PHYLOPOP.com - Terbentuknya budaya politik suatu masyarakat melibatkan pengaruh yang beragam. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut memiliki tingkat pengaruh yang satu sama lain berbeda sesuai dengan sikap, karakter dan pola sikap yang melatarbelakangi masyarakatnya. Faktor-faktor yang dimaksud dapat digolongkan dalam dua kelompok besar, yakni faktor internal masyarakat desa dan faktor eksternal.
Faktor internal maksudnya adalah orientasi budaya politik masyarakat desa dipengaruhi oleh faktor yang datang dari masyarakat desa itu sendiri, meliputi dua hal utama, yakni faktor ekonomi dan faktor pendidikan. Faktor eksternal maksudnya adalah bahwa orientasi budaya politik masyarakat desa dipengaruhi oleh sesuatu hal yang datang dari luar masyarakat itu sendiri, meliputi faktor media massa dan faktor interaksi dengan para elit politik dan aparat pemerintah.
Dua jenis faktor internal yang mempengaruhi budaya politik masyarakat adalah faktor ekonomi dan pendidikan. Pertama, keadaan ekonomi masyarakat desa secara umum masih jauh di bawah standar yang diharapkan karena masyarakat desa hanya memiliki akses pemenuhan kebutuhan sehari-hari dari hasil pertanian, perikanan, kerajinan dan lain-lain sejenisnya. Memang tak dapat dipungkiri bahwa meskipun akses sumber ekonomi masyarakat desa hanya berkutat pada pertanian, perikanan, kerajinan dan sejenisnya, masyarakat desa telah mampu meningkatkan pendapatannya dikarenakan adanya keterlibatan berbagai pihak dalam hal pemberdayaan seperti keterlibatan pemerintah dan swasta untuk meningkatkan hasil pertanian, penangkapan ikan bagi nelayan, pengembangan kerajinan dan lain-lain.
Dari sekian banyak keterlibatan pihak luar tersebut, tak banyak yang berhasil dan jumlahnya pun masih belum sebanding dengan jumlah masyarakat desa yang membutuhkannya. Kesulitan dan kegagalan tersebut selain dikarenakan keterbatasan kapasitas dan kemampuan secara sumber daya dan ekonomi, kurangnya kepedulian, juga dikarenakan ketidaktepatan metode yang diterapkan sesuai dengan karakter lingkungan fisik dan keadaan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat desa.
Bagaimana pun, tingkat kesejahteraan suatu masyarakat selalu melibatkan faktor ekonomi. Makin tinggi tingkat ekonomi masyarakat, makin tinggi pula tingkat kesejahteraannya, dan makin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat maka semakin tinggi tingkat aktifitas yang dilakukannya sehari-hari. Tingginya tingkat aktifitas yang dijalankan masyarakat membawa pengaruh langsung pada kemampuannya mengembangkan berbagai potensi diri. Potensi diri individu yang dikembangkan dalam berbagai bentuk mempengaruhi sikap dan tindakannya dalam menghadapi berbagai hal. Hal inilah yang akan membentuk orientasi politik (budaya politik).
Faktor internal yang kedua adalah faktor pendidikan. Pendidikan adalah suatu proses mencari, memahami dan kemudian melakukan dalam bentuk tindakan nyata dari suatu hal yang menjadi suatu pengetahuan. Oleh karena merupakan suatu proses mencari, memahami dan melakukan, maka diperlukan keterlibatan aktif secara individu maupun kelompok. Akan tetapi, dalam proses tersebut perlu adanya sarana dan prasarana yang mendukung, termasuk di dalamnya adalah keterlibatan pihak lain yang dapat dijadikan sumber ilmu dan pengetahuan.
Pihak lain yang dimaksud dapat berupa orang perorang secara individu maupun kelompok, instansi-instansi atau organisasi-organisasi sosial dan pemerintahan. Terkait dengan budaya politik, pendidikan setidaknya dapat melibatkan dua pihak, yakni swasta dan pemerintah. Pihak swasta yang dimaksud adalah organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan (LSM) sedangkan pihak pemerintah adalah negara itu sendiri, yang dijalankan melalui tahap-tahap dan arah yang jelas.
