Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil, dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar.
Isu-isu Utama Pasar Tradisional
Pasar tradisional mendapatkan keuntungan dari krisis keuangan dunia (global crisis) saat ini. Keinginan masyarakat/konsumen untuk memperoleh produk dengan harga murah di saat krisis membuat pasar tradisional terselamatkan dari desakan pasar modern. Kondisi ini bertolak belakang dengan pertumbuhan pasar modern yang kian agresif dan terus meningkatkan distribusi, promosi dan perbaikan model bisnis ritel.
Market Share dari pasar tradisional tahun 2008 lalu masih sekitar 80 persen dari total pasar di tanah air, sebagaimana menurut Retailer Service Director The Nielsen Indonesia, Yongky Susilo, di Jakarta, (Koran Jakarta, 18 Maret 2009) berdasarkan riset yang dilakukan The Nielsen Indonesia atas perilaku belanja rumah tangga di lima kota di Indonesia pada November 2008, penjualan produk ritel di pasar tradisional mencapai 79,2 persen. Orang ekspansi belanja ke pasar tradisional karena disana lebih murah, bisa ditawar, masyarakat khawatir terbuai promosi dan tergoda membeli barang sehingga menghabiskan uang dalam jumlah besar. Riset memperlihatkan rumah tangga yang berbelanja 54 kategori produk kebutuhan sehari-hari di hipermarket tinggal 45 persen atau turun dua persen dari 2007.
Sampai semester pertama 2009, tren terjadi penurunan belanja di hipermarket mencapai 27,5 persen. Ekspansi dari 2007 - 2008 untuk ritel format besar, yakni Hypermart dari 36 menjadi 43 unit, Giant Hyper dari 17 menjadi 26 unit, dan Carrefour dari 37 menjadi 42 unit, Giant dari 23 menjadi 55 unit, Superindo dari 56 menjadi 63 unit. Menurut riset Nielsen Indonesia juga memantau terjadinya inovasi format ritel modern, yaitu dengan munculnya toko midi yang lebih besar dari minimarket tetapi lebih kecil dari super market. Peritel yang telah meluncurkan toko-toko midi adalah Griya Hemat dan Alfa Midi. “Toko midi menjadi next generation format ritel modern, toko itu tidak kecil dan tidak juga besar.
Penjualan ritel barang konsumen yang masuk Fast Moving Consumer Group (FMCG) di luar rokok mencapai 109,6 triliun rupiah atau meningkat 15 persen ketimbang tahun lalu.
Salah satu hypermarket (Carrefour) merugikan usaha kecil menengah (UKM) yaitu melakukan penyewaan lahan berjualan kepada UKM. Menurut informasi bahwa hasil penerimaan dan penyewaan lahan berjualan lebih besar dari pada pendapatan usaha Carrefour yang sebenarnya (Media Indonesia, 27 Maret 2009).
Mayoritas pasar tradisional dikuasai dan dikelola oleh Pemda setempat, biasanya di bawah kendali Dinas Pasar. Sejumlah kecil pasar tradisional dikembangkan melalui kerjasama antara Pemda dan perusahaan swasta, umumnya di bawah skema bangun, operasi, dan transfer (build-operate-transfer/BOT). Perusahaan swasta kemudian membayar setiap tahun kepada Pemda sejumlah dana yang telah disepakati.
Pengelola pasar, yang diangkat oleh Kepala Dinas Pasar, mengelola pasar milik Pemda. Di beberapa kasus, pengelola pasar bertanggung jawab atas beberapa pasar sekaligus. Dinas Pasar menetapkan target retribusi pasar tahunan pada setiap pasar tradisional miliknya. Tugas utama yang diemban setiap kepala pasar adalah pemenuhan target yang sudah ditetapkan. Kegagalan pemenuhan target tidak jarang berbuntut pada pemberhentian langsung kepala pasar. Karena itu, penarikan dana retribusi dari para pedagang menjadi ajang perhatian utama dari setiap kepala pasar daripada pengelolaan pasar yang lebih baik.
