PHYLOPOP.com - Di sekolah kehidupan kita sering menemukan begitu banyak orang yang terjebak oleh trauma kegagalan di masa silam. Kegagalan yang pernah dialaminya dianggap sebagai sesuatu yang mutlak dan pasti terulang, sehingga membuat dirinya kapok untuk mencoba lagi. Bahkan bukan cuma itu.
Perasaan “takut gagal lagi” itu kemudian secara sistematik ditularkan kepada sejumlah orang, entah itu rekan kerja atau bahkan anak-anak mereka sendiri. Dan ketika rasa “takut gagal” menjadi momok dalam sebuah lingkungan, maka sejumlah cita-cita besar kita dapati layu sebelum berkembang.
Ilustrasi yang menarik mengenai soal tersebut diatas dapat dipetik dari cerita yang beredar di internet, yang entah darimana asal-usulnya. Berikut petikannya:
Konon, ada seorang profesor di Amerika yang meneliti dua ekor monyet. Keduanya, sebut saja Ankey dan Benkey, dimasukkan ke dalam sebuah ruang kosong bersama-sama. Di dalam ruang terdapat sebuah tiang yang di atasnya terdapat sejumlah pisang yang sudah matang.
Setelah cukup menyamankan diri dengan lingkungan dalam ruang tersebut, Ankey dan Benkey kemudian mulai mencoba memanjat tiang untuk mendapatkan pisang yang menggiurkan itu. Mula-mula Ankey yang naik. Ketika berada di tengah, sang profesor menyemprotkan air ke arahnya, sehingga Ankey terpeleset dan jatuh. Penasaran, Ankey mencoba lagi, disemprot lagi, dan jatuh lagi. Begitu berulang kali, sampai Ankey menjadi kapok. Lalu Benkey mencoba. Ia mengalami hal yang sama berulang kali dan akhirnya ikut kapok.
Tak lama berselang, dimasukkanlah monyet ketiga, sebut saja Cenkey. Sang profesor sudah menetapkan untuk tidak lagi menyemprotkan air jika ada monyet yang memanjat tiang. Siapa pun yang memanjat pasti akan mendapatkan pisang yang ada. Anehnya, begitu Cenkey mulai menyentuh tiang untuk memanjat, ia langsung ditarik oleh Ankey dan Benkey. Mereka agaknya berusaha mencegah agar Cenkey tidak mengalami nasib serupa dengan mereka. Karena terus menerus dicegah oleh Ankey dan Benkey, maka akhirnya Cenkey terpengaruh dan tak lagi berusaha memanjat.
Selanjutnya, sang profesor mengeluarkan Ankey dan Benkey, dan memasukkan dua monyet baru Denkey dan Enkey. Seperti mudah ditebak, Denkey dan Enkey mencoba memanjat tiang untuk mendapatkan pisang. Namun Cenkey berusaha mati-matian untuk mencegah dan menahan dua kawannya itu. Ia seperti berusaha memberitahu kalau “ada sesuatu” dengan tiang dan pisang tersebut yang membahayakan siapa saja yang memanjat.
Usaha Cenkey berhasil mempengaruhi Denkey, tetapi Enkey agaknya punya pendiriannya sendiri. Enkey akhirnya memanjat dan menikmati pisang yang diperolehnya karena memang sang profesor tidak menyemprotkan air lagi.
Sang profesor dalam kisah di atas boleh ditafsirkan “mewakili” Tuhan, yang memudahkan seseorang dalam hal tertentu [memberi berkah] dan menyulitkan orang yang sama dalam hal yang lain [mengijinkan musibah]. Ia memainkan peran sebagai “faktor x” yang tak bisa direncanakan dan tak bisa diduga perilakunya. Sementara pisang merupakan wujud dari sasaran-sasaran atau cita-cita yang ingin dicapai oleh orang-orang tertentu, entah itu kekayaan, jabatan kekuasaan, kesehatan, keturunan, kecantikan, usia lanjut, atau apapun yang mungkin diinginkan manusia.
