SMS bodong menyulut kemarahan SBY. Sang pengirim ditantang tampil. Disebut sebagai pengecut yang tidak ksatria. Dan pastinya tidak ada yang mengacungkan telunjuk. Mengaku sebagai pengirimnya.
Kalau membaca SMS itu sudah kelihatan tipu-tipunya. Sebab sang pengirim yang mengaku M Nazaruddin itu seperti anak kecil yang marah pada temannya. Mau membongkar kejelekan orang-orang penting Partai Demokrat (PD). Memfitnah sang Ketua Dewan Pembina secara keji. Dan hampir semua orang paham, itu semua tidak betul.
Bagi rakyat, SMS ini tak beda dengan penipuan yang meminta pulsa. Pelacur yang dagang diri via SMS nyasar. Atau kabar baik yang menyakitkan, pemberitahuan dapat hadiah agar tergiur menyetor sejumlah dana untuk ditipu. Ini rutin. Hampir tiap bulan mampir ke HP kita. Dan itu semua memang amat menjengkelkan.
Sebagai rakyat, kita sudah terbiasa dengan SMS macam itu. Harapan yang hanya bisa diharap, kejadian itu ditindaklanjuti. Diberangus. Aparat keamanan mampu memberi kenyamanan. Melek teknologi. Dan dengan kemelekan itu keresahan itu bisa ditangani.
Rakyat sudah lama jengkel dan marah dengan tindak orang tak bertanggungjawab itu. Tapi mau bilang apa? Mau lapor ke siapa? Kita hanya bisa pasrah terhadap ulah itu. Toh belum ada yang mampu menelisik. Paling-paling sebagai tindakan preventif, saban mendapat kabar bahagia dapat undian, benar atau tidak benar anggap saja tidak benar.
Nah SMS yang biasa mengganggu kenyamanan rakyat itu kali ini menjadikan SBY sebagai obyeknya. Isi SMS itu mengadopsi kisruh suap dalam negeri dan kisruh politik di negeri tetangga. Itu memang amat menyakitkan. Yang membuat dan menyebarkan SMS itu juga amat barbar. Tidak hanya menyakiti SBY secara pribadi, tapi juga merendahkan bangsa ini. Sebab SBY adalah presiden RI.
Sebagai petinggi negeri yang jarang menerima SMS keji, SBY langsung bereaksi keras. Menyebut pengirimnya pengecut, tidak ksatria, tidak berani berhadapan, dan tentu saja semua cap yang dilontarkan SBY itu benar. Sebab jika tidak benar tentulah sang pelaku sudah meringkuk di penjara. Atau dalam penjara tetap usil, seperti kebanyakan bandar narkoba yang bisnisnya tetap jalan di luar atau dalam bui?
Ketika membaca kiriman SMS ngawur itu terus terang siapa saja ikut mengumpat dan mencaci pengirimnya, termasuk saya. Tapi saat melihat reaksi Bapak Presiden yang marah dan serius marah, kita tiba-tiba menjadi tertawa. Apalagi isi SMS yang nyata-nyata tidak benar itu juga dibantah pula.
Sebagai Presiden dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, kemarahan itu seperti instruksi. Bantahan demi bantahan mengalir. Kecaman demi kecaman menggelinding. Maka hari-hari ini entah sampai kapan, koor bantahan dan kecaman itu belum ketahuan akan berakhir. Memang, siapa saja yang menerima SMS fitnah seperti itu akan geram. Siapa saja juga tahu, pengirimnya pastilah negator. Tidak suka dengan Partai Demokrat atau 'salah satu faksi' di partai yang mulai tidak solid ini. Atau bisa pula pihak lain yang merasa dirugikan dengan kebijakan-kebijakan SBY.
Namun sebagai presiden dan Ketua Dewan Pembina partai politik, harusnya SBY tidak reaktif seperti itu. Ini tidak baik untuk SBY, dan tidak menguntungkan bagi Partai Demokrat. Sebab lawan jadi tahu letak kelemahan SBY plus partainya, dan itu sama dengan memberi senjata pada lawan maupun calon lawan-lawannya.
Politik memang kotor. Kekotoran itu ada yang tampil telanjang, kendati terbanyak ditutupi. Politikus sempurna itu mblebes. Tidak terbakar dibakar dan tidak basah disiram air. Jika SBY dan orang-orang Demokrat gampang basah dan terbakar, selalu memperruncing persoalan internal yang digunjingkan, maka eksistensi partai ini ke depan layak dipertanyakan.
Adakah itu pertanda Partai Demokrat belum dewasa secara politik? Atau ada yang salah dalam kaderisasi? Machiavelli bilang, politik itu merebut kekuasaan. Bukan untuk yang lain. Adakah SMS fitnah itu implementasi dari ini?
Kalau diindikasikan ya, maka rasanya kita perlu menyikapinya dengan cara sama, berpura-pura tidak terganggu dan tidak sewot karena memang sedang dikerjai orang-orang yang ingin merebut kekuasaan.
