Daya Saing Indonesia di Era ACFTA
Pemberlakuan Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) Tahun 2010 ini mengandung makna yaitu terciptanya pasar bersama bagi negara-negara Asia Tenggara dan China, termasuk di dalamnya Indonesia. Tentunya keterbukaan pasar ACFTA akan mendorong setiap negara anggota untuk memanfaatkan peluang pasar yaitu melalui peningkatkan daya saing.
Posisi daya saing Indonesia berdasarkan survey World Economic Forum tahun 2008 menduduki peringkat 55 dari 131 negara, menurun dari tahun 2007 yang menduduki peringkat 54 dari 122 negara. Parameternya terkait dengan masalah hukum, masalah kelembagaan (kekuasaan kehakiman yang merdeka, perlindungan hak atas kekayaan intelektual, efisiensi kerangka hukum, biaya bisnis akibat terorisme, tingkat kejahatan dan kekerasan, kejahatan terorganisir dan tingkat kepercayaan terhadap pelayanan polisi, kesiapan teknologi berupa hukum yang mengatur teknologi informasi dan komunikasi).
Sementara berdasarkan hasil studi International Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia (World Bank) tahun 2006 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-115 dari 155 negara yang memiliki kemudahan berbisnis. Ini adalah peringkat global dan Indonesia masih menempati urutan bawah. Survey mencakup tujuh paket indikator iklim bisnis, yaitu memulai bisnis, mempekerjakan dan menghentikan pegawai, menetapkan kontrak kerja, mendaftarkan properti, memperoleh kredit, melindungi investor, dan menutup usaha.
Selanjutnya berdasarkan Laporan Doing Business pada tahun 2006 memperluas dengan penambahan tiga indikator baru, yaitu membayar pajak, lisensi usaha, dan perdagangan antarbatas negara. Indikator lain yang melemahkan posisi Indonesia adalah jumlah hari dan prosedur untuk menetapkan kontrak yang cukup lama, yaitu 570 hari dan 34 prosedur. Sementara itu, Malaysia hanya butuh 300 hari dengan 31 prosedur dan Singapura hanya 69 hari dengan 23 prosedur.
Dari laporan hasil survey di atas jelas menunjukkan bahwa posisi daya saing Indonesia masih cukup rendah di bandingkan dengan anggota ACFTA lainnya. Keadaan ini hendaknya menjadi bahan introspeksi bagi seluruh aparatur pemerintah terutama pemimpinnya baik di pusat maupun di daerah. Untuk memperbaiki daya saing nasional di Era ACFTA, maka pemimpin aparatur pemerintah dituntut untuk secepatnya menciptakan pemerintahan yang bersih (clean governance) menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Untuk mewujudkan hal tersebut maka diperlukan political will pemerintah untuk secepatnya melakukan reformasi birokrasi.
Perlunya percepatan reformasi birokrasi di Era ACFTA saat ini antara lain dapat terindikasikan dari beberapa fakta di bawah ini : (1) Wajah birokrasi Indonesia selama ini di mata pelaku usaha/investor dinilai masih kurang pro pasar, pro bisnis, dan pro investasi. Melalui reformasi birokrasi diharapkan terjadi perubahan kultur birokrasi dari sebelumnya”ingin dilayani” menjadi ”ingin melayani”. Birokrasi yang efisien dan mendasarkan diri pada kultur melayani (service culture) akan sangat menentukan perbaikan peringkat daya saing Indonesia. (2) Menilik dari kondisi obyektif birokrasi saat ini, terdapat beberapa kelemahan yang memerlukan penataan kembali, dimana kelemahan tersebut bermuara pada sistem manajemen kepegawaian sejak proses rekruitmen, pengembangan personel, pengembangan karir, sistem penggajian (remunerasi), dan persiapan masa pensiun. Karena itu, semua sistem dalam manajemen birokrasi harus diperbaiki secara kontinu dan menyeluruh untuk menghasilkan wajah birokrasi yang efektif dan efisien yang bertumpu pada layanan prima kepada stakeholders.
Pertama, menyusun Postur birokrasi yang ideal yaitu memenuhi syarat profesionalitas, kompetensi, netralitas, dan pola karir yang berorientasi pada peningkatan kinerja dalam mewujudkan pemerintahan yang baik.
Kedua, memperbaiki sarana dan prasarana fisik (infrastruktur), seperti sarana transportasi, kelistrikan (power plant), sarana telekomunikasi (telepon) dan sarana air bersih. Program pembangunan infrastruktur yang tengah digalang pemerintah saat ini diharapkan dapat menjawab tuntutan para investor.
Ketiga, menyempurnakan kembali peraturan-peraturan di tingkat daerah (Perda) yang dinilai “bermasalah”. Perda-perda yang memiliki semangat memungut yang terlalu besar hendaknya dapat direview dan direvisi, disesuaikan dengan tuntutan investor tanpa harus mengorbankan kepentingan pemerintah daerah. Itulah upaya-upaya yang harus segera dilakukan pemerintah saat ini untuk memperbaiki posisi peringkat daya saing Indonesia.
Untuk mampu melakukan peran strategis, maka nilai-nilai kepemimpinan yang diperlukan aparatur pemerintah saat ini, antara lain adalah :
Pertama, kemampuan untuk menciptakan dan mewujudkan visi. Dalam posisi inilah skenario perencanaan menjadi suatu kebutuhan. Kunci dari skenario perencanaan adalah dialog. Dengan demikian maka benar apabila kita mengartikan kepemimpinan itu sebagai suatu ilmu sekaligus sebagai seni yang dapat merubah tantangan menjadi peluang serta hambatan menjadi kesempatan. Oleh karena itu, penguasaan ilmu saja tidak cukup bagi seorang pemimpin akan tetapi harus memiliki seni tersendiri yang harus dikembangkan dari dalam diri si pemimpin.
