“Anak gue itu ya, kalau kalau disuruh belajar, nggak mau belajar. Pokoknya maunya membantah terus. Barangkali kalau gue larang, kamu jangan belajar, mungkin dia malah akan belajar.” Demikian keluh teman sekantor, seorang ibu dengan anak tertua yang akan menempuh ujian SMP. Tentu ibu ini cemas, karena persaingan masuk SMA favorit semakin sulit, sementara anaknya ini selalu membantah arahan orangtuanya.
Dengan sistem pendidikan Indonesia yang dari dulu tidak pernah berhasil menciptakan antusiasme siswa untuk belajar sebagai aktivitas yang "fun", ya lumrah kalau anak selalu membantah jika disuruh belajar. Mereka punya konteks laten sebagai alasan tersirat. Namun ada juga yang memang senang sekadar membantah untuk mengusik orangtuanya. Contohnya keponakan saya yang duduk di SMA. Ketika sedang belajar main gitar listrik, kalau diingatkan ibunya untuk jangan terlalu keras, biasanya dia malah akan sengaja membesarkan volume amplifiernya, sampai ibunya datang menutup pintu kamarnya.
Kedua potret di atas adalah gambaran umum masalah yang dihadapi orangtua di mana-mana, terutama yang punya anak usia remaja. Perlawanan pada orangtua seolah bagian inheren dalam proses pendidikan anak di tiap keluarga. Berbagai teori dalam psikologi perkembangan umumnya juga menegaskan bahwa proses perlawanan itu sebetulnya adalah salah satu tahap pendewasaan. Karena pada satu titik si anak akan mandiri dari orangtuanya. Perlawanan pada orangtua, baik secara terbuka atau -yang pasti terjadi- di belakang orangtua, adalah tahap ketika si anak mulai merasa independen untuk membentuk konsep dirinya sendiri. Di kutub yang paling aman, jika konsep diri ini sejalan dengan sistem nilai dalam keluarga, perlawanan dalam arti kontradiksi mungkin tidak akan terjadi. Namun di kutub yang lain, jika konsep diri ini berlawanan dengan sistem nilai keluarga, maka perlawanan akan menjadi ekstrim. Semua bentuk perlawanan yang lain berada di antara kedua kutub itu.
Perlawanan tidak terjadi hanya di dalam keluarga. Di luar keluarga, seorang anak akan berhadapan dengan dunia sekitar yang lebih luas. Sehingga pada suatu ketika bentuk perlawanan tidak lagi ditujukan pada pemegang otonomi dalam keluarga, namun juga terhadap otonomi-otonomi di luar rumahnya. Dari perlawanan terhadap otonomi sekolah, hingga perlawanan terhadap penguasa politik. Namun, kalau kita bicara tentang perlawanan anak muda, persoalannya bukan pada apa atau siapa yang mereka lawan, tetapi mengapa melawan. Desakan, dorongan, atau hasrat untuk melawan itulah yang lebih penting. Lantas obyek perlawanannya bisa apa saja. Bisa orangtua yang terlalu protektif, guru galak yang menyebalkan, kepala sekolah yang terlalu kaku, hingga pemerintah yang tidak kunjung memuaskan hati rakyat.
Semakin orang dewasa geregetan atas tindak perlawanan anak, semakin anak tertantang untuk mencoba orang dewasa tersebut. Semakin unik dan berani perlawanan seorang siswa di mata teman-temannya, semakin si anak mendapatkan kepuasan menunjukkan eksistensinya. Semakin kasar dan provokatif slogan-slogan yang mereka pampang pada buku catatan, melalui guratan pada meja kelas, sampai grafiti di tembok umum, semakin bangga mereka atas keberadaan diri atau kelompoknya.
Pendekatan psikologi yang lain mengatakan, masa muda adalah masa terjadinya fase-fase peralihan fisik dan emosi dari anak-anak menuju dewasa. Pada saat ini, pada anak muda ada dorongan kuat untuk menunjukkan identitas pribadinya, sementara identitasnya itu justru sedang bergeser dari apa yang ditanamkan keluarga ke dorongan diri untuk lepas, untuk independen. Dalam dinamika tarik menarik ini sikap melawan muncul sebagai bentuk unjuk diri, "ini aku".
