Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 05.56
Ada pepatah Jawa "wong bodho dadi pangane wong pinter", yang artinya orang bodoh itu menjadi obyek rezeki bagi orang pintar. Dan pepatah itu kadang dikonotasikan negatif dengan mengartikan bahwa orang bodoh itu karena kebodohannya banyak dimanfaatkan (dikerjain) oleh orang pintar.

Sedangkan konotasi positifnya, kini malah banyak orang pintar yang justru menggantungkan hidupnya kepada orang yang dianggap bodoh. Di Indonesia ini semakin sulit membedakan mana orang bodoh dan mana orang pintar, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.

Orang yang berpendidikan rendah kadang dikatakan bodoh, dengan standar minimal pendidikan di Indonesia yaitu wajib belajar 9 tahun, bagaimana orang yang mengenyam pendidikan kurang dari 9 tahun, apakah bisa dikategorikan bodoh? Dan kadang kategori bodoh tersebut sangat lekat dengan kemiskinan, berada di kelas bawah.

Tetapi bagaimana dengan sosok yang bernama Anggodo Widjojo? Dia hanya lulusan SD, namun bisa menjadi pengusaha sukses, bahkan sepak terjangnya mampu menggemparkan dunia hukum di Indonesia. Dan mungkin bodohnya, nasib Anggodo berakhir di penjara.

Lain halnya dengan EKa Tjipta Widjaya, pendiri Sinar Mas Grup. Dia juga hanya lulusan SD, bahkan saat kecil, dia dan keluarganya hidup dalam kemiskinan. Namun kini, pria lulusan SD tersebut menjadi salah satu konglomerat besar di negeri ini, yang mempunyai karyawan sekitar 70 ribu orang dan memiliki hampir 200 perusahaan.

Dan dari 70 ribu orang karyawannya tersebut, didominasi oleh orang-orang pintar dengan pendidikan tinggi, dan orang-orang pintar tersebut bergantung hidupnya pada sosok pria yang cuman berijazah SD tersebut. Mungkin dia bisa dibilang bodoh dalam hal pendidikan, namun dia pintar dalam hal memanfaatkan peluang usaha, sehingga bisa sukses dan kini menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia.

Lalu bagaimana dengan orang pintar, apakah kepintaran mereka itu bisa menjadi jaminan sukses masa depan? Belum tentu juga. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, dari 8,32 juta orang pengangguran di Indonesia, didominasi oleh lulusan sarjana dan diploma. Bahkan di Purworejo, seorang pengayuh becak yang bernama Wawan Kurniawan adalah seorang sarjana Teknik Sipil di Universitas Muhammadiyah Purworejo (UMP).

Dia menjalankan profesi tukang becak sejak SMU, dengan pendapatan yang pas-pasan, bahkan terkadang dalam satu hari dia bisa tidak mendapatkan uang sepeserpun. Harapannya pun tidak muluk-muluk, hanya ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Nasib berbeda dengan orang-orang genius asal Indonesia, yang laku keras dipinang perusahaan-perusahaan besar di luar negeri. Mereka lebih memilih berkarya di luar negeri, karena di sana mereka merasa lebih dihargai kemampuan dan kapasitasnya.

Meskipun mereka dari kalangan genius, namun mereka juga bisa dianggap bodoh atau mungkin justru negara ini yang bodoh, karena membiarkan potensi besar itu melayang ke negeri orang, dan membiarkan negara ini tetap dalam kebodohan. Padahal kalau mereka lebih dihargai di dalam negeri, tidak ada yang tidak mungkin, mimpi besar bangsa Indonesia untuk menjadi negara yang maju bisa terwujud.

Bagaimana dengan produk-produk asli buatan Indonesia, seperti batik dan tempe? Semua orang tahu, kedua barang itu sangat familiar di Indonesia sejak jaman dulu kala. Tetapi siapa pemilik hak paten batik dan tempe? Sayang sekali apabila benar bahwa hak paten batik itu dimiliki Amerika dan Malaysia, sedangkan tempe itu hak paten dimiliki Jepang.

Bahkan beberapa waktu silam, beberapa keragaman budaya kita juga sempat diklaim milik negara tetangga Malaysia. Ini salah siapa, kebodohan siapa? Tentu saja ini kebodohan kita. Kita pintar dalam menghasilkan produk yang menarik dan digemari hingga di mancanegara, namun kita bodoh dalam memperjuangkan hak milik kita tersebut menjadi hak paten milik Indonesia.

