PHYLOPOP.com - Tulisan ini sifatnya hanya ringan-ringan saja. Sebenarnya sudah sejak beberapa hari yang lalu, saya ingin menuliskan refleksi pribadi terkait kisah Star Wars ini. Hanya saja baru kesampaian malam ini.
Secara keseluruhan sebenarnya, kisah Star Wars, adalah bercerita tentang konflik antara kelompok yang dianggap "jahat", yang diwakili oleh Darth Sidious, Darth Vader, Kylo Ren, dan kawan-kawan, dengan kelompok yang dianggap "baik", yang direpresentasikan oleh para Jedi, seperti Qui-Gon Jinn, Obi-Wan Kenobi, Luke Skywalker, Putri Leia Organa, Han Solo, dan kawan-kawan, beserta yang termutakhir yaitu Finn dan Rey (baru mucul di episode VII).
Yang membuat jadi dramatis, adalah ternyata pihak-pihak yang berkonflik, beberapa di antara mereka ternyata bersaudara, atau memiliki hubungan darah. Darth Vader, atau Anakin Skywalker adalah ayah dari Luke Skywalker dan Leia Organa. Kylo Ren, atau Ben Solo, adalah anak kandung dari Han Solo dan Leia Organa. Bahkan salah seorang karakter di episode terbaru, yaitu Rey, juga dispekulasikan sebagai anak Han Solo, atau Luke Skywalker, dengan demikian dia masih memiliki hubungan darah juga dengan Kylo Ren, yang menjadi musuhnya.
Sebenarnya konflik antar saudara sedarah ini bukanlah hal yang baru bagi kita sebagai orang Asia, atau Indonesia khususnya. Di Asia kita memiliki kisah Mahabharata dan Ramayana, yang berasal dari tanah Hindustan, atau India. Indonesia, atau Nusantara pun telah mengembangkan kisah Ramayana, dengan menciptakan prequelnya, yaitu kisah Arjuna Sosrobahu.
Dalam Mahabharata misalnya, kubu Kurawa adalah saudara sepupu dari kubu Pandawa. Ayah para Kurawa, adalah saudara kandung dari ayah para Pandawa. Lebih khusus, karakter Karna ternyata adalah kakak kandung para Pandawa, dia adalah anak kandung dari salah seorang ibu para Pandawa, yaitu Kunti Nalibrata. Untuk Ramayana, walaupun tidak sekompleks Mahabharata, konflik antar saudara sedarah, juga terjadi antara dua kakak beradik Subali dan Sugriwa. Penyebabnya juga ada beragam versi, ada versi yang menyebutkan bahwa mereka berkonflik karena salah paham, sementara versi lain menyebutkan bahwa mereka berkonflik karena berebut harta, tahta, dan perempuan.
Begitulah, dugaan saya, kisah Star Wars ini sebenarnya diilhami oleh kisah-kisah yang ada di Asia, seperti Mahabharata, Ramayana, dan lain-lain.
Karena pada masa film pertama Star Wars dilontarkan ke pasaran, adalah masa setelah era Generasi Bunga, atau Flower Generation. Pada era ini, para borjuis kecil di Eropa dan Amerika Serikat, yang kebebasannya terganggu oleh ekspansi dan agresifitas kapitalisme, yang telah menjelma menjadi buruk rupa atau imperialisme, mencoba mencari pelarian pada "Kebijaksanaan Asia".
Salah satu contoh kongkritnya, adalah grup musik The Beatles, yaitu John Lennon dan kawan-kawan, yang sempat pergi ke India, untuk mendalami berbagai ilmu dan kebijaksanaan di sana. Pasca itu lirik dan musik The Beatles, banyak dipengaruhi oleh ilmu dan kebijaksanaan India tersebut.