Sebuah kondisi lain yang ikut memunculkan dorongan untuk melawan itu adalah sikap orang dewasa yang cemas sehingga terlalu melindungi. Padahal di masa ingin independen itu anak muda justru tidak suka sikap yang over protektif pada dirinya. Karenanya anak muda akan cenderung bersikap membantah terhadap semua bentuk larangan, pembatasan, atau peringatan, yang oleh orang dewasa diartikan sebagai sikap melawan.
Menarik untuk menyimak bentuk-bentuk perlawanan anak muda ini sebagai sebuah sub kultur yang berbeda-beda pada tiap masanya. Di akhir era enampuluhan hingga tujuhpuluhan, rambut gondrong menjadi simbol perlawanan anak muda. Bahkan sampai rezim Orde Baru saat itu melakukan upaya represi dengan razia rambut gondrong karena bentuk perlawanan ini dicemaskan bisa mengganggu "stabilitas". Di era delapanpuluhan sampai sembilanpuluhan simbol-simbol perlawanan lebih diwujudkan lewat musik dan fashion. Misalnya lagu-lagu Iwan Fals, Slank, memakai baju seragam sekolah dengan cara dikeluarkan, atau memakai sepatu dengan diinjak bagian belakangnya. Gaya yang disebut terakhir ini kemudian malah menginspirasi model sepatu yang bagian belakangnya dihilangkan seperti selop.
Saat ini, rambut gondrong sebagai suatu bentuk perlawanan sudah tidak begitu signifikan lagi. Karena simbol-simbol perlawanan sudah jauh lebih beragam dan kreatif. Konteksnya tidak lagi bernuansa politis, namun lebih pada gaya hidup atau sekadar fashion. Tengok saja dari mereka yang punya tatto (dulu tatto identik dengan preman), tindik telinga, hidung, sampai lidah, hingga kebebasan dalam orientasi seksual. Yang terakhir ini, karena sudah masuk wilayah norma agama, kerap mendapat represi dari lembaga-lembaga agama.
Di pasaran, produk-produk yang memuat simbol-simbol perlawanan itu ternyata disukai anak muda. Ada suatu kebanggaan tersendiri jika memakainya. Tengok saja gambar wajah Che Guevara sebagai ikon perlawanan yang sudah jadi komoditi. Hingga tahun lalu mudah sekali kaos atau pernak-pernik yang memuat wajah tokoh perlawanan kelahiran Argentina ini didapatkan di distro-distro. Padahal sahabat Fidel Casto ini sudah meninggal lebih dari empat dekade lalu. Awalnya kaos bergambar Che di Indonesia hanya diproduksi terbatas dan hanya dijumpai di distro rumahan. Namun belakangan dengan mudah bisa dibeli di distro-distro kelas menengah ke bawah seperti di Mal Blok M Terminal atau di mal-mal di pinggiran Jakarta. Jangan terlalu berharap mereka yang memakai kaos bergambar Che itu paham siapa itu Che Guevara dan apa yang sesungguhnya dilakukan tokoh itu. Mungkin mereka tahunya hanya bahwa Che itu adalah tokoh perlawanan dari luar negeri, selebihnya tidak ambil pusing dengan riwayat sejarahnya.
Jadi, sedang memikirkan produk untuk kawula muda? Cobalah masukkan unsur simbol-simbol perlawanan. Dari sekadar disain kemasan maupun sampai pada fungsi dan tujuan produk itu sendiri. Niscaya produk Anda dapat meraih hati mereka.
----
Oleh : Hermawan Kartajaya dkk
Artikel ini ditulis berdasarkan analisa hasil riset sindikasi terhadap hampir 800 responden anak muda di 6 kota besar di Indonesia, SES A-B, Umur 16-35, yang dilakukan bulan Februari-Maret 2010 oleh MarkPlus Insight berkerjasama dengan Komunitas Marketeers.
Tulisan 16 dari 100 dalam rangka MarkPlus Conference 2011 “Grow With the Next Marketing” Jakarta, 16 Desember 2010, yang juga didukung oleh Kompas.com dan www.the-marketeers.com.
Posting Komentar