Hasil penelitian Almond dan Verba[1] terhadap budaya politik lima negara mengemukakan tiga jenis perbedaan antara orientasi politik masyarakat yang berpendidikan tinggi dan masyarakat yang berpendidikan rendah. Pertama, terdapat sejumlah orientasi politik yang sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan mempengaruhi di kelima negara. Kedua, terdapat sejumlah tingkah laku politik yang secara relatif berubah sedikit dari satu tingkat pendidikan ke jenjang pendidikan berikutnya. Ketiga, ada beberapa orientasi politik di atas mana derajad pendidikan mempunyai pengaruh yang berbeda di tiap-tiap negara.
Pada sejumlah negara, orang-orang berpendidikan tinggi mempunyai frekuensi orientasi khusus yang lebih tinggi; dalam negara lain, orang yang berpendidikan rendah cenderung memiliki frekuensi orientasi yang sama dalam ukuran lebih tinggi. Atau dalam satu negara antar kelompok pendidikan terdapat perbedaan frekuensi orientasi khusus sementara dalam negara yang lain perbedaan semacam itu tidak ada.
Berdasarkan hasil penelitian Almond dan Verba tersebut, maka jelaslah bahwa pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan bagi orientasi politik masyarakat. Untuk itu, orientasi politik yang lebih tinggi melalui pendidikan mengarah kepada beberapa hal sebagaimana diungkapkan Barid Hardiyanto[2]. Pertama, pendidikan untuk mempertanyakan struktur ketidakadilan. Implementasi tujuan tersebut dalam kerangka menaruh kembali substansi sejajar manusia di mata Tuhan. Kedua, mengarahkan pendidikan untuk mampu menggerakkan subjek pendidikan untuk melakukan perubahan. Ketiga, mengetahui tindakan apa saja yang akan dilakukan untuk mendapatkan hak-hak masyarakat. Keempat, mengatasi problem-problem yang ada untuk mendapatkan hak tersebut. Kelima, melihat kontekstualisasi situasi politik yang sedang berlangsung dan hubungannya dengan perjuangan-perjuangan perlawanan. Keenam, mengetahui dan memahami jalannya proses pendidikan.
Melalui tujuan pendidikan yang demikian, kekhawatiran pemerintah akan masih jauh tertinggalnya sebagian besar masyarakat dalam hak dan kewajiban politiknya setidaknya dapat diminimalisir. Pendidikan tersebut perlu diarahkan kepada suatu budaya politik partisipan yang tentu saja perlu ditopang dengan tingkat kematangan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang memadai. Sebagian besar masyarakat luar Jawa dan Madura mengalami ketertinggalan yang sangat signifikan terutama masyarakat Indonesia bagian timur.
Dengan demikian, tingkat partisipasi masyarakat akan meningkat seiring dengan tingginya kualitas dan kuantitas pendidikan, yang kemudian melahirkan kematangan masyarakat dalam hak dan kewajiban politiknya.
Selain kedua faktor internal tersebut di atas, faktor eksternal juga memiliki andil yang kuat dalam proses pembentukan dan mempengaruhi budaya politik masyarakat. Media massa merupakan media yang paling tepat dan dapat diterima secara umum oleh sebagian besar masyarakat. Media massa yang dimaksud adalah baik media cetak (koran, majalah, tabloid dan lain-lain) maupun media elektronik (televisi, radio, komputer/internet dan lain-lain).
Diharapkan pada kenyataan kondisi lingkungan fisik dan lingkungan ekonomi, sosial, budaya masyarakat yang tidak memadai, media-media tersebut belum sepenuhnya menyentuh keseharian masyarakat pedesaan. Bahkan pada masyarakat desa terpelosok dan terpinggir, hampir tidak pernah mengenal dan berhadapan dengan media-media yang dimaksud. Akibatnya, media-media tersebut hanya menjadi konsumsi keseharian masyarakat perkotaan yang dengan segala kelebihannya telah mampu merubah pola pikir dan orientasi sikap dan tindakannya.
Masyarakat desa yang karena berbagai keterbatasan tersebut tidak mengalami perubahan apa-apa terhadap berbagai sikap dan tindakannya yang memungkinkan masyarakat pedesaan tetap berada pada tingkat keterbelakangan dan kemerosotan, terutama keterbelakangan dan kemerosotan budaya politik. Kenyataan ini tentu saja menjadi suatu kendala terbesar yang selalu dihadapi oleh pemrintah untuk menciptakan format ideologi dan sistem politik yang ideal guna memaksimalkan peran serta masyarakat terhadap berbagai sistem politik yang dijalankan.