Kehadiran pasar modern yang memberikan banyak kenyamanan membuat sebagian orang enggan untuk berbelanja ke pasar tradisional disebabkan : pertama, supermarket dapat menjual lebih banyak produk yang lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah; kedua, informasi daftar harga setiap barang tersedia dan dengan mudah diakses publik; ketiga, supermarket menyediakan lingkungan berbelanja yang lebih nyaman dan bersih, dengan jam buka yang lebih panjang, dan menawarkan aneka pilihan pembayaran seperti kartu kredit dan kartu debit dan menyediakan layanan kredit untuk peralatan rumahtangga berukuran besar; keempat, produk yang dijual di supermarket, seperti bahan pangan, telah melalui pengawasan mutu dan tidak akan dijual bila telah kedaluwarsa.
Pasar modern meskipun memiliki banyak kelebihan, akan tetapi dalam sistem pasar modern penentuan harga tidak bisa ditawar/sudah ditetapkan. Sedangkan pasar tradisional memiliki beberapa keunggulan, yakni : (1) masih adanya kontak sosial saat tawar menawar antara pedagang dan pembeli. Tidak seperti pasar modern yang memaksa konsumen untuk mematuhi harga yang sudah dipatok; (2) keinginan masyarakat memperoleh produk dengan harga murah di saat krisis membuat pasar tradisional terselamatkan dari desakan pasar modern; dan (3) pasar tradisional menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat kebanyakan. Di sana, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya, dari mulai para pedagang kecil, kuli panggul, pedagang asongan, hingga tukang becak. Di balik kelebihan tersebut, pasar tradisional biasanya becek dan bau, malas tawar menawar, faktor keamanan (copet, dsb), resiko pengurangan timbangan pada barang yang dibeli, penuh sesak, dan sejumlah alasan lainnya.
Revitalisasi Pasar Tradisional
Anggaran yang disediakan pemerintah hanya cukup untuk merehabilitasi fasilitas mikro di pasar-pasar tersebut. Total dana yang tesedia untuk merevitalisasi pasar tradisional pada tahun 2009 mencapai Rp 585 milyar berasal dari tiga sumber yakni stimulus fiskal untuk penanggulangan krisis ekonomi global Rp 315 miliar, dana alokasi khusus 120 milyar dan DIPA Depdag Rp 150 Miliar. Jumlah dana tesebut masih jauh dari kebutuhan untuk memperbaiki seluruh pasar tradisional.
Kendala yang membuat perbankan sulit mengucurkan dana untuk pasar tradisional antara lain : (1) pengelola pasar tidak mengetahui aset yang dibutuhkan untuk mendapatkan kredit bank. Sebagian besar kepemilikan kios di pasar tradisional berstatus hak pakai. Pengelola pasar bersedia meningkatkan status menjadi Hak Pengelolaan Lahan (HPL bahkan menjadi HGB jika bank mensyaratkan perubahan status tersebut); (2) belum ada bank khusus yang ditunjuk pemerintah untuk revitalisasi pasar tradisional; dan (3) adanya persaingan dengan pasar modern. Pada saat ini yang dibutuhkan dalam revitalisasi pasar tradisional yaitu pemotongan biaya transaksi, kreativitas, dan inovasi untuk mengembangkan keunikan masing-masing pasar (Kompas, Februari 2009).
Konflik antara pedagang pasar tradisional dengan pengelola dan Pemerintah disebabkan : (1) Dinas Pengelola Pasar sebagai leading sector tidak memiliki konsep yang jelas mengenai model revitalisasi pasar tradisional, sehingga sangat tergantung pada desain yang ditawarkan pengembang, apalagi keterbatasan dana turut memperlemah posisi tawar Pemerintah Kota dalam bernegosiasi dengan pengembang. Akibatnya, dalam sejumlah kasus, Pemerintah Kota justru dirugikan ketika ternyata desain yang diterapkan pengembang tidak berhasil dan pengembang akhirnya mengembalikan lagi proyek revitalisasi tersebut pada Pemerintah Kota; dan (2) tidak adanya political will dari Pemerintah Kota untuk membangun kesepahaman antara pemerintah dengan para pedagang di pasar tradisional tentang model revitalisasi yang akan diterapkan.