Ankey dan Benkey mewakili sosok orang kebanyakan. Awalnya mereka memiliki sejumlah cita-cita besar. Namun setelah beberapa kali gagal memperjuangkan cita-citanya, mereka akhirnya memutuskan untuk menyerah pada keadaan [nasib?]. Mereka menjadi trauma. Mereka takut gagal lagi. Dan pengalaman gagal kemudian menjadi semacam mantra yang siap ditularkan kepada siapa saja yang bersinggungan dengan mereka.
Cenkey, monyet ketiga, mewakili sosok orang-orang yang mudah percaya pada mitos-mitos negatif para pendahulunya. Jika mereka menginginkan sesuatu, mereka akan sangat bergantung pada pandangan lingkungan sekitarnya. Ketika lingkungan tak mendukung, kurang memberikan informasi yang dibutuhkan, atau bahkan mencoba menghambat langkah maju, maka mereka akan menyerah pada tuntutan lingkungan yang lebih tahu dan lebih “berpengalaman”. Atas nama tradisi, bakat, keturunan, dan nasib, kelompok manusia jenis Cenkey tidak perlu sampai mengalami sendiri proses kegagalan yang dramatis. Mereka mudah diyakinkan bahwa mereka tak berbakat dan pasti gagal, bahkan sebelum mencoba melakukan sesuatu sama sekali.
Denkey memiliki karakteristik yang tak banyak berbeda dengan Cenkey. Tetapi Enkey mewakili jenis manusia yang lain. Jenis manusia yang tak mudah dipengaruhi dan ingin memperjuangkan cita-citanya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak percaya pada faktor nasib, keturunan, atau bahkan bakat. Baginya, semua yang dicita-citakan harus diusahakan. Kalau perlu berbeda pandangan dengan orang lain, tak jadi soal. Kalau orang lain pernah gagal, tak berarti ia juga pasti gagal. Kalau orang lain menganggapnya tak bisa, itu bukan berarti ia otomatis menjadi tak bisa. Yang penting segala sesuatu harus dicoba. Dan sesuatu yang dianggap penting harus diperjuangkan sampai dapat, apapun hambatannya.
Kita juga dapat mengatakan bahwa Ankey dan Benkey adalah jenis orang yang terpenjara oleh masa lalu. Mereka bahkan memandang masa depan melalui masa lalu. “Jika kemarin aku gagal, maka besok pun aku pasti gagal,” demikian pola pikir mereka. Bahkan lebih parah lagi, entah secara sadar ataupun tidak, mereka menganggap, “Jika tahun lalu aku gagal, maka kalau si Cenkey mencoba besok, ia juga pasti gagal. Aku harus mencegahnya agar ia tidak gagal seperti diriku”. Dengan demikian, bagi Ankey dan Benkey, mencegah orang dari usaha mereka untuk meraih cita-cita besar adalah sesuatu yang “baik” dan “mulia”. Ankey dan Benkey akan mencoba mengajarkan orang-orang di lingkungan terdekatnya untuk “realistis” dalam menginginkan sesuatu. Mereka pandai dalam memberikan argumentasi tentang mengapa suatu hal itu menjadi “tidak mungkin”. Namun, mereka tidak pandai dalam soal menjelaskan bagaimana mengubah sesuatu yang “tidak mungkin” menjadi “mungkin”. Dengan lain perkataan, orang-orang tipe Ankey dan Benkey mudah menyebarkan virus pesimisme. Mereka adalah kaum pesimis berdasarkan pengalaman.
Cenkey dan Denkey bahkan lebih parah lagi. Mereka cenderung memilih tindakan yang “paling aman” setelah mempertimbangkan semua kritik dan saran yang disampaikan orang lain [lingkungan]. Mereka tidak memiliki cita-cita yang diinginkan dengan sungguh-sungguh, tetapi sekadar mengikuti kemana suara mayoritas membawa mereka. Mereka memiliki rasa minder potensial yang mudah berkembang ketika disiram oleh nasihat orang-orang “berpengalaman” model Ankey dan Benkey. Pola pikirnya kurang lebih, “Kalau orang seperti dia saja tidak bisa, apalagi aku”. Singkatnya, inilah model orang pesimis berdasarkan pelajaran dan pelatihan dari orang lain [bukan pengalaman langsung].