Berbagai keterbelakangan tersebut setidaknya dapat diminimalkan jika pemerintah memiliki kepedualian yang serius terhadap nasib masyarakat desa. Terlebih di era kebebasan media massa dan ditunjang sistem demokrasi otonomi daerah yang sedang bergulir, semestinya kepedualian terhadap nasib masyarakat desa dapat diawali dan terus dikembangkan.
Bergulirnya era otonomi daerah sepantasnya menjadi kemenangan besar bagi masyarakat desa karena secara langsung masyarakat desa menentukan siapa yang layak memimpin di tingkat lokal, yang tentu saja memahami situasi dan kondisi masyarakat desa lebih dekat. Selain itu, keberadaan media massa lokal yang menjamur tidak membawa pengaruh yang berarti bagi masyarakat desa. Padahal, James W. Carey[3] mengungkapkan bahwa melalui komunikasi media massa, setiap individu memiliki peluang untuk menerima pesan yang berupa nilai-nilai, orientasi atau hal lain yang serupa, yang memungkinkan efek dari interaksi tersebut bertemu satu dan lainnya membentuk pola-pola khusus yang mendukung terciptanya integrasi sosial.
Jika peluang menerima pesan berupa nilai-nilai, orientasi dan lain-lainya tersebut sama bagi semua masyarakat, mengapa peluang tersebut tidak mampu menyentuh masyarakat desa karena sebenarnya desa merupakan sumber kehidupan bagi semua lapisan masyarakat, terutama masyarakat perkotaan. Artinya, kemakmuran dan kemajuan dalam berbagai segi yang dialami masyarakat desa membawa pengaruh yang besar bagi kemakmuran dan kemajuan masyarakat perkotaan karena sebagian besar sumber kebutuhan pokok masyarakat perkotaan berasal dari desa.
Efek ini memang tidak berlaku sebaliknya. Ketika masyarakat perkotaan menikmati fasilitas-fasilitas mewah dan taraf kehidupan yang mapan, masyarakat desa tidak mengalami perubahan apapun, apalagi kemakmuran dan kemajuan sebagai imbas dari kehidupan masyarakat kota.
Pada dasarnya, terdapat keuntungan ganda yang dapat diperoleh dari media massa. Charles R. Wright[4] membagi fungsi media menjadi empat bagian.
Pertama, sebagai fungsi pengawasan. Pengawasan yang dimaksud adalah media massa memberikan peringatan mengenai ancaman dan bahaya yang mengancam kesejahteraan dan keselamatan kehidupan manusia di dunia.
Kedua, fungsi interpretasi dan preskripsi dengan mencegah konsekuensi–konsekuensi yang tidak diharapkan dengan cara membangun komunikasi berita yang telah dikemukakan.
Ketiga, fungsi transmisi budaya dan sosialisasi. Media massa dapat mewariskan nilai-nilai atau norma-norma suatu masyarakat.
Keempat, fungsi penghibur. Fungsi penghibur media massa adalah dengan mengoptimalkan peran sebagai sarana untuk melepaskan diri dari perasaan tertekan, yang menimbulkan perasaan-perasaan tertentu seperti keceriaan dan percaya diri yang tinggi.
Selain beberapa manfaat yang dikemukakan oleh Wright tersebut di atas, Almond mengemukakan manfaat lain. Menurut Almond[5], media massa (surat kabar, radio, televisi, majalah dan lain-lain) memegang peranan penting untuk menularkan sikap-sikap dan nilai-nilai modern kepada bangsa-bangsa merdeka. Selain sebagai penyampai informasi tentang peristiwa politik, media massa juga menyampaikan secara langsung atau tidak nilai-nilai utama yang dianut oleh masyarakatnya. Karena itu, media massa yang terkendali merupakan sarana kuat dalam membentuk keyakinan-keyakinan politik.
Faktor eksternal kedua yang mempengaruhi serta membentuk budaya politik masyarakat adalah interaksi para elit politik dan pemerintahan dengan masyarakat desa. Tampaknya, faktor terakhir ini memiliki kelebihan tersendiri dibanding ketiga faktor lain yang telah dikemukakan di atas. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat desa mampu memberikan reaksi tersendiri secara langsung jika berhadapan dan bertatap muka secara langsung tanpa perantara.