Rekomendasi Revitalisasi Pasar Tradisional
Dalam melakukan pengelolaan pasar, setidaknya dibutuhkan beberapa paradigma sebagai berikut : (1) paradigma dalam memandang pasar harus bergeser dari tempat bertransaksi ekonomi menjadi ruang publik tempat berlangsungnya interaksi sosial. Pasar yang sukses secara inheren memiliki bermacam-macam ruang yang berfungsi sebagai ruang publik, misalnya jalan, gang, tangga, trotoar, plaza terbuka, dan lain-lain, di mana tindakan untuk mencegah masyarakat menggunakan barang publik yang milik umum tersebut akan menjadi sangat mahal atau sulit, karena hak-hak "kepemilikan" terhadap barang-barang tersebut sangat labil dan sulit dispesifikasi secara tegas; (2) model revitalisasi pasar tradisional difokukan pada upaya memperbaiki jalur distribusi komoditas yang diperjual-belikan di pasar-pasar tradisional. Distribusi sini mengandung makna yang luas, mulai dari pemilahan komoditas; pengangkutan; bongkar muat; pengemasan; hingga penjualan komoditas di pasar; (3) pembangunan pasar jangan dihambat oleh kepentingan mencari keuntungan finansial karena pembangunan pasar selain memiliki tujuan sosial juga berperan untuk mereduksi biaya sosial, di mana revitalisasi pasar tradisional harus dipandang sebagai investasi jangka panjang dalam kerangka pengembangan properti kota (property development); (4) modernisasi pasar juga merupakan langkah untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil. Modernisasi pasar disini dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan pasar secara modern sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, sekaligus untuk menghambat beralihnya tempat belanja masyarakat; (5) Model kemitraan pemerintah kota perlu melibatkan pengembang untuk merevitalisasi pasar; (6) pasar tradisional harus dikelola secara kreatif untuk memecahkan persoalan ruang usaha bagi masyarakat.
Pasar, tempat usaha rakyat harus diciptakan secara lebih imajinatif, kreatif, dan rekreatif untuk bisa berkompetisi dengan department stores, shopping centers, mall, dan sejenisnya yang biasa dipasok sektor swasta. Ragam pasar yang lebih transformatif seperti pasar tematik (pasar elektronik, pasar tekstil, dll.), dapat dikembangkan menjadi model pengembangan pasar modern agar pasar modern tidak memonopoli seluruh komoditas yang menyebabkan daya saing pasar tradisional makin lemah (Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Pasar di Bandung, 2007).
Kondisi Pasar Tradisional
Untuk optimalisasi pasar tradisional, pemerintah telah melakukan beberapa hal terutama terkait pembinaan dan pengawasan. Beberapa pasar tradisional di beberapa kota sudah berhasil dikembangkan, di antaranya Wali Kota Solo telah berhasil membina unit pasar tradisional yaitu membina sebanyak enam unit pasar tradisional sehingga berhasil mendapat penghargaan dari MENPAN. Di Bandung pasar tradisional dikembangkan dan dimodifikasi sesuai produk khususnya, yaitu pasar Cibaduyut untuk pasar sepatu. Sementara di Jakarta, Pasar Tanah Abang secara khusus untuk pasar produk tekstil dan pakaian, Pasar Mayestik khusus untuk sembako dan aneka kue, serta Pasar Festival khusus kuliner dan hiburan di Kuningan/area di Jakarta. Kemudian di Provinsi Bali dikembangkan pasar tekstil, pakaian, produk seni dan kerajinan lokal di Sukowati dan di Tanah Lot.
