Mula-mula
Kerajaan Bima telah menjadi legenda sejak Sang Jin Jan Wa Manjan sampai ke masa menjelang kedatangan Sang Bima yang melakukan pemahatan situs Wadu Pa’a banyak mempunyai keunikan secara langsung mempengaruhi keberadaan tanah Bima dan masyarakat Mbojo yang penuh ramah tamah dan keuletan yang bibarengi dengan prinsip hidup yang keras dan berpandangan luas serta bertatakrama yang tinggi. Masa sebelum ada penguasa di tanah Bima, yang walaupun berkelompok adanya, Tanah Bima merupakan suatu wilayah yang menjadi tempat terdamparnya suku pencari wilayah penyebaran yang berasal dari dataran Asia Tenggara yakni suku Dongsong dari Yunan (Vietnam).
Mereka semula mendarat di pesisir utara Pulau Sumbawa (Bima) di desa yang sekarang namanya Sapunggu (Sam Mpung Ngun) menyebar ke Utara, Barat, Timur dan Selatan Negeri. Mereka hidup berkelompok dan membetuk marga sendiri-sendiri yang merupakan kelompok awal penduduk Bima.
Setelah lama mereka hidup berkelompok dalam naungan pemerintahan versi dan adat masa itu, sampailah pada pencarian cara berpemerintahan yang baik dan berdirinya Kerajaan Bima yang diperkirakan terjadi tidak berapa lama setelah Situs Wadu Pa’a. Diperkirakan terjadi + 750 M.
Asal Mula Kerajaan Bima
Raja Pertama Kerajaan Bima adalah Indra Zamrud yang seterusnya sebagaimana Silsilah “BO” Nuntu Mantoi sehingga sampai kepada masa Raja (Sangaji) Ma Wa’a Paju Longge yang mempunyai hubungan luas dengan kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah Nusantara, seperti Banten, Aceh, Kutai, Makassar (Tallo), Gowa, Bugis, Ternate dan Jailolo serta masih banyak lagi yang lainnya, terutama dalam status dan keberadaannya sebagai tempat persinggahan dan pengambilan barang dagangan perahu-perahu niaga.
Raja ini banyak mengirim keluar saudara-saudaranya untuk belajar dan mencari ilmu termasuk di antaranya adik-adiknya yang bernama Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo yang dikirim ke kerajaan Gowa dan Tallo. Sekembalinya ke Bima, mereka membawa banyak perubahan dan kemajuan untuk tanah dan masyarakat Bima. Seperti dalam hal tata pemerintahan dan pengetahuan dalam bidang pertanian dan kemasyarakatan serta pertukangan dan sebagainya.
Setelah dilantiknya Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja dan Manggampo Donggo sebagai Perdana Menteri, memang ada sedikit kelemahan karena karir keduanya tidak sesuai dengan kedudukan dan jabatannya sehingga terjadi saling pertukaran jabatan antara keduanya dengan penuh permusyawaratan dan permufakatan. Manggampo Donggo diserahkan tugas sebagai Raja oleh kakaknya Ma Wa’a Bilmana dan sebaliknya Ma Wa’a Bilmana menjadi pengatur dan pelaksanaan pemerintahan sebagai Mangku Bumi/Turelli Nggampo (Perdana Menteri).
Puncak Kejayaan
Pemerintahan berjalan lancar dan kerajaan Bima semakin tersohor dengan dibantu oleh putera-putera mereka yang bernama Ma Wa’a Ndapa dan Ma Wa’a Pili Tuta, Ruma Me’e (Putera Manggampo Donggo) serta La Mbila I yang terkenal dengan gelar Ruma Makapiri Solor dan Rato Ara sebagai ahli agama (Putera Ma Wa’a Bilmana). Namun ketenaran kerajaan ini tidaklah begitu mulus jalannya untuk kerajaan Bima, karena setelah berakhirnya Pemerintahan Sangaji Ma Wa’a Ndapa, terjadi suatu perebutan kekuasaan antara putera-puteranya.
Masa Kemunduran (Peralihan)
Puteranya bernama Salisi Mantau Asi Peka berkhianat dan membunuh saudara-saudaranya karena ingin merebut puncak pemerintahan. Salisi yang merupakan anak gundik dari Sangaji Ma Wa’a Ndapa menurut keturunan garis lurus sebagaimana bunyi sumpah yang telah diikrarkan oleh nenek-nenek (kakek-kakek)-nya dengan sumpah Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo sewaktu pengalihan wewenang dan kekuasaan, selama masih ada saudara-saudaranya yang berdasarkan keturunan garis lurus sebagai Pewaris kerajaan, tidak berhak menjadi raja dan ini sudah merupakan tata hadat tanah Bima yang wajib ditaati dan dilaksanaka. Saudara-saudaranya bernama Samara, Sarise dan La Sawo dibunuh dan diracun oleh Salisi, serta kaki tangannya. Yang lebih sadis lagi, Jena Teke (Raja Muda) putera dari raja Samara dibakar di Wera, yang terkenal dengan adanya Jena Teke yang dibakar di Mpori Wera.