Enkey mewakili keberanian, kegigihan, sikap optimis dan pantang menyerah. Inilah jenis manusia yang mempelopori perubahan, melakukan terobosan, menghadirkan berbagai inovasi, dan membuat dunia nampak warna-warni dan penuh dinamika.
Kita bisa juga memaknai kisah para monyet itu secara lain. Ankey dan Benkey mewakili sisi tertentu dalam diri kita yang mudah menyerah. Sisi itu sering berpesan “Kemarin kamu sudah gagal, buat apa mencoba lagi. Nanti gagal lagi”. Cenkey dan Denkey mewakili sisi lain yang terpengaruh oleh pengalaman gagal dalam bidang tertentu. Sisi ini sering berpesan, “Kalau si Centil saja nggak tertarik sama kamu, apalagi dalam si Tamara” atau “Kalau bergaul saja kamu sudah, bagaimana bisa berbisnis”. Sementara Enkey mewakili sisi paling optimis dalam diri kita, yang berpesan “Selalu ada cara bagi yang gigih berusaha” atau “Sesuatu yang sulit itu tidak berarti mustahil”.
Nah, ketiga sisi tersebut bertarung tiap hari dalam diri kita, dalam sistem berpikir kita, dan hanya salah satu sisi yang “menang” pada suatu saat. Sisi yang paling sering kita menangkan—artinya ini soal pilihan, bukan soal nasib—itulah yang kemudian membentuk kebiasaan kita, apakah kita cenderung menjadi pesimis atau menjadi optimis dalam meraih cita-cita hidup di masa depan.
Jadi, ketika ada orang yang mengatakan bahwa kita tidak mungkin mencapai apa yang kita cita-citakan, jangan percaya. Sebab mereka mungkin adalah kaum pesimis berdasarkan pengalaman [Ankey-Benkey], atau pesimis karena dilatih [Cenkey-Denkey], sementara kita adalah kelompok optimis [Enkey]. Kejar terus cita-cita, jangan pernah menyerah.
Penulis:
Andrias Harefa
Author: 40 Best-selling Books; Speaker-Trainer-Coach: 22 Years Plus
Alamat www.andriasharefa.com – Twitter @ aharefa
Perasaan “takut gagal lagi” itu kemudian secara sistematik ditularkan kepada sejumlah orang, entah itu rekan kerja atau bahkan anak-anak mereka sendiri. Dan ketika rasa “takut gagal” menjadi momok dalam sebuah lingkungan, maka sejumlah cita-cita besar kita dapati layu sebelum berkembang.
Ilustrasi yang menarik mengenai soal tersebut diatas dapat dipetik dari cerita yang beredar di internet, yang entah darimana asal-usulnya. Berikut petikannya:
Konon, ada seorang profesor di Amerika yang meneliti dua ekor monyet. Keduanya, sebut saja Ankey dan Benkey, dimasukkan ke dalam sebuah ruang kosong bersama-sama. Di dalam ruang terdapat sebuah tiang yang di atasnya terdapat sejumlah pisang yang sudah matang.
Setelah cukup menyamankan diri dengan lingkungan dalam ruang tersebut, Ankey dan Benkey kemudian mulai mencoba memanjat tiang untuk mendapatkan pisang yang menggiurkan itu. Mula-mula Ankey yang naik. Ketika berada di tengah, sang profesor menyemprotkan air ke arahnya, sehingga Ankey terpeleset dan jatuh. Penasaran, Ankey mencoba lagi, disemprot lagi, dan jatuh lagi. Begitu berulang kali, sampai Ankey menjadi kapok. Lalu Benkey mencoba. Ia mengalami hal yang sama berulang kali dan akhirnya ikut kapok.
Tak lama berselang, dimasukkanlah monyet ketiga, sebut saja Cenkey. Sang profesor sudah menetapkan untuk tidak lagi menyemprotkan air jika ada monyet yang memanjat tiang. Siapa pun yang memanjat pasti akan mendapatkan pisang yang ada. Anehnya, begitu Cenkey mulai menyentuh tiang untuk memanjat, ia langsung ditarik oleh Ankey dan Benkey. Mereka agaknya berusaha mencegah agar Cenkey tidak mengalami nasib serupa dengan mereka. Karena terus menerus dicegah oleh Ankey dan Benkey, maka akhirnya Cenkey terpengaruh dan tak lagi berusaha memanjat.