Persoalan Pasar Tradisional
Deputi Kerjasama dan Investasi, Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo) (Kompas, 16 Maret 2009) mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen, dari 8.500 pasar tradisional di Indonesia, berusia di atas 20 tahun. Ini mengkhawatirkan karena membuat pasar tradisional yang menjadi tempat berdagang lebih dari 12 juta orang pedagang itu tidak mampu bersaing dengan pasar modern, oleh karena itu pasar-pasar tersebut mendesak untuk direvitalisasi. Pemerintah sudah mencanangkan program revitalisasi, tetapi tidak mendapatkan dukungan lembaga keuangan, terutama perbankan nasional. Anggaran yang disediakan pemerintah hanya cukup untuk merehabilitasi fasilitas mikro di pasar-pasar tradisional tersebut.
Total dana yang tersedia untuk merevitalisasi pasar tradisional pada 2009 relatif kecil hanya Rp 585 miliar, berasal dari tiga sumber, yakni stimulus fiskal untuk penanggulangan krisis ekonomi global Rp 315 miliar, dana alokasi khusus Rp 120 miliar, dan DIPA Depdag Rp 150 miliar.
Jumlah dana yang tersedia itu masih jauh dari kebutuhan untuk memperbaiki seluruh pasar tradisional yaitu sebanyak 6.800 pasar, sehingga menimbulkan persoalan yang membuat perbankan sulit mengucurkan kredit pembangunan pasar tradisional. Terlebih, belum ada bank khusus yang ditunjuk pemerintah untuk kredit investasi revitalisasi pasar tradisional, disamping terjadinya persaingan dengan pasar modern.
Permasalahan terkait pengelolaan pasar tradisional antara lain : (1) permasalahan dan citra negatif pasar tradisional umumnya terjadi akibat kurang disiplinnya pedagang, pengelola pasar yang tidak profesional, dan tidak tegas dalam menerapkan kebijakan atau aturan terkait pengelolaan operasional pasar; (2) pasar tradisional umumnya memiliki desain yang kurang baik, termasuk minimnya fasilitas penunjang, banyaknya pungutan liar dan berkeliarannya "preman-preman" pasar serta sistem operasional dan prosedur pengelolaannya kurang jelas (Kompas, 16 Februari 2009); (3) masalah internal pasar seperti buruknya manajemen pasar, sarana dan prasarana pasar yang sangat minim, pasar tradisional sebagai sapi perah untuk penerimaan retribusi, menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mengurangi pelanggan pedagang pasar, dan minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi pedagang tradisional.
Menurut Kantor Menko Perekonomian, dukungan pembiayaan untuk pasar tradisional cukup banyak. Kini, yang dibutuhkan adalah pemotongan biaya transaksi, kreativitas dan inovasi untuk mengembangkan keunikan masing-masing pasar.
Data pasar tradisional per 18 Desember 2008, jumlah pedagang 12.625.000 orang, pertumbuhan pasar tradisional menyusut 8,1 persen setiap tahun. Di Jakarta, setiap tahun 400 kios tutup, kontribusi pasar tradisional terhadap penjualan 47 produk terus menyusut, dari 78,1 persen pada tahun 2000 menjadi 69,9 persen pada tahun 2004.
Kendala terberat bagi pasar tradisional adalah sulitnya perbankan mengucurkan kredit pembangunan pasar tradisional. Hal ini disebabkan beberapa kendala seperti tidak jelasnya jenis aset pasar tradisional, serta status kepemilikan kios berupa hak pakai, bukan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atau Hak Guna Bangunan (HGB). Selain kendala tersebut, pasar tradisional juga dihadapkan pada permasalahan belum adanya bank khusus untuk penyaluran kredit investasi revitalisasi pasar tradisional, dan belum dibuatnya standar khusus pelayanan publik pasar tradisional.
