Satu reaksi yang umum dilakukan oleh setiap orang ketika melihat adanya ketidakberesan dalam segala proses penyelenggaraan pemerintahan, baik pusat dan daerah, adalah mereka cenderung menyalahkan para pelaku korupsi dan segala bentuk penyelewengannya. Padahal, ada hal lain yang lebih penting dan sangat mendesak untuk dilakukan, yakni menciptakan masyarakat yang terdidik dan mampu mendidik, sebagaimana juga telah penulis sampaikan dalam artikel "Kaum Tani Yang Tertindas".
Penulis yakin, persoalan mendasar bangsa ini secara umum adalah minimnya tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat, yang memungkinkan masyarakat memiliki cara pandang dan pemahaman tersendiri ketika menghadapi berbagai kenyataan hidup yang terbentang di hadapan mereka. Siapa pun akan setuju, bahwa munculnya suatu permasalahan adalah ketika terjadi ketidaksesuaian antara kemauan dan kenyataan. Jika demikian halnya, mengapa kebanyakan orang menutup mata pada solusi pencarian ketidaksesuaian antara yang diharapkan dengan apa yang terjadi tersebut.
Dalam hal ini, ketika melihat munculnya berbagai masalah dalam hal penyelenggaraan pemerintahan di daerah, seperti halnya korupsi, adalah sangat jelas letak persoalannya ada pada masyarakat. Logikanya sangatlah sederhana : bahwa masyarakat merupakan kumpulan manusia yang pada dasarnya memiliki tujuan masing-masing dalam mencapai tujuan hidup, bukan merupakan kumpulan orang yang memiliki satu tujuan atas dasar kebersamaan sebagaimana yang umum dipahami selama ini.
Jika demikian halnya, maka jelaslah bahwa jalan untuk menciptakan masyarakat dalam arti yang sebenarnya adalah mendidik dan melatih mereka untuk mampu menguasai ilmu dan pengetahuan serta keterampilan yang mapan, karena dengan ilmu dan pengetahuan, setiap kepala yang pada dasarnya memiliki dasar pemahaman yang beragam akan kenyataan hidup, akan mampu dipadukan melalui satu pemahaman dan pengertian yang sama. Buktinya sangat jelas, bahwa (sebagai contoh) setiap orang akan setuju bahwa 1 + 1 = 2. Jalan untuk mencapai hasil 2 (dua) tersebut hanya bisa didapatkan melalui "pendidikan".
Masyarakat juga merupakan kumpulan dari keluarga (Ayah, ibu dan anak)dan karena itu, ketika terciptanya masyarakat yang terdidik, maka akan dengan sendirinya tercipta masyarakat (dalam pengertian sempit : keluarga) yang mampu mendidik. Siapa pun setuju, bahwa proses terjadinya tranfer ilmu, pengetahuan, etika dan norma pertama kali terjadi dalam lingkungan keluarga.
Dengan demikian, akan tercipta masyarakat yang mampu dan jeli terhadap apa yang benar dan mana yang salah. So, ketika terjadi berbagai penyelewengan dalam proses penyelenggaraan Pemerintah daerah, apakah pantas sepenuhnya kesalahan difoniskan pada para pelaku? Bukankah sikap KKN yang terjadi selama ini merupakan rangkaian panjang dalam proses perjalanan ketidakberesan pendidikan di negara tercinta ini.
Atau bisa juga merupakan akibat dari ketidakseriusan para orang tua dan "Yang Dituakan", yang tidak becus dan sama sekali tidak peduli pada pendidikan para anak bangsa, yang kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin yang Korup dan Sewenang-wenang. Jika demikian, masih sudikah para penguasa di pusat dan di daerah membiarkan para anak bangsa tersebut hanya duduk menunggu nasib di bilik kamarnya, tanpa diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih mapan, hanya karena keterbatasan dan ketidakmampuan dalam membayar biaya pendidikan yang semakin melangit?
Masih tega-kah para penguasa di tingkat lokal maupun pusat berlomba-lomba mempertebal kantong sendiri, di atas jerit tangis anak bangsa yang kelaparan dan kurang gizi? Atau masih setiakah para "kroni-kroni penguasa" berlenggak-lenggok di atas nyanyian pilu para petani miskin, para pedagang kecil dan para pengemis jalanan yang semakin memenuhi ruang-ruang jalan dan lorong-lorong gang sempit?
Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri
Artikel ini juga dimuat dibeberapa media online di antaranya : http://www.melayu.com, http://www.sumbawanews.com, http://www.nusatenggaranews.com
Penulis yakin, persoalan mendasar bangsa ini secara umum adalah minimnya tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat, yang memungkinkan masyarakat memiliki cara pandang dan pemahaman tersendiri ketika menghadapi berbagai kenyataan hidup yang terbentang di hadapan mereka. Siapa pun akan setuju, bahwa munculnya suatu permasalahan adalah ketika terjadi ketidaksesuaian antara kemauan dan kenyataan. Jika demikian halnya, mengapa kebanyakan orang menutup mata pada solusi pencarian ketidaksesuaian antara yang diharapkan dengan apa yang terjadi tersebut.
Dalam hal ini, ketika melihat munculnya berbagai masalah dalam hal penyelenggaraan pemerintahan di daerah, seperti halnya korupsi, adalah sangat jelas letak persoalannya ada pada masyarakat. Logikanya sangatlah sederhana : bahwa masyarakat merupakan kumpulan manusia yang pada dasarnya memiliki tujuan masing-masing dalam mencapai tujuan hidup, bukan merupakan kumpulan orang yang memiliki satu tujuan atas dasar kebersamaan sebagaimana yang umum dipahami selama ini.
Jika demikian halnya, maka jelaslah bahwa jalan untuk menciptakan masyarakat dalam arti yang sebenarnya adalah mendidik dan melatih mereka untuk mampu menguasai ilmu dan pengetahuan serta keterampilan yang mapan, karena dengan ilmu dan pengetahuan, setiap kepala yang pada dasarnya memiliki dasar pemahaman yang beragam akan kenyataan hidup, akan mampu dipadukan melalui satu pemahaman dan pengertian yang sama. Buktinya sangat jelas, bahwa (sebagai contoh) setiap orang akan setuju bahwa 1 + 1 = 2. Jalan untuk mencapai hasil 2 (dua) tersebut hanya bisa didapatkan melalui "pendidikan".
Masyarakat juga merupakan kumpulan dari keluarga (Ayah, ibu dan anak)dan karena itu, ketika terciptanya masyarakat yang terdidik, maka akan dengan sendirinya tercipta masyarakat (dalam pengertian sempit : keluarga) yang mampu mendidik. Siapa pun setuju, bahwa proses terjadinya tranfer ilmu, pengetahuan, etika dan norma pertama kali terjadi dalam lingkungan keluarga.
Dengan demikian, akan tercipta masyarakat yang mampu dan jeli terhadap apa yang benar dan mana yang salah. So, ketika terjadi berbagai penyelewengan dalam proses penyelenggaraan Pemerintah daerah, apakah pantas sepenuhnya kesalahan difoniskan pada para pelaku? Bukankah sikap KKN yang terjadi selama ini merupakan rangkaian panjang dalam proses perjalanan ketidakberesan pendidikan di negara tercinta ini.
Atau bisa juga merupakan akibat dari ketidakseriusan para orang tua dan "Yang Dituakan", yang tidak becus dan sama sekali tidak peduli pada pendidikan para anak bangsa, yang kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin yang Korup dan Sewenang-wenang. Jika demikian, masih sudikah para penguasa di pusat dan di daerah membiarkan para anak bangsa tersebut hanya duduk menunggu nasib di bilik kamarnya, tanpa diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih mapan, hanya karena keterbatasan dan ketidakmampuan dalam membayar biaya pendidikan yang semakin melangit?
Masih tega-kah para penguasa di tingkat lokal maupun pusat berlomba-lomba mempertebal kantong sendiri, di atas jerit tangis anak bangsa yang kelaparan dan kurang gizi? Atau masih setiakah para "kroni-kroni penguasa" berlenggak-lenggok di atas nyanyian pilu para petani miskin, para pedagang kecil dan para pengemis jalanan yang semakin memenuhi ruang-ruang jalan dan lorong-lorong gang sempit?
Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri
Artikel ini juga dimuat dibeberapa media online di antaranya : http://www.melayu.com, http://www.sumbawanews.com, http://www.nusatenggaranews.com
Posting Komentar