Meski demikian, Salisi masih belum aman karena disamping hadat tanah Bima tidak merestui dan para Nuchi yang masih ada dan besar pengaruhnya pada masyarakat dan rakyat Bima, yang merupakan masalah dan ganjalan yang besar masih adanya Pewaris Kerajaan Putera dari La Sawo yang bernama La Kai yang didukung oleh putera-putera La Mbila yang bernama Ama Lima Ma Dai yang menjadi Tureli Nggampo saat itu dan Rato Waro Bewi yang menjadi Rato Renda, yang secara gigih mempertahankan keberadaannya sebagai Pewaris kerajaan dan Pemerintahan yang syah.
Pewaris-pewaris kerajaan ini berusaha melarikan diri menyingkir ke pedalaman Teke dan selanjutnya ke Kalodu di mana rakyatnya masih patut dan taat pada pemerintahan yang syah. Mereka bermukim di sana sampai datangnya “Fajar Islam” yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari tanah Makassar, Gowa, Luwu dan Tallo di Sape. Setelah mereka menerima Islam di Sape dan dengan adanya sumpah di Dam Parapi yang juga merupakan Sumpah Darah Daging untuk tetap bersatu dan saling membantu sehidup semati dalam perjuangan membela kebenaran dan keadilan sampai saatnya pengangkara murka Salisi dapat dihancurkan.
Menuju Sistem Pemerintahan Baru Kesultanan
Setelah berjuang dan banyak membawa korban suhadah dan dengan bantuan Kerajaan Makasar, Gowa, Tallo, dan sebagainya, Salisi dapat dihancurkan dengan kekuasaan kembali pada pewarisnya yang segera berubah menjadi sistem pemerintahan yang bernafaskan Islam, yakni tata dan sistem pemerintahan Kesultanan. Mulailah Bima menjadi Kerajaan Islam yang dengan persetujuan Hadat Tanah Bima serta dengan dukungan segenap rakyat dan masyarakat Bima melantik dan menobatkan La Kai (Jena Teka) yang setelah masuk Islam bernama Abdul Kahir menjadi Sultan pertama Tanah Bima dengan gelar Rumata Ma Bata Wadu, yang dibantu oleh Tureli Nggampo La Mbila (Jalaludin) dan perangkat lainnya. Munculnya pemerintahan yang penuh dengan sinar Islam yang juga tidak melupakan tata adat leluhurnya terdahulu.
Falsafat "Maja Labo Dahu"
Naka, Ncuhi, Raja dan Sultan selalu berpedoman pada falsafah “MAJA LABO DAHU” (malu dan takut) yang mengandung pengertian bahwa “mereka akan takut dan malu pada dirinya sendiri, kepada masyarakat, terutama pada Tuhan apabila melaksanakan kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan asas musyawarah dan karawi kaboju yang dijiwai oleh ajaran agama dan adat Islam”.
Maja Labo Dahu merupakan falsafah kehidupan yang mengandung nilai-nilai luhur yang dijadikan pedoman oleh Pemerintah dan seluruh masyarakat.
Nilai-nilai luhur yang bersumber dari Maja Labo Dahu ialah : (1) Tohompara nahu sura dou labo danana; (2) Edera Nahu sura dou Marimpa; (3) Renta ba rera, kapoda ba ade karawi ba weki; (4) Nggahi Rawi Pahu.
Keempat nilai luhur dari Maja Labo Dahu tersebut di atas pada hakekatnya merupakan perpaduan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Sangaji dan rakyat harus melaksanakan falsafah secara utuh dan konsekuen.
“Toha Mpara nahu sura labo dana” yang berarti “biarkan aku menderita asalkan demi rakyat dan negara”. Falsafah tersebut mampu mengobarkan semangat pengabdian rakyat terhadap Kesultanan Bima sampai pada pelaksana pemerintah.