Sikap demikian dilatarbelakangi oleh masih kentalnya kerjasama dan kepedulian yang tinggi antar sesama yang memungkinkan terjalinnya interaksi secara personal dengan para elit politik dan aparat pemerintah. Interaksi secara langsung melalui tatap muka sering diterapkan dalam kehidupan masyarakat desa, misalnya dalam bentuk diskusi menjaring pandangan serta menyampaikan berbagai informasi pembangunan desa. Interaksi secara langsung semacam ini sangat efektif dalam menyampaikan pesan-pesan politik dan pembangunan kepada masyarakat, karena biasanya masyarakat desa akan menunjukkan secara langsung reaksi tertentu terhadap tindakan yang dilakukan pemerintah dan para elit politik.
Dalam menyampaikan pesan politik kepada masyarakat, para elit politik dan aparat pemerintahan perlu melibatkan peran serta para tokoh masyarakat, karena para tokoh masyarakat inilah yang secara umum diterima di tengah-tengah masyarakat desa dan terlibat langsung dalam berbagai kegiatan dan agenda yang berlangsung dalam masyarakat desa.
Soemarno[6] menuliskan bahwa mekanisme komunikasi politik dalam masyarakat desa tidak dapat dipisahkan dari peran para birokrat (aparat desa) dan tokoh-tokoh masyarakat. Keduanya merupakan aktor-aktor penting sebagai komunikator politik, memainkan peran tertentu dan mampu menggerakkan proses komunikasi politik masyarakat desa. Aktor-aktor ini dianggap sebagai pendobrak terjalinnya komunikasi politik di masyarakat.
Menurut Doob, terdapat tiga kategori aktor-aktor politik tersebut, yakni politikus (politician), komunikator profesional (professional communicators), dan aktivis komunikator politik (activist of political communicators). Aktor-aktor tersebut perlu terlibat aktif dalam kesatuan kerjasama yang kompak untuk menyampaikan pesan-pesan dan pendidikan politik kepada masyarakat desa.
Faktor internal maksudnya adalah orientasi budaya politik masyarakat desa dipengaruhi oleh faktor yang datang dari masyarakat desa itu sendiri, meliputi dua hal utama, yakni faktor ekonomi dan faktor pendidikan. Faktor eksternal maksudnya adalah bahwa orientasi budaya politik masyarakat desa dipengaruhi oleh sesuatu hal yang datang dari luar masyarakat itu sendiri, meliputi faktor media massa dan faktor interaksi dengan para elit politik dan aparat pemerintah.
Dua jenis faktor internal yang mempengaruhi budaya politik masyarakat adalah faktor ekonomi dan pendidikan. Pertama, keadaan ekonomi masyarakat desa secara umum masih jauh di bawah standar yang diharapkan karena masyarakat desa hanya memiliki akses pemenuhan kebutuhan sehari-hari dari hasil pertanian, perikanan, kerajinan dan lain-lain sejenisnya. Memang tak dapat dipungkiri bahwa meskipun akses sumber ekonomi masyarakat desa hanya berkutat pada pertanian, perikanan, kerajinan dan sejenisnya, masyarakat desa telah mampu meningkatkan pendapatannya dikarenakan adanya keterlibatan berbagai pihak dalam hal pemberdayaan seperti keterlibatan pemerintah dan swasta untuk meningkatkan hasil pertanian, penangkapan ikan bagi nelayan, pengembangan kerajinan dan lain-lain.
Dari sekian banyak keterlibatan pihak luar tersebut, tak banyak yang berhasil dan jumlahnya pun masih belum sebanding dengan jumlah masyarakat desa yang membutuhkannya. Kesulitan dan kegagalan tersebut selain dikarenakan keterbatasan kapasitas dan kemampuan secara sumber daya dan ekonomi, kurangnya kepedulian, juga dikarenakan ketidaktepatan metode yang diterapkan sesuai dengan karakter lingkungan fisik dan keadaan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat desa.
Bagaimana pun, tingkat kesejahteraan suatu masyarakat selalu melibatkan faktor ekonomi. Makin tinggi tingkat ekonomi masyarakat, makin tinggi pula tingkat kesejahteraannya, dan makin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat maka semakin tinggi tingkat aktifitas yang dilakukannya sehari-hari. Tingginya tingkat aktifitas yang dijalankan masyarakat membawa pengaruh langsung pada kemampuannya mengembangkan berbagai potensi diri. Potensi diri individu yang dikembangkan dalam berbagai bentuk mempengaruhi sikap dan tindakannya dalam menghadapi berbagai hal. Hal inilah yang akan membentuk orientasi politik (budaya politik).
