Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 17.01

PHYLOPOP.com - Humor bisa bikin kita terbahak, tapi riset atau teori soal humor sama sekali tidak lucu. Menurut psikoanalis Sigmund Freud, lelucon bersumber dari keganjilan atau perasaan superioritas. Karena itu, orang kadang bisa terpingkal-pingkal melihat orang lain sedang bernasib sial.

Sejak zaman Plato dan Aristoteles, orang berusaha memahami lelucon, bagaimana lelucon dan apa yang sebenarnya terjadi saat orang bercanda. Pada 1725, filsuf Frances Hutcheson menulis artikel "Thoughts on Laughter". Menurut Hutcheson, orang tertawa merupakan reaksi atas kejadian yang ganjil dan tak biasa.

Peter McGraw, profesor psikologi di Universitas Colorado, Boulder, mengajukan teori Benign Violation untuk menjelaskan soal lelucon. Ada beberapa syarat, menurut Peter, yang menjadikan sesuatu jadi humor, yakni jika ada pelanggaran atas sesuatu yang lazimnya terjadi tapi pelanggaran itu masih aman dan ada orang yang menganggapnya demikian.

Tapi tetap tak ada satu teori yang bisa tuntas menjelaskan soal lelucon. Tetap tak ada konsensus di antara peneliti, filsuf, dan psikolog soal lelucon. Ada yang suka dengan dagelan ala American Pie, ada yang suka komedi ala Friends dan The Big Bang Theory, ada yang lebih suka The Simpsons atau Family Guy, ada pula yang lebih asyik menikmati Srimulat atau Asep Sunandar.

"Susah untuk menemukan lelucon yang tetap lucu lintas budaya.... Komedi yang bisa tetap lucu lintas budaya biasanya melibatkan dagelan fisik. Dagelan yang bisa dilihat siapa pun," kata Peter McGraw kepada Telegraph. Bagaimana dengan kata-kata ini: quingel, prousup, finglam, fityrud, dan rembrob?

Tak usah cari kata-kata itu di kamus. Kata-kata itu tak akan ada di kamus bahasa apa pun. Chris F. Westbury dan tim peneliti dari Universitas Alberta "menyuruh" komputer membuat kata-kata itu untuk bahan riset mereka. Dengan model matematika dan dibantu 56 relawan berbahasa Inggris, profesor psikologi dari Edmonton, Alberta, Kanada, itu berusaha memahami rahasia humor.

Hasil riset mereka akan dipublikasikan di jurnal Memory & Language edisi Januari 2016. "Inilah artikel pertama teori kuantitatif soal humor yang pernah diterbitkan," kata Chris kepada Science Daily.

Riset awal Chris menemukan fakta, orang-orang akan tertawa ketika mendengar kata-kata yang asing, seperti snunkoople. Padahal mereka tak paham apa arti kata-kata itu. Chris dan timnya bertanya-tanya, apa yang lucu dari kata-kata itu? Chris menduga, kuncinya ada pada entropi atau derajat keberaturan pada kata-kata itu. Makin rendah entropinya, maka kemungkinan besar makin lucu pula kata-kata itu.

Menurut Anda, mana lebih lucu: Prousup vs Mestins, Finglam vs Cortsio, Witypro vs Octeste? Menurut relawan yang direkrut Chris, semua kata yang ada di depan lebih lucu daripada kata-kata di belakang. Chris dan timnya juga meneliti kata-kata "aneh" yang biasa dipakai di buku-buku karya Dr Seuss, seperti rumbus, skritz, dan yuzz-a-ma-tuzz. Bisa diduga, derajat entropi kata-kata aneh Dr Seuss itu juga rendah, sehingga lucu.

Model matematika yang disusun oleh tim peneliti dari Universitas Alberta ini lumayan akurat untuk mengukur "kadar lucu" setiap kata. Menurut Chris, tingkat akurasi model mereka mencapai 92 persen. "Kalian bakal sangat jarang mendapatkan akurasi setinggi itu di bidang psikologi," kata Chris, seperti dikutip Phys.org.

Para komedian barangkali tak akan ambil pusing dengan segala macam riset soal humor. Tapi riset Chris Westbury bisa jadi penting dalam proses penamaan atau narasi atas suatu produk. "Kami menganggap humor sebagai sesuatu yang personal, tapi psikolog evolusioner melihat lelucon sebagai media penyampai pesan," kata Chris. "Jika kalian tertawa, kalian menyampaikan pesan kepada orang-orang di sekeliling bahwa sesuatu tak berbahaya atau baik-baik saja."

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.