Solusi Permasalahan
Kunci solusi sebenarnya ada di tangan pemerintah. Yang diperlukan adalah aturan tata ruang yang tegas yang mengatur penempatan pasar tradisional dan pasar modern. Misalnya tentang berapa jumlah hypermarket yang boleh ada untuk setiap wilayah di satu kota. Lalu berapa jarak yang diperbolehkan dari pasar tradisional jika pengusaha ingin membangun supermarket. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi ancaman kebangkrutan pada pasar tradisional akibat kepungan pasar modern yang tidak terkendali, dan memberikan wahana persaingan yang sehat antara keduanya.
Selain itu, perlu merubah “wajah” pasar tradisional agar bisa lebih nyaman dan teratur. Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya lebih sering mengedepankan kepentingan investor ketimbang kepentingan para pedagang sendiri. Harga kios yang tinggi tanpa kompromi kerap membuat pedagang “alergi” mendengar kata pembenahan. Keadaan ini tidak jarang akhirnya menimbulkan perselisihan antara pedagang lama dengan investor yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional (Indrakh wordpress.com. 2007).
Saat ini, Departemen Perdagangan menfokuskan program 2009 pada pembinaan dan revitalisasi pasar tradisional termasuk melakukan pelatihan manajemen pengelolaan pasar tradisional, penyusunan model pembangunan dan pengelolaan pasar, pelaksanaan pos ukur ulang dan perlindungan konsumen (Kompas, 16 Februari 2009).
Untuk menciptakan kondisi lingkungan pasar tradisional yang lebih baik dan lebih nyaman, kebijakan-kebijakan yang akan membantu meningkatkan daya saing pasar tradisional harus diciptakan dan dilaksanakan, dengan upaya-upaya : Pertama, memperbaiki infrastruktur. Hanl ini mencakup jaminan tingkat kesehatan dan kebersihan yang layak, penerangan yang cukup, dan lingkungan keseluruhan yang nyaman. Contohnya, konstruksi bangunan pasar berlantai dua tidak disukai di kalangan pedagang karena para pelanggan enggan untuk naik dan berbelanja di lantai dua. Untuk itu, Pemerintah Daerah dan pengelola pasar tradisional swasta harus melihat pasar tradisional bukan hanya sekadar sebagai sumber pendapatan.
Kedua, harus melakukan investasi dalam pengembangan pasar tradisional dan menetapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Hal ini mensyaratkan pengangkatan orang-orang berkualitas sebagai pengelola pasar dan memberikan mereka wewenang yang cukup untuk mengambil keputusan sehingga mereka tidak hanya bertindak sebagai pengumpul retribusi semata.
Ketiga, peningkatan kinerja pengelola pasar dengan menyediakan pelatihan atau evaluasi berkala. Selanjutnya, pengelola pasar harus secara konsisten berkoordinasi dengan para pedagang untuk mendapatkan pengelolaan pasar yang lebih baik. Kerjasama antar Pemda dan sektor swasta dapat menjadi contoh solusi untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional (www.semeru.co.id, 2007).
Terakhir, bahwa pedagang tradisional selama ini selalu dihadapkan pada masalah permodalan dan jaminan/asuransi atas barang dagangannya. Oleh sebab itu, sudah saatnya Pemda dan lembaga keuangan setempat memperhatikan hal ini. Strategi pengadaan barang yang kerap menjadi strategi utama pedagang tradisional adalah membeli barang dagangan dalam bentuk tunai dengan menggunakan dana pribadinya. Kondisi ini berdampak negatif terhadap usaha. Mereka menjadi sangat rentan terhadap kerugian yang disebabkan oleh rusaknya barang dagangan dan fluktuasi harga yang tidak menentu.
Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri
Artikel ini juga dimuat di beberapa media online seperti : http://www.sumbawanews.com dan http://www.nusatenggaranews.com
Isu-isu Utama Pasar Tradisional
Pasar tradisional mendapatkan keuntungan dari krisis keuangan dunia (global crisis) saat ini. Keinginan masyarakat/konsumen untuk memperoleh produk dengan harga murah di saat krisis membuat pasar tradisional terselamatkan dari desakan pasar modern. Kondisi ini bertolak belakang dengan pertumbuhan pasar modern yang kian agresif dan terus meningkatkan distribusi, promosi dan perbaikan model bisnis ritel.
