PHYLOPOP.com - Salam jumpa Phylovers. Senang bisa bertemu dan menyapa di hari yang bahagia dan cerah ini. Semoga hari ini jauh menyenangkan, salam hangat dan salam persahabatan.
Jika selama ini saya atau Anda hanya melihat di TV Ketua KPK Abraham Samad bicara cas cis cus soal korupsi, tapi tidak untuk kali ini. Saya berkesempatan menyaksikan langsung paparannya terkait korupsi pada suatu kesempatan. Banyak hal yang terungkap dari hasil paparan tersebut, terlebih ketika hadirin yang notabene para bupati/walikota dari seluruh Indonesia menanyakan langsung terkait berangam kasus korupsi yang menjerat para pejabat di daerahnya masing-masing.
Semua pertanyaan yang dilontarkan berhasil dijawab dengan baik. Tapi ada satu hal hal yang mengecewakan para bupati/walikota tersebut. Abraham Samad menolak untuk foto bersama dengan alasan melanggar kode etik KPK. Bagi para Bupati/Walikota yang jauh-jauh datang dari daerah, penolakan tersebut sungguh mengecewakan karena bertemu dengan seorang ketua KPK merupakan peristiwa langka baginya. Para panitia pun dibuat tak berdaya olehnya. Honor yang harusnya ia terima karena sudah berkesempatan hadir di acara itu pun tidak ia ambil. Padahal, honor tersebut sudah dianggarkan dan nyata-nyata ada dalam anggaran kegiatan. Sejauh yang saya ketahui, begitulah kebiasaan para petinggi KPK tersebut jika menghadiri sebuah acara. Pun acara/kegiatan tersebut nyata-nyata diselenggarakan secara resmi di bawah bendera birokrasi/pemerintah. Tapi apapun itu, sejauh merupakan hal yang sudah diatur dalam sebuah sebuah kode etik, atau apapun namanya, tetap harus diapresiasi. Paling tidak sikap semacam itu mencerminkan bahwa KPK masihlah menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia. KPK punya integritas dan komitmen untuk memberantas korupsi, dan hal itu dimulai dari institusi KPK itu sendiri.
Ketua KPK Abraham Samad pada kesempatan hadir di tengah-tengah peserta Orientasi Kepemimpinan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah bagi Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota Angkatan ke-01 dan ke-02 Tahun 2012, tepatnya pada tanggal 04 April 2012. Orientasi ini dilaksanakan oleh Badan Diklat Kemendagri bertempat di Kantor Badan Diklat Kemendagri Jl. TM. Pahlawan Nomor 8 Kalibata Jakarta Selatan. Dasar penyelenggaraan Orientasi ini adalah Permendagri Nomor 57 Tahun 2011.
Ketua KPK Abraham Samad pada kesempatan tersebut menyajikan dengan apik paparannya yang disambut meriah oleh para Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota yang hadir. Pada kesempatan itu, dari sekian banyak yang hadir, 10 bupati/walikota berkesempatan menyampaikan unek-unek atau pertanyaan yang terkait langsung dengan kondisi daerah masing-masing.
Oke langsung saja Phylovers kita membahas terkait modus operandi korupsi. Pada kesempatan orientasi kali ini, ketua KPK menyajikan sebanyak 18 modus operandi yang biasa ditemuinya di lapangan. 18 modus operandi tersebut adalah sebagai berikut:
Satu, pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat untuk “membujuk” kepala daerah/pejabat daerah mengintervensi proses pengadaan dalam rangka dalam rangka memenangkan pengusaha, meninggikan harga atau nilai kontrak, dan pengusaha tersebut memberikan sejumlah uang kepada pejabat pusat atau daerah.
Dua, pengusaha mempengaruhi kepala daerah/pejabat daerah untuk mengintervensi proses pengadaan agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung, dan harga barang/jasa dinaikkan (mark up) kemudian selisihnya dibagi-bagikan.
Tiga, panitia pengadaan membuat spesifikasi barang yang mengarah ke merk atau produk tertentu dalam rangka memenangkan rekanan tertentu dan melakukan mark up harga barang atau nilai kontrak.
Empat, kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif.
Lima, kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana/uang daerah untuk kepentingan pribadi koleganya, atau untuk kepentingan pribadi kepala/pejabat daerah yang bersangkutan, kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar, bahkan dengan menggunakan bukti-bukti yang kegiatannya fiktif.
Enam, kepala daerah menerbitkan Perda sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak berlaku lagi.
Tujuh, pengusaha, pejabat eksekutif, dan pejabat legislatif daerah bersepakat melakukan ruislag atas aset Pemda serta mark up atas aset pengganti dari pengusaha/rekanan.
Delapan, para kepala daerah meminta uang jasa (dibayar di muka) kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek (biasanya 10% dari nilai proyek).
Sembilan, kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan.
Sepuluh, kepala daerah membuka rekening atas nama kas daerah dengan specimen pribadi (bukan pejabat dan bendahara yang ditunjuk), dimaksudkan untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur.
Sebelas, kepala daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah yang ditempatkan pada bank. Contohnya, kepala daerah menempatkan dana kas Pemda pada bank-bank tertentu karena ada imbalan fee.
Dua belas, kepala daerah memberikan ijin pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Contoh, perusahaan-perusahaan tambang dadakan yang tidak memiliki tenaga ahli geologi, tidak punya peralatan dll).
Tiga belas, kepala daerah menerima uang/barang yang berhubungan dengan proses perizinan yang dikeluarkannya. Di kota biasanya berupa ijin-ijin tempat hiburan, hotel, ruko, mall dll. Di kabupaten misalnya ijin-ijin tambang kuasa.
Empat belas, kepala daerah/keluarga/kelompoknya membeli dulu barang dengan harga yang murah kemudian dijual kembali ketika ada pengadaan barang dengan melakukan mark up.
Lima belas, kepala daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan barang pribadinya dengan menggunakan anggaran daerah.
Enam belas, kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban kepada anggaran dengan alasan pengurusan DAU/DAK. Biasanya memberikan Banggar DPR dan kementerian/lembaga teknis terkait dengan proyek pebangunan agar diarahkan/dialihkan ke daerah yang bersangkutan.
Tujuh belas, kepala daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusunan APBD untuk mempengaruhi APBD.
Depana belas, kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara/masalah pribadi dengan beban anggaran daerah, misalnya biaya berobat, pendidikan anak, dll.
Demikian Phylovers, semoga sajian kali ini menghindarkan kita dari yang namanya tindak pidana korupsi. Terlebih 18 modus operandi ini patut diketahui oleh para penyelenggara negara. Bukan untuk melihat dan memahami celah-celahnya, melainkan untuk mengantisipasi dan menghindari kemungkinan adanya tindak pidana korupsi selama bertugas. Sampai jumpa dan salam hangat selalu.
Posting Komentar