Selanjutnya, sang profesor mengeluarkan Ankey dan Benkey, dan memasukkan dua monyet baru Denkey dan Enkey. Seperti mudah ditebak, Denkey dan Enkey mencoba memanjat tiang untuk mendapatkan pisang. Namun Cenkey berusaha mati-matian untuk mencegah dan menahan dua kawannya itu. Ia seperti berusaha memberitahu kalau “ada sesuatu” dengan tiang dan pisang tersebut yang membahayakan siapa saja yang memanjat.
Usaha Cenkey berhasil mempengaruhi Denkey, tetapi Enkey agaknya punya pendiriannya sendiri. Enkey akhirnya memanjat dan menikmati pisang yang diperolehnya karena memang sang profesor tidak menyemprotkan air lagi.
Sang profesor dalam kisah di atas boleh ditafsirkan “mewakili” Tuhan, yang memudahkan seseorang dalam hal tertentu [memberi berkah] dan menyulitkan orang yang sama dalam hal yang lain [mengijinkan musibah]. Ia memainkan peran sebagai “faktor x” yang tak bisa direncanakan dan tak bisa diduga perilakunya. Sementara pisang merupakan wujud dari sasaran-sasaran atau cita-cita yang ingin dicapai oleh orang-orang tertentu, entah itu kekayaan, jabatan kekuasaan, kesehatan, keturunan, kecantikan, usia lanjut, atau apapun yang mungkin diinginkan manusia.
Ankey dan Benkey mewakili sosok orang kebanyakan. Awalnya mereka memiliki sejumlah cita-cita besar. Namun setelah beberapa kali gagal memperjuangkan cita-citanya, mereka akhirnya memutuskan untuk menyerah pada keadaan [nasib?]. Mereka menjadi trauma. Mereka takut gagal lagi. Dan pengalaman gagal kemudian menjadi semacam mantra yang siap ditularkan kepada siapa saja yang bersinggungan dengan mereka.
Cenkey, monyet ketiga, mewakili sosok orang-orang yang mudah percaya pada mitos-mitos negatif para pendahulunya. Jika mereka menginginkan sesuatu, mereka akan sangat bergantung pada pandangan lingkungan sekitarnya. Ketika lingkungan tak mendukung, kurang memberikan informasi yang dibutuhkan, atau bahkan mencoba menghambat langkah maju, maka mereka akan menyerah pada tuntutan lingkungan yang lebih tahu dan lebih “berpengalaman”. Atas nama tradisi, bakat, keturunan, dan nasib, kelompok manusia jenis Cenkey tidak perlu sampai mengalami sendiri proses kegagalan yang dramatis. Mereka mudah diyakinkan bahwa mereka tak berbakat dan pasti gagal, bahkan sebelum mencoba melakukan sesuatu sama sekali.
Denkey memiliki karakteristik yang tak banyak berbeda dengan Cenkey. Tetapi Enkey mewakili jenis manusia yang lain. Jenis manusia yang tak mudah dipengaruhi dan ingin memperjuangkan cita-citanya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak percaya pada faktor nasib, keturunan, atau bahkan bakat. Baginya, semua yang dicita-citakan harus diusahakan. Kalau perlu berbeda pandangan dengan orang lain, tak jadi soal. Kalau orang lain pernah gagal, tak berarti ia juga pasti gagal. Kalau orang lain menganggapnya tak bisa, itu bukan berarti ia otomatis menjadi tak bisa. Yang penting segala sesuatu harus dicoba. Dan sesuatu yang dianggap penting harus diperjuangkan sampai dapat, apapun hambatannya.