Hal lain, yang bisa membuktikan bahwa kisah Star Wars ini sangat dipengaruhi oleh kisah-kisah yang ada di Asia, adalah adanya sebuah kelompok yang bernama Kesatria Jedi, di dalamnya ada Master Yoda, Obi-Wan Kenobi, Qui-Gon Jinn, dan Luke Skywalker. Para Jedi ini, semuanya memiliki senjata utama, yaitu light saber, atau pedang laser. Mereka bukanlah penguasa, akan tetapi adalah pelindung "demokrasi" dan "kebebasan" di galaksi.
Kurang lebih, menurut penilaian saya, Kesatria Jedi ini adalah sebuah jiplakan dari Kesatria Jepang di era Shogun, yaitu Samurai. Sama-sama bersenjatakan pedang, yaitu light saber untuk para Jedi dan katana untuk para Samurai. Bedanya adalah, kalau Samurai adalah kelas militer yang mengabdi pada kelas bangsawan feodal dan Kaisar di Jepang. Sementara Para Jedi tidak mengabdi pada bangsawan atau raja tertentu.
Persamaan utama antara Jedi dan Samurai, adalah bahwa mereka sama sama memiliki kode etik tertentu. Samurai berpegang pada Bushido atau jalan Samurai, yang secara sederhana merupakan kombinasi dari kesetiaan, penguasaan ilmu bela diri, dan kehormatan sampai mati. Untuk Jedi, tak ada nama khusus terhadap kode etik yang mereka pegang. Secara moral, para Jedi lebih mengutamakan pengetahuan dan kebijaksanaan daripada kebangsaan. Oleh karena itu, ketika Anakin Skywalker memilih setia pada republik, maka dia saat itu juga telah melanggar prinsip utama Jedi tersebut.
Menurut pandangan saya, kisah Star Wars, adalah kombinasi antara Mahabharata di India dan kisah Samurai di Jepang, yang diberi bumbu imajinasi futuristik, laser, robot, pesawat luar angkasa, dan lain-lain.
Dengan demikian, sebagai bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari Asia, dengan peradaban yang jauh lebih tinggi dari Eropa dan Amerika, seharusnya kita tak usah terlalu "gumunan", atau kagum berlebihan (tergila-gila) terhadap Star Wars. Biasa saja, tokh mereka juga belajar pada kebijaksanaan kita bangsa Asia.
Seharusnya kita bangsa Asia umumnya, dan bangsa Indonesia khususnya mencipta kisah yang jauh lebih unggul daripada Star Wars. Bukan malah bikin film dengan latar luar negeri, seperti film-film Indonesia terbaru, yang berlatar negeri-negeri Eropa dan Amerika. Memangnya alam Indonesia sudah tak layak lagi untuk jadi latar sebuah cerita? Padahal sastra-sastra yang melegenda di Indonesia/Nusantara, kesemuanya berlatar Indonesia/Nusantara.
Bukan bermaksud menafikan sastra eksil, yang berlatar luar Indonesia. Untuk kasus sastra eksil, alasan ditulis di luar negeri, adalah karena para penulisnya tidak bisa menginjakkan kaki di Indonesia, akibat kediktatoran Orde Baru.
Kembali ke judul yang tadi, yaitu pelajaran dari Star Wars. Walaupun, kisah Star Wars, adalah gabungan berbagai kisah-kisah di Asia, yang diberi bumbu futuristik, bukan berarti tak ada pelajaran yang bisa ditarik dari kisah Star Wars.
Pelajaran pertama adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya bukanlah hitam dan putih, melainkan abu-abu. Seorang Anakin Skywalker, yang berubah menjadi penjahat yang bernama Darth Vader, pada dasarnya tidak jahat. Ia memilih memilih mengikuti "Dark Side", jalannya Darth Sidious, adalah karena ingin melindungi istrinya. Ia terpengaruh oleh bujuk rayu Darth Sidious yang mengatakan bahwa jika dia memiliki pengetahuan tentang "Dark Side", maka ia bisa menyelamatkan istrinya, yang terancam akan wafat ketika melahirkan anak mereka.