Penerapan falsafah berikut, yakni “Edera nahu sura dou marimpa”, yang berarti “saya (Sultan) tidak penting (bukan yang utama), yang utama dan penting adalah masyarakat secara keseluruhan”. Falsafah ini pada hakekatnya mewajibkan sultan untuk memperhatikan kepentingan rakyat banyak tanpa mempedulikan kepentingan pribadi atau golongannya. Dalam menjalankan tugas sehari-hari para Raja, Sultan dan seluruh masyarakat harus berpedoman pada nilai-nilai luhur “Nggahi Rawi Pahu” yang mengandung pengertian bahwa apa yang telah diikrarkan harus dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Mereka secara konsekuen melakukan tugas, agar mampu mewujudkan tujuan yang telah disepakati. Bila gagal berarti ada di antara mereka yang melanggar nilai falsafah “Renta ba rera kapoda ba ade karawi ba weki” yang berarti “yang telah diikrarkan oleh lidah yang bersumber dari hati nurani, harus mampu dikerjakan dan dilaksanakan oleh raga dan jasmani”.
Akhiran
Jika kita cermati secara seksama, ternyata falsafah Pancasila belum ada apa-apanya dibanding pengabdian dan penerapan falsafah Maja Labo Dahu tersebut di masa silam, bahkan kelahiran falsafah Maja Labo Dahu tersebut lebih dulu dan jauh melampaui dibanding masa kelahiran falsafah Pancasila yang kita kenal sekarang ini. Falsafah tersebut telah mengejewantah dan telah menjadi nilai-nilai luhur yang menjadi dasar pemerintahan pada masa lalu, yang wajib diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan nyata masyarakat Bima hingga saat ini. Kesuksesan dan kejayaan yang berhasil dirangkul Kesultanan Bima di masa lalu merupakan buah nyata penerapan falsafah tersebut, terutama dalam mengimbangi, menyaingi, dan mengungguli kerajaan-kerajaan lain di seluruh negeri. Berkat penerapan falsafah tersebut pula, kompeni Belanda berhasil diusir dari tanah Bima untuk selamanya.
Semoga, falsafah tersebut masih membara, membakar semangat juang rakyat Bima kapan dan di mana pun berada, untuk menggapai kejayaan dan kegemilangan masyarakat dan tanah Bima hari ini dan ke depan, serta kejayaan dan kegemilangan bangsa Indonesia tercinta. Amin!!
Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri
Artikel ini juga dimuat dibeberapa media online di antaranya : http://www.melayu.com, http://www.sumbawanews.com, http://www.nusatenggaranews.com
Kerajaan Bima telah menjadi legenda sejak Sang Jin Jan Wa Manjan sampai ke masa menjelang kedatangan Sang Bima yang melakukan pemahatan situs Wadu Pa’a banyak mempunyai keunikan secara langsung mempengaruhi keberadaan tanah Bima dan masyarakat Mbojo yang penuh ramah tamah dan keuletan yang bibarengi dengan prinsip hidup yang keras dan berpandangan luas serta bertatakrama yang tinggi. Masa sebelum ada penguasa di tanah Bima, yang walaupun berkelompok adanya, Tanah Bima merupakan suatu wilayah yang menjadi tempat terdamparnya suku pencari wilayah penyebaran yang berasal dari dataran Asia Tenggara yakni suku Dongsong dari Yunan (Vietnam).
Mereka semula mendarat di pesisir utara Pulau Sumbawa (Bima) di desa yang sekarang namanya Sapunggu (Sam Mpung Ngun) menyebar ke Utara, Barat, Timur dan Selatan Negeri. Mereka hidup berkelompok dan membetuk marga sendiri-sendiri yang merupakan kelompok awal penduduk Bima.
Setelah lama mereka hidup berkelompok dalam naungan pemerintahan versi dan adat masa itu, sampailah pada pencarian cara berpemerintahan yang baik dan berdirinya Kerajaan Bima yang diperkirakan terjadi tidak berapa lama setelah Situs Wadu Pa’a. Diperkirakan terjadi + 750 M.
Asal Mula Kerajaan Bima
Raja Pertama Kerajaan Bima adalah Indra Zamrud yang seterusnya sebagaimana Silsilah “BO” Nuntu Mantoi sehingga sampai kepada masa Raja (Sangaji) Ma Wa’a Paju Longge yang mempunyai hubungan luas dengan kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah Nusantara, seperti Banten, Aceh, Kutai, Makassar (Tallo), Gowa, Bugis, Ternate dan Jailolo serta masih banyak lagi yang lainnya, terutama dalam status dan keberadaannya sebagai tempat persinggahan dan pengambilan barang dagangan perahu-perahu niaga.