Kita juga dapat mengatakan bahwa Ankey dan Benkey adalah jenis orang yang terpenjara oleh masa lalu. Mereka bahkan memandang masa depan melalui masa lalu. “Jika kemarin aku gagal, maka besok pun aku pasti gagal,” demikian pola pikir mereka. Bahkan lebih parah lagi, entah secara sadar ataupun tidak, mereka menganggap, “Jika tahun lalu aku gagal, maka kalau si Cenkey mencoba besok, ia juga pasti gagal. Aku harus mencegahnya agar ia tidak gagal seperti diriku”. Dengan demikian, bagi Ankey dan Benkey, mencegah orang dari usaha mereka untuk meraih cita-cita besar adalah sesuatu yang “baik” dan “mulia”. Ankey dan Benkey akan mencoba mengajarkan orang-orang di lingkungan terdekatnya untuk “realistis” dalam menginginkan sesuatu. Mereka pandai dalam memberikan argumentasi tentang mengapa suatu hal itu menjadi “tidak mungkin”. Namun, mereka tidak pandai dalam soal menjelaskan bagaimana mengubah sesuatu yang “tidak mungkin” menjadi “mungkin”. Dengan lain perkataan, orang-orang tipe Ankey dan Benkey mudah menyebarkan virus pesimisme. Mereka adalah kaum pesimis berdasarkan pengalaman.
Cenkey dan Denkey bahkan lebih parah lagi. Mereka cenderung memilih tindakan yang “paling aman” setelah mempertimbangkan semua kritik dan saran yang disampaikan orang lain [lingkungan]. Mereka tidak memiliki cita-cita yang diinginkan dengan sungguh-sungguh, tetapi sekadar mengikuti kemana suara mayoritas membawa mereka. Mereka memiliki rasa minder potensial yang mudah berkembang ketika disiram oleh nasihat orang-orang “berpengalaman” model Ankey dan Benkey. Pola pikirnya kurang lebih, “Kalau orang seperti dia saja tidak bisa, apalagi aku”. Singkatnya, inilah model orang pesimis berdasarkan pelajaran dan pelatihan dari orang lain [bukan pengalaman langsung].
Enkey mewakili keberanian, kegigihan, sikap optimis dan pantang menyerah. Inilah jenis manusia yang mempelopori perubahan, melakukan terobosan, menghadirkan berbagai inovasi, dan membuat dunia nampak warna-warni dan penuh dinamika.
Kita bisa juga memaknai kisah para monyet itu secara lain. Ankey dan Benkey mewakili sisi tertentu dalam diri kita yang mudah menyerah. Sisi itu sering berpesan “Kemarin kamu sudah gagal, buat apa mencoba lagi. Nanti gagal lagi”. Cenkey dan Denkey mewakili sisi lain yang terpengaruh oleh pengalaman gagal dalam bidang tertentu. Sisi ini sering berpesan, “Kalau si Centil saja nggak tertarik sama kamu, apalagi dalam si Tamara” atau “Kalau bergaul saja kamu sudah, bagaimana bisa berbisnis”. Sementara Enkey mewakili sisi paling optimis dalam diri kita, yang berpesan “Selalu ada cara bagi yang gigih berusaha” atau “Sesuatu yang sulit itu tidak berarti mustahil”.
Nah, ketiga sisi tersebut bertarung tiap hari dalam diri kita, dalam sistem berpikir kita, dan hanya salah satu sisi yang “menang” pada suatu saat. Sisi yang paling sering kita menangkan—artinya ini soal pilihan, bukan soal nasib—itulah yang kemudian membentuk kebiasaan kita, apakah kita cenderung menjadi pesimis atau menjadi optimis dalam meraih cita-cita hidup di masa depan.
Jadi, ketika ada orang yang mengatakan bahwa kita tidak mungkin mencapai apa yang kita cita-citakan, jangan percaya. Sebab mereka mungkin adalah kaum pesimis berdasarkan pengalaman [Ankey-Benkey], atau pesimis karena dilatih [Cenkey-Denkey], sementara kita adalah kelompok optimis [Enkey]. Kejar terus cita-cita, jangan pernah menyerah.
Penulis:
Andrias Harefa
Author: 40 Best-selling Books; Speaker-Trainer-Coach: 22 Years Plus
Alamat www.andriasharefa.com – Twitter @ aharefa
Posting Komentar