Market Share dari pasar tradisional tahun 2008 lalu masih sekitar 80 persen dari total pasar di tanah air, sebagaimana menurut Retailer Service Director The Nielsen Indonesia, Yongky Susilo, di Jakarta, (Koran Jakarta, 18 Maret 2009) berdasarkan riset yang dilakukan The Nielsen Indonesia atas perilaku belanja rumah tangga di lima kota di Indonesia pada November 2008, penjualan produk ritel di pasar tradisional mencapai 79,2 persen. Orang ekspansi belanja ke pasar tradisional karena disana lebih murah, bisa ditawar, masyarakat khawatir terbuai promosi dan tergoda membeli barang sehingga menghabiskan uang dalam jumlah besar. Riset memperlihatkan rumah tangga yang berbelanja 54 kategori produk kebutuhan sehari-hari di hipermarket tinggal 45 persen atau turun dua persen dari 2007.
Sampai semester pertama 2009, tren terjadi penurunan belanja di hipermarket mencapai 27,5 persen. Ekspansi dari 2007 - 2008 untuk ritel format besar, yakni Hypermart dari 36 menjadi 43 unit, Giant Hyper dari 17 menjadi 26 unit, dan Carrefour dari 37 menjadi 42 unit, Giant dari 23 menjadi 55 unit, Superindo dari 56 menjadi 63 unit. Menurut riset Nielsen Indonesia juga memantau terjadinya inovasi format ritel modern, yaitu dengan munculnya toko midi yang lebih besar dari minimarket tetapi lebih kecil dari super market. Peritel yang telah meluncurkan toko-toko midi adalah Griya Hemat dan Alfa Midi. “Toko midi menjadi next generation format ritel modern, toko itu tidak kecil dan tidak juga besar.
Penjualan ritel barang konsumen yang masuk Fast Moving Consumer Group (FMCG) di luar rokok mencapai 109,6 triliun rupiah atau meningkat 15 persen ketimbang tahun lalu.
Salah satu hypermarket (Carrefour) merugikan usaha kecil menengah (UKM) yaitu melakukan penyewaan lahan berjualan kepada UKM. Menurut informasi bahwa hasil penerimaan dan penyewaan lahan berjualan lebih besar dari pada pendapatan usaha Carrefour yang sebenarnya (Media Indonesia, 27 Maret 2009).
Mayoritas pasar tradisional dikuasai dan dikelola oleh Pemda setempat, biasanya di bawah kendali Dinas Pasar. Sejumlah kecil pasar tradisional dikembangkan melalui kerjasama antara Pemda dan perusahaan swasta, umumnya di bawah skema bangun, operasi, dan transfer (build-operate-transfer/BOT). Perusahaan swasta kemudian membayar setiap tahun kepada Pemda sejumlah dana yang telah disepakati.
Pengelola pasar, yang diangkat oleh Kepala Dinas Pasar, mengelola pasar milik Pemda. Di beberapa kasus, pengelola pasar bertanggung jawab atas beberapa pasar sekaligus. Dinas Pasar menetapkan target retribusi pasar tahunan pada setiap pasar tradisional miliknya. Tugas utama yang diemban setiap kepala pasar adalah pemenuhan target yang sudah ditetapkan. Kegagalan pemenuhan target tidak jarang berbuntut pada pemberhentian langsung kepala pasar. Karena itu, penarikan dana retribusi dari para pedagang menjadi ajang perhatian utama dari setiap kepala pasar daripada pengelolaan pasar yang lebih baik.
