Obesitas alias kegemukan diperkirakan akan menjadi musuh kesehatan baru dan nomor satu di negara-negara maju. Dampak kegemukan mirip dengan rokok. Kegemukan tak hanya memengaruhi tingkat kesehatan warga, tetapi juga membebani keuangan negara.
Saking pentingnya persoalan kegemukan bagi pembangunan bangsa, persoalan ini menjadi agenda khusus dalam pertemuan tingkat Menteri Kesehatan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for Economic and Co-operation and Development/OECD) di Paris, 7-8 Oktober lalu.
Persoalan kegemukan menjadi penting karena kegemukan menyebabkan membengkaknya biaya kesehatan yang harus ditanggung negara. Di sisi lain, kegemukan juga membuat negara kehilangan tenaga produktif yang bisa dimanfaatkan untuk membangun bangsa.
Sebagian besar dari 33 anggota OECD adalah negara maju dan anggota Uni Eropa. Untuk bidang kesehatan, Indonesia belum menjadi anggota OECD. Bersama Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, Indonesia berstatus sebagai negara pengamat.
Laporan OECD 2010 yang disusun Franco Sassi menunjukkan, penderita obesitas 8-10 kali lebih cepat meninggal dibandingkan orang dengan berat badan normal. Setiap kelebihan 15 kilogram dari berat badan normal meningkatkan risiko kematian hingga 30 persen.
Dalam sistem kesehatan di semua negara, obesitas menjadi persoalan serius dan mahal. Biaya kesehatan penderita obesitas 25 persen lebih tinggi dibandingkan orang normal. Semakin gemuk, semakin besar biaya yang dikeluarkan.
Biaya kesehatan individu yang tinggi itu turut mendongkrak biaya kesehatan yang harus ditanggung negara. Di negara-negara maju, obesitas memakan 1-3 persen total pengeluaran kesehatan. Bahkan, di Amerika Serikat, penanganan obesitas menggunakan 5-10 persen anggaran kesehatannya.
Besarnya anggaran mengatasi kegemukan diperkirakan akan terus naik seiring semakin berkembangnya gaya hidup tak sehat, meningkatnya beban hidup yang memicu stres, serta masih maraknya kebijakan pembangunan yang justru mendorong gaya hidup tak sehat.
Tren obesitas
Tinggi dan berat badan manusia mengalami peningkatan sejak abad XVIII. Pemicunya adalah meningkatnya pendapatan, pendidikan, dan kualitas hidup. Bagi sebagian kecil kalangan, gemuk dianggap sebagai standar sehat dan tanda kemakmuran.
Perkembangan zaman membuat asupan makanan bertambah. Sayangnya, makanan yang dikonsumsi justru lebih banyak mengandung kalori dan lemak.
Pada saat bersamaan, pola kerja dan gaya hidup masyarakat menjadi kurang gerak. Ini ditambah dengan beban stres masyarakat yang semakin tinggi serta jam kerja yang semakin panjang. Semua itu meningkatkan jumlah masyarakat yang menderita kegemukan.
Pandangan akan kegemukan dan perubahan gaya hidup masyarakat membuat jumlah penderita kegemukan meningkat selama tiga dekade terakhir. Sebelum 1980, hanya 1 di antara 10 orang alami kegemukan. Kini jumlahnya berlipat-lipat.
Di separuh negara OECD, 1 dari 2 orang mengalami kelebihan berat badan dan kegemukan. Jika tren ini berlanjut, diperkirakan 2 dari 3 orang akan kelebihan berat badan dan kegemukan 10 tahun ke depan.
Negara OECD yang paling rendah jumlah penderita kegemukannya adalah Jepang dan Korea Selatan. Selain ditopang pola konsumsi yang lebih sehat, tata kota di kedua negara itu juga memungkinkan masyarakatnya bergerak dan memiliki aktivitas fisik lebih banyak.
Perempuan lebih mudah menjadi gemuk daripada pria.
Di beberapa negara OECD, perempuan berpendidikan rendah mengalami kelebihan berat badan 2-3 kali lebih besar dibandingkan perempuan berpendidikan tinggi.
Anak dengan satu orangtua gemuk berpotensi 3-4 kali lebih besar untuk menjadi gemuk dibandingkan anak dari orangtua berberat badan normal. Selain persoalan genetik, orangtua menurunkan gaya hidup tak sehat. Pola makan yang salah, kurang gerak, dan terlalu banyak duduk adalah sebagian gaya hidup yang diwariskan orangtua.
Kegemukan juga menjadi persoalan dalam dunia kerja. Pemberi kerja kurang suka dengan calon karyawan yang gemuk karena dianggap produktivitasnya rendah dan mudah sakit. Pekerja gemuk gajinya 18 persen lebih rendah dibandingkan yang berberat badan normal.
Pengaruhi ekonomi
Pelan tapi pasti, kegemukan menjadi musuh global. Bukan hanya karena dianggap memengaruhi produktivitas, melainkan juga menimbulkan dampak ekonomi seiring semakin tingginya biaya kesehatan.
Namun, perhatian pemerintah pada kegemukan masih sangat kurang. Rendahnya pajak makanan instan dan maraknya pembangunan restoran siap saji turut mendorong pola makan yang salah. Sedangkan sistem transportasi telah mengurangi aktivitas jalan kaki, kurangnya ruang terbuka, dan fasilitas olahraga turut mendorong masyarakat semakin malas melakukan kegiatan fisik.
Untuk menahan laju pertumbuhan kegemukan, pemerintah, perusahaan swasta, dan lembaga pendidikan perlu bekerja sama. Promosi atas bahaya kegemukan dan langkah-langkah pencegahannya harus dilakukan segera dan menyeluruh.
* M Zaid Wahyudi (kompas.com)
Posting Komentar