Faktor internal yang kedua adalah faktor pendidikan. Pendidikan adalah suatu proses mencari, memahami dan kemudian melakukan dalam bentuk tindakan nyata dari suatu hal yang menjadi suatu pengetahuan. Oleh karena merupakan suatu proses mencari, memahami dan melakukan, maka diperlukan keterlibatan aktif secara individu maupun kelompok. Akan tetapi, dalam proses tersebut perlu adanya sarana dan prasarana yang mendukung, termasuk di dalamnya adalah keterlibatan pihak lain yang dapat dijadikan sumber ilmu dan pengetahuan.
Pihak lain yang dimaksud dapat berupa orang perorang secara individu maupun kelompok, instansi-instansi atau organisasi-organisasi sosial dan pemerintahan. Terkait dengan budaya politik, pendidikan setidaknya dapat melibatkan dua pihak, yakni swasta dan pemerintah. Pihak swasta yang dimaksud adalah organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan (LSM) sedangkan pihak pemerintah adalah negara itu sendiri, yang dijalankan melalui tahap-tahap dan arah yang jelas.
Hasil penelitian Almond dan Verba[1] terhadap budaya politik lima negara mengemukakan tiga jenis perbedaan antara orientasi politik masyarakat yang berpendidikan tinggi dan masyarakat yang berpendidikan rendah. Pertama, terdapat sejumlah orientasi politik yang sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan mempengaruhi di kelima negara. Kedua, terdapat sejumlah tingkah laku politik yang secara relatif berubah sedikit dari satu tingkat pendidikan ke jenjang pendidikan berikutnya. Ketiga, ada beberapa orientasi politik di atas mana derajad pendidikan mempunyai pengaruh yang berbeda di tiap-tiap negara.
Pada sejumlah negara, orang-orang berpendidikan tinggi mempunyai frekuensi orientasi khusus yang lebih tinggi; dalam negara lain, orang yang berpendidikan rendah cenderung memiliki frekuensi orientasi yang sama dalam ukuran lebih tinggi. Atau dalam satu negara antar kelompok pendidikan terdapat perbedaan frekuensi orientasi khusus sementara dalam negara yang lain perbedaan semacam itu tidak ada.
Berdasarkan hasil penelitian Almond dan Verba tersebut, maka jelaslah bahwa pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan bagi orientasi politik masyarakat. Untuk itu, orientasi politik yang lebih tinggi melalui pendidikan mengarah kepada beberapa hal sebagaimana diungkapkan Barid Hardiyanto[2]. Pertama, pendidikan untuk mempertanyakan struktur ketidakadilan. Implementasi tujuan tersebut dalam kerangka menaruh kembali substansi sejajar manusia di mata Tuhan. Kedua, mengarahkan pendidikan untuk mampu menggerakkan subjek pendidikan untuk melakukan perubahan. Ketiga, mengetahui tindakan apa saja yang akan dilakukan untuk mendapatkan hak-hak masyarakat. Keempat, mengatasi problem-problem yang ada untuk mendapatkan hak tersebut. Kelima, melihat kontekstualisasi situasi politik yang sedang berlangsung dan hubungannya dengan perjuangan-perjuangan perlawanan. Keenam, mengetahui dan memahami jalannya proses pendidikan.
Melalui tujuan pendidikan yang demikian, kekhawatiran pemerintah akan masih jauh tertinggalnya sebagian besar masyarakat dalam hak dan kewajiban politiknya setidaknya dapat diminimalisir. Pendidikan tersebut perlu diarahkan kepada suatu budaya politik partisipan yang tentu saja perlu ditopang dengan tingkat kematangan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang memadai. Sebagian besar masyarakat luar Jawa dan Madura mengalami ketertinggalan yang sangat signifikan terutama masyarakat Indonesia bagian timur.
Dengan demikian, tingkat partisipasi masyarakat akan meningkat seiring dengan tingginya kualitas dan kuantitas pendidikan, yang kemudian melahirkan kematangan masyarakat dalam hak dan kewajiban politiknya.
Selain kedua faktor internal tersebut di atas, faktor eksternal juga memiliki andil yang kuat dalam proses pembentukan dan mempengaruhi budaya politik masyarakat. Media massa merupakan media yang paling tepat dan dapat diterima secara umum oleh sebagian besar masyarakat. Media massa yang dimaksud adalah baik media cetak (koran, majalah, tabloid dan lain-lain) maupun media elektronik (televisi, radio, komputer/internet dan lain-lain).