Dalam konteks inilah maka seringkali terjadi penafsiran yang berbeda mengenai konsep kepemimpinan. Pendapat yang mengatakan bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang dimiliki atau diraih atas sebuah posisi atau jabatan tertentu merupakan hal yang menyesatkan karena kepemimpinan bukanlah kedudukan, jabatan atau materi, melainkan sebuah amanah yang mencerminkan sebuah tanggung jawab.
Persepsi kepemimpinan sebagai hak milik tanpa kita sadari dapat membawa bencana bagi lembaga maupun si pemimpin. Persepsi seperti ini dapat berpotensi terhadap penyalahgunaan jabatan serta mendorong gaya kepemimpinan otoriter yang membentuk suatu hubungan yang saling bergantung atau saling memanfaatkan antara pemimpin dan yang dipimpin, yang akhirnya menciptakan peluang terjadi kolusi dengan bawahan. Ketergantungan semacam ini mengakibatkan satu sama lain tidak memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensi diri mereka.
Implikasinya, hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin dapat diwarnai kepalsuan. Tidak digerakkan oleh misi tetapi oleh keinginan dan kepentingan pribadi semata. Padahal pemimpin yang efektif adalah pemimpin memperlakukan orang lain sebagai sahabat, menarik pengikut, memberi pengikut wewenang, memberi inspirasi, bersikap etis dan terbuka.
Kesadaran aparatur untuk menghapus pandangan bahwa kepemimpinan sebagai suatu hak milik sehingga paling tidak menghapus dua mitos menyesatkan yang sering mengorbit di seputar kepemimpinan yaitu : (1) Para pemimpin dan kualitas kepemimpinan hanya ditemukan di puncak organisasi dan puncak organisasi adalah satu-satunya tempat yang kita butuhkan. Jika mindset aparatur pemerintah demikian, bukanlah suatu hal aneh jika kita menghadapi masalah untuk memenangkan hiperkompetisi dengan negara-negara lain. Pemimpin puncak dalam suatu dinas, unit kerja, atau lembaga bukanlah satu-satunya pemimpin. Seluruh jajaran pemimpin pada setiap jenjang aparatur pemerintah dapat dan harus memiliki kepemimpinan. Karena itu sering muncul permasalahan di suatu birokrasi pemerintah lebih disebabkan banyak aparatur cenderung terlalu banyak dikelola ketimbang dipimpin. (2) Anggapan bahwa para pemimpin harus memiliki karisma. Kenyataannya berdasarkan studi Gerald L. McManis (2002) menunjukkan bahwa banyak eksekutif yang tidak memiliki karisma, namun mereka sukses dan dihormati.
Kedua, mengetahui dan memperkirakan perilaku atasan, bawahan maupun rekan sekerjanya dalam menggapai tujuan organisasi. Seorang pemimpin pertama sekali juga harus menyadari kekurangannya dan kemudian berusaha untuk memperbaikinya, baik dalam menjalin hubungan dengan lingkungannya maupun yang berkaitan dengan sumber daya sekitarnya. Di samping itu, seorang pemimpin harus suka dan lebih banyak mendengarkan, termasuk mendengarkan hal-hal yang tidak disenanginya.
Ketiga, dalam praktek, seorang pemimpin seringkali menghadapi pilihan yang berat dan menekan, khususnya tekanan untuk mengikuti keinginan dari pihak tertentu yang terkadang tidak sejalan dengan kepentingan organisasi. Dalam kondisi tersebut, seorang pemimpin diuji untuk mengambil keputusan yang menguntungkan pribadi atau keputusan yang menguntungkan lembaga. Jika pilihannya adalah keuntungan pribadi, maka sementara pemimpin akan selamat tetapi organisasi hancur dan akhirnya pemimpin ikut hancur. Jika pilihannya keuntungan lembaga, maka organisasi selamat tetapi pemimpinnya kemungkinan tidak lama, tetapi hal ini justru akan lebih baik. Dari gambaran tersebut disarankan bahwa pilihannya adalah buatlah keputusan yang menguntungkan organisasi. Tentu saja kita harus mampu menyisakan ruang-ruang bagi win-win solution (solusi sama-sama untung) dengan batas jangan sampai organisasi/lembaga yang menjadi korban.
Keempat, kepemimpinan yang baik dapat terwujud manakala pemimpin memiliki integritas, komitmen, dan kredibilitas sebagai panutan bawahan. Integritas merupakan landasan kepercayaan, bukan sekedar bahan kepemimpinan, namun lebih merupakan hasil kepemimpinan. Integritas yang berbuah kualitas yang tidak dapat diperoleh namun harus dimiliki. Melakukan apa yang telah ia katakan (satu kata dengan tindakan). Integritas diberikan oleh rekan sekerja dan anggota. Tanpa integritas, pemimpin tidak akan berfungsi. Karena itu seorang pemimpin yang ingin memiliki integritas maka dia harus mengenal diri sendiri, memiliki ketulusan dan kejujuran dalam berpikir dan bertindak, serta mempunyai kedewasaan. Kredibilitas dibangun atas dasar serangkaian keyakinan atau nilai yang dimiliki. Para pemimpin menjadi kredibel apabila mereka bertindak dengan cara-cara konsisten menurut nilai-nilai mereka.
Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri
Disampaikan oleh Diah Anggraeni (Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri) pada pelaksanaan Diklatpim Tk. II Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah di Semarang pada bulan Maret 2010.