Kehadiran pasar modern yang memberikan banyak kenyamanan membuat sebagian orang enggan untuk berbelanja ke pasar tradisional disebabkan : pertama, supermarket dapat menjual lebih banyak produk yang lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah; kedua, informasi daftar harga setiap barang tersedia dan dengan mudah diakses publik; ketiga, supermarket menyediakan lingkungan berbelanja yang lebih nyaman dan bersih, dengan jam buka yang lebih panjang, dan menawarkan aneka pilihan pembayaran seperti kartu kredit dan kartu debit dan menyediakan layanan kredit untuk peralatan rumahtangga berukuran besar; keempat, produk yang dijual di supermarket, seperti bahan pangan, telah melalui pengawasan mutu dan tidak akan dijual bila telah kedaluwarsa.
Pasar modern meskipun memiliki banyak kelebihan, akan tetapi dalam sistem pasar modern penentuan harga tidak bisa ditawar/sudah ditetapkan. Sedangkan pasar tradisional memiliki beberapa keunggulan, yakni : (1) masih adanya kontak sosial saat tawar menawar antara pedagang dan pembeli. Tidak seperti pasar modern yang memaksa konsumen untuk mematuhi harga yang sudah dipatok; (2) keinginan masyarakat memperoleh produk dengan harga murah di saat krisis membuat pasar tradisional terselamatkan dari desakan pasar modern; dan (3) pasar tradisional menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat kebanyakan. Di sana, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya, dari mulai para pedagang kecil, kuli panggul, pedagang asongan, hingga tukang becak. Di balik kelebihan tersebut, pasar tradisional biasanya becek dan bau, malas tawar menawar, faktor keamanan (copet, dsb), resiko pengurangan timbangan pada barang yang dibeli, penuh sesak, dan sejumlah alasan lainnya.
Revitalisasi Pasar Tradisional
Anggaran yang disediakan pemerintah hanya cukup untuk merehabilitasi fasilitas mikro di pasar-pasar tersebut. Total dana yang tesedia untuk merevitalisasi pasar tradisional pada tahun 2009 mencapai Rp 585 milyar berasal dari tiga sumber yakni stimulus fiskal untuk penanggulangan krisis ekonomi global Rp 315 miliar, dana alokasi khusus 120 milyar dan DIPA Depdag Rp 150 Miliar. Jumlah dana tesebut masih jauh dari kebutuhan untuk memperbaiki seluruh pasar tradisional.
Kendala yang membuat perbankan sulit mengucurkan dana untuk pasar tradisional antara lain : (1) pengelola pasar tidak mengetahui aset yang dibutuhkan untuk mendapatkan kredit bank. Sebagian besar kepemilikan kios di pasar tradisional berstatus hak pakai. Pengelola pasar bersedia meningkatkan status menjadi Hak Pengelolaan Lahan (HPL bahkan menjadi HGB jika bank mensyaratkan perubahan status tersebut); (2) belum ada bank khusus yang ditunjuk pemerintah untuk revitalisasi pasar tradisional; dan (3) adanya persaingan dengan pasar modern. Pada saat ini yang dibutuhkan dalam revitalisasi pasar tradisional yaitu pemotongan biaya transaksi, kreativitas, dan inovasi untuk mengembangkan keunikan masing-masing pasar (Kompas, Februari 2009).
Konflik antara pedagang pasar tradisional dengan pengelola dan Pemerintah disebabkan : (1) Dinas Pengelola Pasar sebagai leading sector tidak memiliki konsep yang jelas mengenai model revitalisasi pasar tradisional, sehingga sangat tergantung pada desain yang ditawarkan pengembang, apalagi keterbatasan dana turut memperlemah posisi tawar Pemerintah Kota dalam bernegosiasi dengan pengembang. Akibatnya, dalam sejumlah kasus, Pemerintah Kota justru dirugikan ketika ternyata desain yang diterapkan pengembang tidak berhasil dan pengembang akhirnya mengembalikan lagi proyek revitalisasi tersebut pada Pemerintah Kota; dan (2) tidak adanya political will dari Pemerintah Kota untuk membangun kesepahaman antara pemerintah dengan para pedagang di pasar tradisional tentang model revitalisasi yang akan diterapkan.