Diharapkan pada kenyataan kondisi lingkungan fisik dan lingkungan ekonomi, sosial, budaya masyarakat yang tidak memadai, media-media tersebut belum sepenuhnya menyentuh keseharian masyarakat pedesaan. Bahkan pada masyarakat desa terpelosok dan terpinggir, hampir tidak pernah mengenal dan berhadapan dengan media-media yang dimaksud. Akibatnya, media-media tersebut hanya menjadi konsumsi keseharian masyarakat perkotaan yang dengan segala kelebihannya telah mampu merubah pola pikir dan orientasi sikap dan tindakannya.
Masyarakat desa yang karena berbagai keterbatasan tersebut tidak mengalami perubahan apa-apa terhadap berbagai sikap dan tindakannya yang memungkinkan masyarakat pedesaan tetap berada pada tingkat keterbelakangan dan kemerosotan, terutama keterbelakangan dan kemerosotan budaya politik. Kenyataan ini tentu saja menjadi suatu kendala terbesar yang selalu dihadapi oleh pemrintah untuk menciptakan format ideologi dan sistem politik yang ideal guna memaksimalkan peran serta masyarakat terhadap berbagai sistem politik yang dijalankan.
Berbagai keterbelakangan tersebut setidaknya dapat diminimalkan jika pemerintah memiliki kepedualian yang serius terhadap nasib masyarakat desa. Terlebih di era kebebasan media massa dan ditunjang sistem demokrasi otonomi daerah yang sedang bergulir, semestinya kepedualian terhadap nasib masyarakat desa dapat diawali dan terus dikembangkan.
Bergulirnya era otonomi daerah sepantasnya menjadi kemenangan besar bagi masyarakat desa karena secara langsung masyarakat desa menentukan siapa yang layak memimpin di tingkat lokal, yang tentu saja memahami situasi dan kondisi masyarakat desa lebih dekat. Selain itu, keberadaan media massa lokal yang menjamur tidak membawa pengaruh yang berarti bagi masyarakat desa. Padahal, James W. Carey[3] mengungkapkan bahwa melalui komunikasi media massa, setiap individu memiliki peluang untuk menerima pesan yang berupa nilai-nilai, orientasi atau hal lain yang serupa, yang memungkinkan efek dari interaksi tersebut bertemu satu dan lainnya membentuk pola-pola khusus yang mendukung terciptanya integrasi sosial.
Jika peluang menerima pesan berupa nilai-nilai, orientasi dan lain-lainya tersebut sama bagi semua masyarakat, mengapa peluang tersebut tidak mampu menyentuh masyarakat desa karena sebenarnya desa merupakan sumber kehidupan bagi semua lapisan masyarakat, terutama masyarakat perkotaan. Artinya, kemakmuran dan kemajuan dalam berbagai segi yang dialami masyarakat desa membawa pengaruh yang besar bagi kemakmuran dan kemajuan masyarakat perkotaan karena sebagian besar sumber kebutuhan pokok masyarakat perkotaan berasal dari desa.
Efek ini memang tidak berlaku sebaliknya. Ketika masyarakat perkotaan menikmati fasilitas-fasilitas mewah dan taraf kehidupan yang mapan, masyarakat desa tidak mengalami perubahan apapun, apalagi kemakmuran dan kemajuan sebagai imbas dari kehidupan masyarakat kota.
Pada dasarnya, terdapat keuntungan ganda yang dapat diperoleh dari media massa. Charles R. Wright[4] membagi fungsi media menjadi empat bagian.
Pertama, sebagai fungsi pengawasan. Pengawasan yang dimaksud adalah media massa memberikan peringatan mengenai ancaman dan bahaya yang mengancam kesejahteraan dan keselamatan kehidupan manusia di dunia.
Kedua, fungsi interpretasi dan preskripsi dengan mencegah konsekuensi–konsekuensi yang tidak diharapkan dengan cara membangun komunikasi berita yang telah dikemukakan.
Ketiga, fungsi transmisi budaya dan sosialisasi. Media massa dapat mewariskan nilai-nilai atau norma-norma suatu masyarakat.