Selain itu, Anakin Skywalker tidak mau melupakan ibunya, yang seorang budak, akan tetapi, sebagai seorang yang sedang belajar menjadi Kesatria Jedi, ia tidak bisa menolong ibunya, yang harus wafat karena disiksa Tusken Raider, salah satu suku barbar yang hidup di padang pasir.
Agak lucu juga sebenarnya demokrasi di Star Wars, karena ternyata sistem perbudakan masih tetap ada. Hal yang idealnya sudah lenyap dalam sistem demokrasi, sebagai bangunan atas sistem kapitalisme.
Kontradiksi kelas di Star Wars sebenarnya juga agak kabur, mungkin lebih tepat konflik di Star Wars, mirip dengan sejarah perang antara Sekutu (koalisi negara-negara kapitalis dan sosialis) melawan fasisme pada waktu perang dunia kedua. Darth Vader cs sebagai kubu fasis yang harus diperangi aliansi pemberontak (rebel alliance) dan resistance (pada episode VII), untuk mengembalikan demokrasi dan kebebasan di galaksi.
Sebagai produk sistem kapitalisme, kisah Star Wars tak bisa lepas dari angan-angan demokrasi dan kebebasannya kapitalisme.
Pelajaran berikutnya, adalah nafsu untuk berkuasa membuat ideologi dikesampingkan dan dilupakan. Nafsu berkuasa Anakin Skywalker, mengakibatkan ia harus membuang jauh-jauh prinsi-prinsip moral yang harus dipegang teguh olehnya sebagai seorang Jedi. Di Indonesia saat sekarang ini, banyak sekali kita temukan orang-orang seperti Anakin Skywalker ini. Hanya karena godaan uang dan kekuasaan, mereka membuang jauh-jauh ideologi kerakyatan yang mereka suarakan selama bertahun-tahun sebelum mendapat uang dan kekuasaan.
Dulunya menolak pencabutan subsidi rakyat, yang mengakibatka kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), TDL (Tarif Dasar Listrik), dan kebutuhan pokok rakyat, sekarang membela mati-matian rezim Jokowi-JK yang mencabut subsidi BBM.
Dulunya ikut demo buruh menolak kebijakan upah murah Orde Baru, sekarang diam saja, bahkan mendukung kelanjutan politik upah murahnya Orde Baru.
Dulunya menolak bersekutu dengan Golkar (Golongan Karya), sekarang mendukung pemerintahan, yang dikuasai oleh elit-elit Partai Golkar. Jusuf Kalla dan Luhut Panjaitan sampai sekarang masih anggota Partai Golkar. Kekuasaan mereka berdua cukup signifikan dalam rezim Jokowi-JK.
Dulunya anti korupsi, sekarang diam saja ketika KPK dilemahkan oleh rezim Jokowi-JK dan legislatif. Jujur saja, wacana untuk mengubah KPK menjadi lebih mengutamakan pencegahan daripada penangkapan, awalnya dilontarkan oleh eksekutif, yang dalam hal ini adalah rezim Jokowi-JK. Dulu, ketika konflik Polri dan KPK, pada awal pemerintahan Jokowi, salah seorang menterinya Jokowi sempat
Dulunya menolak pemberangusan kebebasan berpendapat oleh rezim Orde Baru, sekarang malah ikut mendukung pembungkaman kebebasan berpendapat oleh rezim Jokowi-JK.
Sayangnya persatuan para pemberontak seperti rebel alliance atau resistance seperti kisah Star Wars, belum kunjung terbentuk.
Inilah pelajaran ketiga, atau yang terakhir, yaitu bahwa sistem ekonomi politik yang korup, anti demokrasi dan anti rakyat, hanya bisa dilawan dengan persatuan kaum tertindas. Kalau ini belum terbangun maka rezim "Dark Side" Jokowi-JK akan terus mengangkangi demokrasi dan keadilan sosial.
Yogyakarta, 26 Desember 2015
Akun FB Harsa Permana
Posting Komentar