Raja ini banyak mengirim keluar saudara-saudaranya untuk belajar dan mencari ilmu termasuk di antaranya adik-adiknya yang bernama Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo yang dikirim ke kerajaan Gowa dan Tallo. Sekembalinya ke Bima, mereka membawa banyak perubahan dan kemajuan untuk tanah dan masyarakat Bima. Seperti dalam hal tata pemerintahan dan pengetahuan dalam bidang pertanian dan kemasyarakatan serta pertukangan dan sebagainya.
Setelah dilantiknya Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja dan Manggampo Donggo sebagai Perdana Menteri, memang ada sedikit kelemahan karena karir keduanya tidak sesuai dengan kedudukan dan jabatannya sehingga terjadi saling pertukaran jabatan antara keduanya dengan penuh permusyawaratan dan permufakatan. Manggampo Donggo diserahkan tugas sebagai Raja oleh kakaknya Ma Wa’a Bilmana dan sebaliknya Ma Wa’a Bilmana menjadi pengatur dan pelaksanaan pemerintahan sebagai Mangku Bumi/Turelli Nggampo (Perdana Menteri).
Puncak Kejayaan
Pemerintahan berjalan lancar dan kerajaan Bima semakin tersohor dengan dibantu oleh putera-putera mereka yang bernama Ma Wa’a Ndapa dan Ma Wa’a Pili Tuta, Ruma Me’e (Putera Manggampo Donggo) serta La Mbila I yang terkenal dengan gelar Ruma Makapiri Solor dan Rato Ara sebagai ahli agama (Putera Ma Wa’a Bilmana). Namun ketenaran kerajaan ini tidaklah begitu mulus jalannya untuk kerajaan Bima, karena setelah berakhirnya Pemerintahan Sangaji Ma Wa’a Ndapa, terjadi suatu perebutan kekuasaan antara putera-puteranya.
Masa Kemunduran (Peralihan)
Puteranya bernama Salisi Mantau Asi Peka berkhianat dan membunuh saudara-saudaranya karena ingin merebut puncak pemerintahan. Salisi yang merupakan anak gundik dari Sangaji Ma Wa’a Ndapa menurut keturunan garis lurus sebagaimana bunyi sumpah yang telah diikrarkan oleh nenek-nenek (kakek-kakek)-nya dengan sumpah Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo sewaktu pengalihan wewenang dan kekuasaan, selama masih ada saudara-saudaranya yang berdasarkan keturunan garis lurus sebagai Pewaris kerajaan, tidak berhak menjadi raja dan ini sudah merupakan tata hadat tanah Bima yang wajib ditaati dan dilaksanaka. Saudara-saudaranya bernama Samara, Sarise dan La Sawo dibunuh dan diracun oleh Salisi, serta kaki tangannya. Yang lebih sadis lagi, Jena Teke (Raja Muda) putera dari raja Samara dibakar di Wera, yang terkenal dengan adanya Jena Teke yang dibakar di Mpori Wera.
Meski demikian, Salisi masih belum aman karena disamping hadat tanah Bima tidak merestui dan para Nuchi yang masih ada dan besar pengaruhnya pada masyarakat dan rakyat Bima, yang merupakan masalah dan ganjalan yang besar masih adanya Pewaris Kerajaan Putera dari La Sawo yang bernama La Kai yang didukung oleh putera-putera La Mbila yang bernama Ama Lima Ma Dai yang menjadi Tureli Nggampo saat itu dan Rato Waro Bewi yang menjadi Rato Renda, yang secara gigih mempertahankan keberadaannya sebagai Pewaris kerajaan dan Pemerintahan yang syah.
Pewaris-pewaris kerajaan ini berusaha melarikan diri menyingkir ke pedalaman Teke dan selanjutnya ke Kalodu di mana rakyatnya masih patut dan taat pada pemerintahan yang syah. Mereka bermukim di sana sampai datangnya “Fajar Islam” yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari tanah Makassar, Gowa, Luwu dan Tallo di Sape. Setelah mereka menerima Islam di Sape dan dengan adanya sumpah di Dam Parapi yang juga merupakan Sumpah Darah Daging untuk tetap bersatu dan saling membantu sehidup semati dalam perjuangan membela kebenaran dan keadilan sampai saatnya pengangkara murka Salisi dapat dihancurkan.