Keempat, fungsi penghibur. Fungsi penghibur media massa adalah dengan mengoptimalkan peran sebagai sarana untuk melepaskan diri dari perasaan tertekan, yang menimbulkan perasaan-perasaan tertentu seperti keceriaan dan percaya diri yang tinggi.
Selain beberapa manfaat yang dikemukakan oleh Wright tersebut di atas, Almond mengemukakan manfaat lain. Menurut Almond[5], media massa (surat kabar, radio, televisi, majalah dan lain-lain) memegang peranan penting untuk menularkan sikap-sikap dan nilai-nilai modern kepada bangsa-bangsa merdeka. Selain sebagai penyampai informasi tentang peristiwa politik, media massa juga menyampaikan secara langsung atau tidak nilai-nilai utama yang dianut oleh masyarakatnya. Karena itu, media massa yang terkendali merupakan sarana kuat dalam membentuk keyakinan-keyakinan politik.
Faktor eksternal kedua yang mempengaruhi serta membentuk budaya politik masyarakat adalah interaksi para elit politik dan pemerintahan dengan masyarakat desa. Tampaknya, faktor terakhir ini memiliki kelebihan tersendiri dibanding ketiga faktor lain yang telah dikemukakan di atas. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat desa mampu memberikan reaksi tersendiri secara langsung jika berhadapan dan bertatap muka secara langsung tanpa perantara.
Sikap demikian dilatarbelakangi oleh masih kentalnya kerjasama dan kepedulian yang tinggi antar sesama yang memungkinkan terjalinnya interaksi secara personal dengan para elit politik dan aparat pemerintah. Interaksi secara langsung melalui tatap muka sering diterapkan dalam kehidupan masyarakat desa, misalnya dalam bentuk diskusi menjaring pandangan serta menyampaikan berbagai informasi pembangunan desa. Interaksi secara langsung semacam ini sangat efektif dalam menyampaikan pesan-pesan politik dan pembangunan kepada masyarakat, karena biasanya masyarakat desa akan menunjukkan secara langsung reaksi tertentu terhadap tindakan yang dilakukan pemerintah dan para elit politik.
Dalam menyampaikan pesan politik kepada masyarakat, para elit politik dan aparat pemerintahan perlu melibatkan peran serta para tokoh masyarakat, karena para tokoh masyarakat inilah yang secara umum diterima di tengah-tengah masyarakat desa dan terlibat langsung dalam berbagai kegiatan dan agenda yang berlangsung dalam masyarakat desa.
Soemarno[6] menuliskan bahwa mekanisme komunikasi politik dalam masyarakat desa tidak dapat dipisahkan dari peran para birokrat (aparat desa) dan tokoh-tokoh masyarakat. Keduanya merupakan aktor-aktor penting sebagai komunikator politik, memainkan peran tertentu dan mampu menggerakkan proses komunikasi politik masyarakat desa. Aktor-aktor ini dianggap sebagai pendobrak terjalinnya komunikasi politik di masyarakat.
Menurut Doob, terdapat tiga kategori aktor-aktor politik tersebut, yakni politikus (politician), komunikator profesional (professional communicators), dan aktivis komunikator politik (activist of political communicators). Aktor-aktor tersebut perlu terlibat aktif dalam kesatuan kerjasama yang kompak untuk menyampaikan pesan-pesan dan pendidikan politik kepada masyarakat desa.
Penulis:
Zainudin, M.Si.
Zainudin, M.Si.
- Widyaiswara Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia
- Alumnus Magister Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Sumber Pustaka:
[1]Gabriel A. Almond dan Sidney Verba dalam Budaya Politik : Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Bina Aksara, 1984:383-384.
[2] Barid Hardiyanto dalam Pendidikan Rakyat Petani : Perjuangan Perlawanan Menuntut Hak Atas Tanah, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005:37.
[3] James W. Carey dalam Communication as Culture : Essay on Media and Society, 1989, Boston; Unwin Hyman, hal. 45 sebagaimana dikutip oleh Indra Gunawan dalam Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Budaya Politik Masyarakat di Desa Transmigrasi,tesis S2 Polokda UGM, 2005:13.
[4] Dalam Sosiologi Komunikasi, penyunting : Jalaludin Rakhmat, 1985, Bandung: Ramadja Karya, hal. 11-12.
[5] Sebagaimana dikutip Mohtar Mas’oed dan Collin Mac Andrews dalam Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1986, hal. 37-40.
[6] Dalam Dimensi-dimensi Komunikasi Politik, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1989, hal. 114.
Posting Komentar