PHYLOPOP.com - Barangkali Phylovers tak mengetahui dengan pasti di mana rizqi berada. Tapi rizqi tahu di mana Phylovers berada. Dari langit, laut, gunung, dan lembah, Rabb memerintahkannya menujumu.
Allah berjanji menjamin rizqi setiap anak adam. Maka melalaikan keta'atan pada-Nya demi mengkhawatirkan apa yang sudah dijamin-Nya adalah kekeliruan berganda.
Tugas manusia bukan mengkhawatiri rizqi atau bermuluk cita memiliki, melainkan menyiapkan jawaban "Dari Mana" dan "Untuk Apa" atas tiap karunia-Nya.
Betapa banyak orang bercita menggenggam dunia, namun dia alpa bahwa hakikat rizqi bukanlah yang tertulis dalam angka, tapi apa yang dinikmatinya.
Betapa banyak orang bekerja membanting tulangnya, memeras keringatnya demi angka simpanan gaji yang mungkin esok pagi ditinggalkannya mati.
Maka amat keliru, jika bekerja dimaknai mentawakkalkan rizqi pada perbuatan kita. Bekerja itu bagian dari ibadah. Sedang rizqi itu urusan-Nya.
Kita bekerja untuk bersyukur, menegakkan ta'at dan berbagi manfaat. Tapi rizqi tak selalu terletak di pekerjaan kita. Allah menaruh sekehendak-Nya.
Bukankah Hajar berlari 7x bolak-balik dari Shafa ke Marwa. Tetapi Zam-zam justru terbit di kaki bayinya. Ikhtiar itu laku perbuatan. Rizqi itu kejutan.
Ia kejutan untuk disyukuri hamba yang bertaqwa. Datang dari arah tak terduga. Tugasnya cuma menempuh jalan halal. Allah lah yang melimpahkan bekal.
Sekali lagi, yang terpenting setiap kali kita meminta dan Allah memberi karunia. Jaga sikap saat menjemputnya dan jawab soalan-Nya, "Buat apa?".
Betapa banyak yang merasa memiliki manisnya dunia, namun lupa bahwa semua hanya "hak pakai" yang halalnya akan dihisab dan haramnya akan di 'adzab.
Banyak yang mencampakkan keikhlasan 'amal demi tambahan harta, plus dibumbui kata untuk bantu sesama: lupa bahwa ibadah apapun semata atas pertolongan-Nya.
Dengan itu kita mohon "Ihdinash Shirathal Mustaqim": petunjuk ke jalan orang yang diberi nikmat, ikhlas di dunia dan nikmat ridha-Nya di akhirat.
Maka segala puji bagi Allah. Hanya dengan nikmat-Nya-lah menjadi sempurna semua kebajikan.
Allah berjanji menjamin rizqi setiap anak adam. Maka melalaikan keta'atan pada-Nya demi mengkhawatirkan apa yang sudah dijamin-Nya adalah kekeliruan berganda.
Tugas manusia bukan mengkhawatiri rizqi atau bermuluk cita memiliki, melainkan menyiapkan jawaban "Dari Mana" dan "Untuk Apa" atas tiap karunia-Nya.
Betapa banyak orang bercita menggenggam dunia, namun dia alpa bahwa hakikat rizqi bukanlah yang tertulis dalam angka, tapi apa yang dinikmatinya.
Betapa banyak orang bekerja membanting tulangnya, memeras keringatnya demi angka simpanan gaji yang mungkin esok pagi ditinggalkannya mati.
Maka amat keliru, jika bekerja dimaknai mentawakkalkan rizqi pada perbuatan kita. Bekerja itu bagian dari ibadah. Sedang rizqi itu urusan-Nya.
Kita bekerja untuk bersyukur, menegakkan ta'at dan berbagi manfaat. Tapi rizqi tak selalu terletak di pekerjaan kita. Allah menaruh sekehendak-Nya.
Bukankah Hajar berlari 7x bolak-balik dari Shafa ke Marwa. Tetapi Zam-zam justru terbit di kaki bayinya. Ikhtiar itu laku perbuatan. Rizqi itu kejutan.
Ia kejutan untuk disyukuri hamba yang bertaqwa. Datang dari arah tak terduga. Tugasnya cuma menempuh jalan halal. Allah lah yang melimpahkan bekal.
Sekali lagi, yang terpenting setiap kali kita meminta dan Allah memberi karunia. Jaga sikap saat menjemputnya dan jawab soalan-Nya, "Buat apa?".
Betapa banyak yang merasa memiliki manisnya dunia, namun lupa bahwa semua hanya "hak pakai" yang halalnya akan dihisab dan haramnya akan di 'adzab.
Banyak yang mencampakkan keikhlasan 'amal demi tambahan harta, plus dibumbui kata untuk bantu sesama: lupa bahwa ibadah apapun semata atas pertolongan-Nya.
Dengan itu kita mohon "Ihdinash Shirathal Mustaqim": petunjuk ke jalan orang yang diberi nikmat, ikhlas di dunia dan nikmat ridha-Nya di akhirat.
Maka segala puji bagi Allah. Hanya dengan nikmat-Nya-lah menjadi sempurna semua kebajikan.
Posting Komentar