Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 10.03
PHYLOPOP.com - "Tak! Tak! Tak!" Bunyi nyaring kayu yang saling beradu sesekali pecah dari balai di halaman sebuah rumah panggung di tengah desa yang sunyi. Suharti (31), penyebab bunyi itu, sedang telaten melestarikan tradisi yang telah dihidupi puluhan generasi perempuan Mbojo sebelum dirinya di Bima, Nusa Tenggara Barat.

Suharti sedang membuat sarung tenun yang disebut tembe dalam bahasa Mbojo, suku asli masyarakat Kota Bima, Kabupaten Bima, dan Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB). Huruf e dalam tembe dilafalkan seperti pada kata tempe.

Siang itu, Minggu (5/4/2015), Suharti sedang menenun tembe nggoli yang bermotif khas kotak-kotak dengan paduan dua hingga lima warna cerah. Desa Nata di Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima, tempat tinggal Suharti, adalah salah satu desa yang mayoritas warga perempuannya masih menekuni tradisi menenun sarung jenis ini.

"Perempuan di sini sudah terbiasa menenun dari kecil. Setiap rumah pasti punya alat tenun," katanya. Alat tenun dimaksud adalah alat tenun tradisional gedogan yang pengoperasionalannya dengan cara dipangku oleh si petenun yang duduk selonjor. Alat tersebut rata-rata diwarisi perempuan Desa Nata secara turun-temurun dari paling tidak dua generasi sebelumnya.

Menenun tembe nggoli merupakan aktivitas sampingan perempuan desa berpenduduk sekitar 3.000 jiwa itu di sela-sela bertani. Selama masa tanam atau panen, sulit menemukan kegiatan tersebut karena dipastikan hampir seluruh perempuan sibuk di sawah. Namun, di luar waktu itu, suasana desa akan hiruk-pikuk dengan suara alat tenun. "Tak! Tak! Tak!"

Sebelum ada benang pabrik, benang untuk sarung tenun itu dipintal dari kapas oleh para perempuan Mbojo. Pewarnaan juga masih menggunakan bahan alami dari tumbuh-tumbuhan. Sarung dari bahan itu disebut tembe kafa na'e yang saat ini sangat sulit ditemui pembuatannya di Bima ataupun Dompu.

Sementara itu, tembe nggoli relatif lebih mudah dibuat. Bahannya adalah benang katun buatan pabrik yang sebelumnya dirangkai sesuai motif dan warna yang diinginkan dengan proses yang disebut ngane. Benang kemudian ditenun yang memakan waktu 3-5 hari hingga menjadi tembe nggoli.

Satu lembar tembe nggoli dijual kepada pengepul di desa seharga Rp 150.000. Dengan harga sebesar itu, setelah dikurangi modal, petenun mendapat keuntungan bersih Rp 75.000. Dalam kondisi sibuk, Suharti minimal bisa membuat empat lembar sarung dalam sebulan sehingga penghasilannya dari menenun paling tidak mencapai Rp 300.000.

"Kalau lagi tidak ada kerjaan lain, saya bisa membuat sepuluh lembar tembe nggoli sebulan. Memang penghasilannya tidak banyak, tapi lumayan untuk menambah pendapatan keluarga," kata Suharti.

Pengaruh Islam

Pengurus Majelis Adat Dana (tanah) Mbojo Ma'ruf Efendy menjelaskan, tembe secara tradisional dipakai sebagai pakaian sehari-hari masyarakat sejak Kerajaan Bima memeluk Islam pada tahun 1640 dan menjadi kesultanan. Namun, budaya tenun sudah dikenal masyarakat Bima jauh sebelum masa itu.

Tembe nggoli, lanjut Ma'ruf, adalah perubahan dari tembe kafa na'e yang secara bertahap sejak sekitar tahun 1965 ditinggalkan penenun karena dianggap tak praktis pembuatannya. "Tapi, alat dan teknik menenun tembe nggoli tetap sama dengan tembe kafa na'e hingga sekarang," ujarnya.

Begitu pula cara pemakaian yang tak berubah selama ratusan tahun. Untuk laki-laki, tembe nggoli dibelitkan di pinggang hingga menutupi lutut yang disebut katente.

Sementara itu, kaum perempuan menggunakan dua potong tembe nggoli, yakni potongan pertama dikenakan untuk menutupi bagian bawah tubuh dari pinggang hingga kaki, seperti sarung pada umumnya, yang disebut sanggentu. Adapun potongan kedua dililitkan menutupi kepala hingga hampir menyentuh lutut yang disebut rimpu.

Rimpu merupakan busana khas perempuan yang hanya bisa ditemukan di Bima dan Dompu. Cara pemakaiannya dibedakan dalam dua jenis, yakni untuk perempuan yang belum menikah dipakai menutupi seluruh kepala hingga hanya menyisakan bagian mata. Sementara untuk perempuan yang sudah menikah, bagian wajah dapat dibiarkan terbuka.

"Rimpu adalah pengaruh budaya Islam bagi perempuan untuk menutup aurat yang fungsinya seperti jilbab," kata Ma'ruf.

Naniek I Taufan dalam buku Warna-warni Tradisi Sasak Samawa Mbojo (2012) menyebutkan, selain berfungsi sebagai jilbab, rimpu juga menjadi pelindung dari perubahan cuaca yang kerap mengganggu atau dari pandangan langsung laki-laki yang bukan muhrim. Apalagi pada zaman dahulu, gadis Mbojo selalu dipingit.

Namun, seiring perkembangan zaman, rimpu sudah jarang dipakai lagi dan hanya bisa ditemukan di wilayah-wilayah pelosok daerah. Itu pun biasanya hanya dikenakan oleh generasi tua. "Sejak 10-15 tahun lalu, rimpu sudah tergantikan oleh jilbab modern," ujar Ma'ruf.

Bertahan

Meski begitu, pembuatan tembe nggoli seperti yang dilakukan di Desa Nata masih bisa bertahan. Aplikasi yang luas, di antaranya untuk keperluan sarung beribadah atau sarung sehari-hari, masih menghidupkan permintaan tembe nggoli. Bahkan, tembe nggoli juga kerap dikombinasikan dalam busana rok, selendang, atau baju perempuan.

Nur Aini (40), salah satu pengepul di Desa Nata, mengatakan dalam sebulan bisa menjual 100-200 potong tembe nggoli. Sarung dari desa itu dipasarkan ke Bima, Dompu, hingga Kabupaten Sumbawa. "Jarang ada stok yang menumpuk. Stok bahkan sulit diperoleh kalau sedang musim panen atau tanam," katanya.

Hal serupa juga terjadi di sentra produksi dan penjualan tembe nggoli di Desa Ranggo, Kecamatan Pajo, Kabupaten Dompu. Hajrah (50), pemilik usaha itu, mengatakan bisa menjual 70-100 potong tembe nggoli setiap bulan dengan omzet berkisar Rp 15 juta-Rp 20 juta.

Pemerintah daerah setempat pun berupaya membangkitkan kegairahan memakai busana tradisional berbasis tembe nggoli. Salah satunya dilakukan Pemerintah Kabupaten Dompu saat menggelar pawai budaya kolosal yang diikuti lebih dari 13.000 perempuan yang memakai rimpu pada 1 April lalu.

Pawai itu merupakan rangkaian acara Tambora Menyapa Dunia dalam rangka memperingati dua abad letusan Gunung Tambora yang terletak di wilayah Kabupaten Dompu dan Bima. Seperti halnya Gunung Tambora, tembe pun tak terpisahkan dari tanah Mbojo.

* Mohamad Final Daeng

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.