Menuju Sistem Pemerintahan Baru Kesultanan
Setelah berjuang dan banyak membawa korban suhadah dan dengan bantuan Kerajaan Makasar, Gowa, Tallo, dan sebagainya, Salisi dapat dihancurkan dengan kekuasaan kembali pada pewarisnya yang segera berubah menjadi sistem pemerintahan yang bernafaskan Islam, yakni tata dan sistem pemerintahan Kesultanan. Mulailah Bima menjadi Kerajaan Islam yang dengan persetujuan Hadat Tanah Bima serta dengan dukungan segenap rakyat dan masyarakat Bima melantik dan menobatkan La Kai (Jena Teka) yang setelah masuk Islam bernama Abdul Kahir menjadi Sultan pertama Tanah Bima dengan gelar Rumata Ma Bata Wadu, yang dibantu oleh Tureli Nggampo La Mbila (Jalaludin) dan perangkat lainnya. Munculnya pemerintahan yang penuh dengan sinar Islam yang juga tidak melupakan tata adat leluhurnya terdahulu.
Falsafat "Maja Labo Dahu"
Naka, Ncuhi, Raja dan Sultan selalu berpedoman pada falsafah “MAJA LABO DAHU” (malu dan takut) yang mengandung pengertian bahwa “mereka akan takut dan malu pada dirinya sendiri, kepada masyarakat, terutama pada Tuhan apabila melaksanakan kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan asas musyawarah dan karawi kaboju yang dijiwai oleh ajaran agama dan adat Islam”.
Maja Labo Dahu merupakan falsafah kehidupan yang mengandung nilai-nilai luhur yang dijadikan pedoman oleh Pemerintah dan seluruh masyarakat.
Nilai-nilai luhur yang bersumber dari Maja Labo Dahu ialah : (1) Tohompara nahu sura dou labo danana; (2) Edera Nahu sura dou Marimpa; (3) Renta ba rera, kapoda ba ade karawi ba weki; (4) Nggahi Rawi Pahu.
Keempat nilai luhur dari Maja Labo Dahu tersebut di atas pada hakekatnya merupakan perpaduan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Sangaji dan rakyat harus melaksanakan falsafah secara utuh dan konsekuen.
“Toha Mpara nahu sura labo dana” yang berarti “biarkan aku menderita asalkan demi rakyat dan negara”. Falsafah tersebut mampu mengobarkan semangat pengabdian rakyat terhadap Kesultanan Bima sampai pada pelaksana pemerintah.
Penerapan falsafah berikut, yakni “Edera nahu sura dou marimpa”, yang berarti “saya (Sultan) tidak penting (bukan yang utama), yang utama dan penting adalah masyarakat secara keseluruhan”. Falsafah ini pada hakekatnya mewajibkan sultan untuk memperhatikan kepentingan rakyat banyak tanpa mempedulikan kepentingan pribadi atau golongannya. Dalam menjalankan tugas sehari-hari para Raja, Sultan dan seluruh masyarakat harus berpedoman pada nilai-nilai luhur “Nggahi Rawi Pahu” yang mengandung pengertian bahwa apa yang telah diikrarkan harus dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Mereka secara konsekuen melakukan tugas, agar mampu mewujudkan tujuan yang telah disepakati. Bila gagal berarti ada di antara mereka yang melanggar nilai falsafah “Renta ba rera kapoda ba ade karawi ba weki” yang berarti “yang telah diikrarkan oleh lidah yang bersumber dari hati nurani, harus mampu dikerjakan dan dilaksanakan oleh raga dan jasmani”.
Akhiran
Jika kita cermati secara seksama, ternyata falsafah Pancasila belum ada apa-apanya dibanding pengabdian dan penerapan falsafah Maja Labo Dahu tersebut di masa silam, bahkan kelahiran falsafah Maja Labo Dahu tersebut lebih dulu dan jauh melampaui dibanding masa kelahiran falsafah Pancasila yang kita kenal sekarang ini. Falsafah tersebut telah mengejewantah dan telah menjadi nilai-nilai luhur yang menjadi dasar pemerintahan pada masa lalu, yang wajib diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan nyata masyarakat Bima hingga saat ini. Kesuksesan dan kejayaan yang berhasil dirangkul Kesultanan Bima di masa lalu merupakan buah nyata penerapan falsafah tersebut, terutama dalam mengimbangi, menyaingi, dan mengungguli kerajaan-kerajaan lain di seluruh negeri. Berkat penerapan falsafah tersebut pula, kompeni Belanda berhasil diusir dari tanah Bima untuk selamanya.
Semoga, falsafah tersebut masih membara, membakar semangat juang rakyat Bima kapan dan di mana pun berada, untuk menggapai kejayaan dan kegemilangan masyarakat dan tanah Bima hari ini dan ke depan, serta kejayaan dan kegemilangan bangsa Indonesia tercinta. Amin!!
Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri
Artikel ini juga dimuat dibeberapa media online di antaranya : http://www.melayu.com, http://www.sumbawanews.com, http://www.nusatenggaranews.com
Posting Komentar