Sejak tanggal 24 Maret 2008, Organisasi Meteorologi International atau World Meteorological Organization (WMO) telah memberikan wewenang kepada Indonesia, sebagai salah satu negara yang memantau badai tropis. Itulah mengapa dalam beberapa tahun terakhir, nama-nama badai tropis dekat Indonesia tak lagi menggunakan nama asing, namun dengan istilah Bahasa Indonesia.
"Ada 7 wilayah di dunia di mana badai tropis sering dijumpai. Di setiap wilayah, WMO menunjuk beberapa negara untuk berperan dalam mengawasi dan memberi peringatan pada ancaman badai serta menamai badai yang ditemukan. Indonesia merupakan salah satu negara yang ditunjuk," kata A Fahri Radjab, Ketua Sub Bidang Siklon Tropis, Tropical Cyclone Warning Center (TCWC), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jakarta.
Selain Indonesia, beberapa negara yang ditunjuk adalah Australia dan Jepang. Masing-masing memiliki wilayah pengawasan sendiri yang ditentukan WMO. Indonesia misalnya, dalam scope international memiliki wilayah pengawas dari 0 derajat lintang hingga 10 derajat lintang selatan serta 90 derajat bujur timur hingga 141 derajat bujur timur. Sementara, Australia misalnya, memiliki wilayah pengawasan setelah 10 derajat lintang selatan.
Fahri mengungkapkan, wilayah pengawasan itu mungkin berbeda secara nasional maupun internasional. "Secara internasional, Indonesia tidak berkewajiban mengawasi adanya badai di dekat Aceh yang berada di utara khatulistiwa atau 0 derajat. Jepanglah yang memiliki wewenang mengawasi Aceh. Tapi, secara nasional, Indonesia tetap memilikinya karena Aceh adalah bagian dari negara," kata Fahri saat diwawancarai Kompas.com, Selasa (2/1/2010).
Selama 2 tahun melaksanakan tugasnya, TCWC telah berhasil menemukan dan menamai 2 badai tropis yang berada dalam wilayah pengawasannya. Badai tropis pertama yang ditemukan adalah Badai Durga, ditemukan sebulan setelah TCWC resmi memulai aktivitasnya, yaitu pada tanggal 24 April 2008. Badai tersebut ditemukan di wilayah perairan barat Sumatra, tempat Badai Tropis Anggrek kini ditemukan. Sementara itu, badai tropis kedua yang ditemukan adalah Badai Anggrek, ditemukan tanggal 31 Oktober 2010 lalu.
TCWC sebagai salah satu lembaga pengawasan badai tropis hingga kini terus mempublikasikan data hasil pengawasannya. "Data tersebut di-update bukan 24 sekali, tetapi 12 jam sekali. Kami melaporkannya di web dan menyertakan segala kemungkinan yang terjadi," terang Fahri yang sejak tahun 2008 terlibat dalam aktivitas TCWC. Hasil pengawasan beserta keterangan tentang kemungkinan bahaya yang terjadi bisa dilihat pada website BMKG.
Dalam melakukan pengawasan, TCWC mesti melakukan pengamatan terhadap beberapa data. TCWC melakukan pengamatan permukaan di daratan dan pengamatan berbasis satelit. Untuk pengamatan berbasis satelit, Indonesia menggunakan 4 macam satelit, yaitu MTSAT, NOA, Feng Yun, dan Microwave. "Keseluruhannya bukan milik kita tetapi kita bisa memanfaatkannya karena memiliki receiver untuk menerima data-data yang ada," jelas Fahri.
Selain melakukan pengamatan data, pengawasan terhadap badai tropis juga dilakukan dengan memperkirakan cuaca sehingga kemungkinan badai beserta karakteristiknya bisa dihitung dengan rumus tertentu.
Kerjasama internasional dalam memberika peringatan terhadap badai dilakukan dengan tidak mengenakan biaya pada data-data yang dikirimkan. "Seluruh satelit itu merupakan milik negara-negara tertentu, tapi data yang dikirimkan gratis. Kita hanya harus mengeluarkan biaya untuk penyediaan receiver-nya," kata Fahri. Lewat kerjasama tersebut, salah satu yang hendak dituju adalah mengajak masyarakat untuk waspada terhadap kemungkinan bencana badai tropis.
Informasi mengenai badai tropis dapat dilihat di situs TCWC, http://maritim.bmg.go.id/cyclones/ berikut peringatan dini dan perkiraan gelombang laut untuk kepentingan pelayaran.
* kompas.com
Posting Komentar