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya, tinggal di Jakarta.
Kalau membaca SMS itu sudah kelihatan tipu-tipunya. Sebab sang pengirim yang mengaku M Nazaruddin itu seperti anak kecil yang marah pada temannya. Mau membongkar kejelekan orang-orang penting Partai Demokrat (PD). Memfitnah sang Ketua Dewan Pembina secara keji. Dan hampir semua orang paham, itu semua tidak betul.
Bagi rakyat, SMS ini tak beda dengan penipuan yang meminta pulsa. Pelacur yang dagang diri via SMS nyasar. Atau kabar baik yang menyakitkan, pemberitahuan dapat hadiah agar tergiur menyetor sejumlah dana untuk ditipu. Ini rutin. Hampir tiap bulan mampir ke HP kita. Dan itu semua memang amat menjengkelkan.
Sebagai rakyat, kita sudah terbiasa dengan SMS macam itu. Harapan yang hanya bisa diharap, kejadian itu ditindaklanjuti. Diberangus. Aparat keamanan mampu memberi kenyamanan. Melek teknologi. Dan dengan kemelekan itu keresahan itu bisa ditangani.
Rakyat sudah lama jengkel dan marah dengan tindak orang tak bertanggungjawab itu. Tapi mau bilang apa? Mau lapor ke siapa? Kita hanya bisa pasrah terhadap ulah itu. Toh belum ada yang mampu menelisik. Paling-paling sebagai tindakan preventif, saban mendapat kabar bahagia dapat undian, benar atau tidak benar anggap saja tidak benar.
Nah SMS yang biasa mengganggu kenyamanan rakyat itu kali ini menjadikan SBY sebagai obyeknya. Isi SMS itu mengadopsi kisruh suap dalam negeri dan kisruh politik di negeri tetangga. Itu memang amat menyakitkan. Yang membuat dan menyebarkan SMS itu juga amat barbar. Tidak hanya menyakiti SBY secara pribadi, tapi juga merendahkan bangsa ini. Sebab SBY adalah presiden RI.
Sebagai petinggi negeri yang jarang menerima SMS keji, SBY langsung bereaksi keras. Menyebut pengirimnya pengecut, tidak ksatria, tidak berani berhadapan, dan tentu saja semua cap yang dilontarkan SBY itu benar. Sebab jika tidak benar tentulah sang pelaku sudah meringkuk di penjara. Atau dalam penjara tetap usil, seperti kebanyakan bandar narkoba yang bisnisnya tetap jalan di luar atau dalam bui?
Ketika membaca kiriman SMS ngawur itu terus terang siapa saja ikut mengumpat dan mencaci pengirimnya, termasuk saya. Tapi saat melihat reaksi Bapak Presiden yang marah dan serius marah, kita tiba-tiba menjadi tertawa. Apalagi isi SMS yang nyata-nyata tidak benar itu juga dibantah pula.
Sebagai Presiden dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, kemarahan itu seperti instruksi. Bantahan demi bantahan mengalir. Kecaman demi kecaman menggelinding. Maka hari-hari ini entah sampai kapan, koor bantahan dan kecaman itu belum ketahuan akan berakhir. Memang, siapa saja yang menerima SMS fitnah seperti itu akan geram. Siapa saja juga tahu, pengirimnya pastilah negator. Tidak suka dengan Partai Demokrat atau 'salah satu faksi' di partai yang mulai tidak solid ini. Atau bisa pula pihak lain yang merasa dirugikan dengan kebijakan-kebijakan SBY.
Namun sebagai presiden dan Ketua Dewan Pembina partai politik, harusnya SBY tidak reaktif seperti itu. Ini tidak baik untuk SBY, dan tidak menguntungkan bagi Partai Demokrat. Sebab lawan jadi tahu letak kelemahan SBY plus partainya, dan itu sama dengan memberi senjata pada lawan maupun calon lawan-lawannya.
Politik memang kotor. Kekotoran itu ada yang tampil telanjang, kendati terbanyak ditutupi. Politikus sempurna itu mblebes. Tidak terbakar dibakar dan tidak basah disiram air. Jika SBY dan orang-orang Demokrat gampang basah dan terbakar, selalu memperruncing persoalan internal yang digunjingkan, maka eksistensi partai ini ke depan layak dipertanyakan.
Adakah itu pertanda Partai Demokrat belum dewasa secara politik? Atau ada yang salah dalam kaderisasi? Machiavelli bilang, politik itu merebut kekuasaan. Bukan untuk yang lain. Adakah SMS fitnah itu implementasi dari ini?
Kalau diindikasikan ya, maka rasanya kita perlu menyikapinya dengan cara sama, berpura-pura tidak terganggu dan tidak sewot karena memang sedang dikerjai orang-orang yang ingin merebut kekuasaan.
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya, tinggal di Jakarta.
Posting Komentar