Lebih baik terlambat daripada tidak berusaha sama sekali. Kepintaran itu bukan hanya untuk dihasilkan, tetapi juga dipelihara sebaik-baiknya, dipertahankan selama-lamanya, dan ditingkatkan setinggi-tingginya untuk kemakmuran bangsa Indonesia.

Kita tidak boleh menyerah dalam kebodohan, sudah seharusnya kita berpikir lebih matang untuk bisa lepas dari kebodohan, dan tidak mudah untuk dibodohin. Belum tentu juga kita ini bodoh, tetapi selama ini kita terlalu mudah dibodohin. Mungkin lebih baik jika kita menjadi orang bodoh yang pintar, dari pada menjadi orang pintar yang bodoh.

Kita ini bodoh atau dibodohin?

Banyak kasus di Indonesia yang dikaitkan dengan kebodohan-kebodohan ini, bahkan mungkin kita ini termasuk salah satu diantaranya. Sadar atau tidak sadar, kita kadang terjebak dalam kebodohan, dan kebodohan ini sangat dekat dengan kecerobohan, dan kecerobohan ini bisa berakibat kerugian.

Seperti halnya penipuan via layanan Short Message Service (SMS) dan telepon, mulai dari berkedok anggota keluarga ada yang kecelakaan, mendapatkan hadiah dari salah satu perusahaan ternama, hingga berpura-pura sebagai ayah atau ibu korban yang minta transfer pulsa atau transfer sejumlah uang.

Meskipun penipuan semacam ini sudah marak, bahkan kasusnya sering terekspos di media, namun ada saja korban yang masih tergiur dan tertipu, mulai dari kalangan menengah ke bawah di pelosok daerah, hingga kalangan menengah ke atas di perkotaan.

Begitu juga dengan kasus Selly dan Malinda Dee, yang kasusnya kini sedang menjadi trending topic di media dan jejaring sosial, dengan bekal kecantikan wajah dan rayuan mautnya, mereka mampu meraup untung ratusan juta bahkan milyaran rupiah, yang diduga dari hasil penipuan yang mereka lakukan, yang berkedok inventasi usaha tertentu dan penipuan dana nasabah salah satu bank ternama, dan kasusnya kini masih berjalan dalam penyelidikan pihak berwajib. Dan korban-korbannya ini didominasi oleh orang-orang kantoran, dari kalangan menengah keatas dan berpendidikan tinggi.

Belum habis berita Selly dan Malinda Dee menghiasi media, kini muncul berita yang tidak kalah heboh. Bukan materi yang dirugikan, bukan uang yang digelapkan, tetapi jatidiri yang ditipukan, dalam sebuah mahligai perkawinan. Seorang "wanita" yang mengaku bernama Icha (Anastasya Octaviany) menikah dengan seorang pria tulen bernama Umar.

Belakangan setelah pernikahan berjalan 6 bulan, baru ketahuan ternyata Icha sebenarnya seorang pria yang bernama Tyo (Rahmat Sulistyo). Umar yang menjadi korban percintaan via Facebook itu pun akhirnya melaporkan istrinya tersebut ke polisi. Entah Umar itu terlalu bodoh untuk mengetahui jatidiri Icha yang sebenarnya, atau karena alasan lain, yang jelas waktu 6 bulan itu cukup lama atas sebuah kebodohan Umar.

Indonesia memang selalu mempunyai cerita. Namun akankah cerita-cerita itu akan berulang di tahun-tahun berikutnya? Cerita akan kesuksesan yang berawal dari kebodohan, itu mungkin bisa menjadi kebanggaan. Tetapi cerita miris akan kebodohan dari manusia bodoh yang dibodohin, dan dari tahun ke tahun masih terus terjadi, itu akan menjadi kebodohan besar bangsa ini.

Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa belajar dari kebodohan, bukan bangsa yang larut dalam kebodohan, dan bukan bangsa yang mudah dibodohi. Pendidikan tinggi bukanlah jaminan, namun semangat dan kerja keras yang diimbangi oleh moral dan norma yang positif harus terus ditanamkan dalam kehidupan bangsa Indonesia.


Arief P Susanto
Pondok Kelapa, Jakarta Timur
maz_ariefps@yahoo.co.id
081932094535

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.