluncur dari bibir mereka, bersahut-sahutan layaknya ayam berkokok membangunkan orang-orang untuk shalat subuh.
“Kamu kelihatan kurus, kurang makan apa pusingin kerjaan”, Bibi mengawali pembicaraan.
“Banyak kerjaan Bi di kantor, juga karena puasa”, jawabku santai.
“Ooo.. ya udah, istirahat aja dulu di kamar atas. Di kamarmu ada Mone lagi tidur”, lanjutnya sambil tangannya sibuk membereskan perabot dan sayur mayur di dapur.
Karena tidak mengantuk, saya duduk-duduk di teras depan rumah menikmati angin sejuk yang dihembuskan dari persawahan depan rumah. Sambil menunggu tibanya sore, Rangga dan Novita menemaniku bercanda dan tertawa bersama.
Selepas shalat ashar, saya bertanya pada bibi “Ada timun suri gak Bi?”.
“Gak ada. Beli aja, kita juga belum cicipi timun suri puasa ini”, balasnya.
Paman pun berinisiatif ke sawah sebelah, menghubungi yang punya tamanan timun suri. Sekitar 20 menit kemudian ia balik dan membawa 6 buah timun suri matang. Langsung saja paman mengolahnya untuk disajikan sebagai menu berbuka. Sambil menonton tivi, saya intip cara paman mengolah timun suri. Prosesnya lebih kurang seperti ini :
1. Timun suri dibelah dua dengan menggunakan pisau.
2. Biji-bijinya dikeluarkan dengan menggunakan sendok teh.
3. Daging timun suri dicolek-colek menggunakan sendok dan ukurannya sesuai selera.
4. Daging timun suri dimasukkan dalam wadah yang agak besar agar bisa diaduk.
5. Tambahkan gula sesuai selera dan aduk sebentar secara perlahan.
6. Tambahkan es batu.
7. Sambil menunggu waktu berbuka, timun suri yang siap disajikan disimpan dalam kulkas.
8. Timun suri pun kami santap bersama saat waktu berbuka tiba.
Pada puasa tahun-tahun sebelumnya, saya dan keluarga paman sering menjadikan timun suri sebagai menu berbuka puasa. Dari tahun ke tahun produksi timun suri mengalami penurunan karena sawah-sawah beralih fungsi jadi pemukiman penduduk. Tapi sebagai bahan sharing, sampai sekarang saya masih ingat cara-cara mengolah timun suri, sebagaimana proses di atas.
Timun suri pada dasarnya memiliki rasa yang gurih dan tidak sepenuhnya manis. Untuk bisa menikmati rasa gurihnya secara utuh, timun suri sebaiknya dicampur dengan pemanis. Salah satunya adalah gula. Bahan campuran favorit yang biasa saya nikmati dengan paman sekeluarga adalah sirup, susu manis atau dengan madu. Yang umum dipakai orang adalah gula dan sirup, tapi jika ada susu atau madu saya lebih suka. Rasa dan khasiatnya lebih kuat, bukan sekedar melepas dahaga atau pemenuh rasa lapar. Susu menyehatkan dan madu mengandung beribu khasiat. Meskipun demikian, timun suri tetap gurih dan segar jika dicampur dengan pemanis apapun.
Demikianlah kisah saya kali ini tentang segarnya berbuka puasa dengan timun suri. Semoga bermanfaat. Terima kasih.
Klik ini untuk membaca yang lain.