Rekomendasi Revitalisasi Pasar Tradisional
Dalam melakukan pengelolaan pasar, setidaknya dibutuhkan beberapa paradigma sebagai berikut : (1) paradigma dalam memandang pasar harus bergeser dari tempat bertransaksi ekonomi menjadi ruang publik tempat berlangsungnya interaksi sosial. Pasar yang sukses secara inheren memiliki bermacam-macam ruang yang berfungsi sebagai ruang publik, misalnya jalan, gang, tangga, trotoar, plaza terbuka, dan lain-lain, di mana tindakan untuk mencegah masyarakat menggunakan barang publik yang milik umum tersebut akan menjadi sangat mahal atau sulit, karena hak-hak "kepemilikan" terhadap barang-barang tersebut sangat labil dan sulit dispesifikasi secara tegas; (2) model revitalisasi pasar tradisional difokukan pada upaya memperbaiki jalur distribusi komoditas yang diperjual-belikan di pasar-pasar tradisional. Distribusi sini mengandung makna yang luas, mulai dari pemilahan komoditas; pengangkutan; bongkar muat; pengemasan; hingga penjualan komoditas di pasar; (3) pembangunan pasar jangan dihambat oleh kepentingan mencari keuntungan finansial karena pembangunan pasar selain memiliki tujuan sosial juga berperan untuk mereduksi biaya sosial, di mana revitalisasi pasar tradisional harus dipandang sebagai investasi jangka panjang dalam kerangka pengembangan properti kota (property development); (4) modernisasi pasar juga merupakan langkah untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil. Modernisasi pasar disini dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan pasar secara modern sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, sekaligus untuk menghambat beralihnya tempat belanja masyarakat; (5) Model kemitraan pemerintah kota perlu melibatkan pengembang untuk merevitalisasi pasar; (6) pasar tradisional harus dikelola secara kreatif untuk memecahkan persoalan ruang usaha bagi masyarakat.
Pasar, tempat usaha rakyat harus diciptakan secara lebih imajinatif, kreatif, dan rekreatif untuk bisa berkompetisi dengan department stores, shopping centers, mall, dan sejenisnya yang biasa dipasok sektor swasta. Ragam pasar yang lebih transformatif seperti pasar tematik (pasar elektronik, pasar tekstil, dll.), dapat dikembangkan menjadi model pengembangan pasar modern agar pasar modern tidak memonopoli seluruh komoditas yang menyebabkan daya saing pasar tradisional makin lemah (Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Pasar di Bandung, 2007).
Kondisi Pasar Tradisional
Untuk optimalisasi pasar tradisional, pemerintah telah melakukan beberapa hal terutama terkait pembinaan dan pengawasan. Beberapa pasar tradisional di beberapa kota sudah berhasil dikembangkan, di antaranya Wali Kota Solo telah berhasil membina unit pasar tradisional yaitu membina sebanyak enam unit pasar tradisional sehingga berhasil mendapat penghargaan dari MENPAN. Di Bandung pasar tradisional dikembangkan dan dimodifikasi sesuai produk khususnya, yaitu pasar Cibaduyut untuk pasar sepatu. Sementara di Jakarta, Pasar Tanah Abang secara khusus untuk pasar produk tekstil dan pakaian, Pasar Mayestik khusus untuk sembako dan aneka kue, serta Pasar Festival khusus kuliner dan hiburan di Kuningan/area di Jakarta. Kemudian di Provinsi Bali dikembangkan pasar tekstil, pakaian, produk seni dan kerajinan lokal di Sukowati dan di Tanah Lot.
Persoalan Pasar Tradisional
Deputi Kerjasama dan Investasi, Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo) (Kompas, 16 Maret 2009) mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen, dari 8.500 pasar tradisional di Indonesia, berusia di atas 20 tahun. Ini mengkhawatirkan karena membuat pasar tradisional yang menjadi tempat berdagang lebih dari 12 juta orang pedagang itu tidak mampu bersaing dengan pasar modern, oleh karena itu pasar-pasar tersebut mendesak untuk direvitalisasi. Pemerintah sudah mencanangkan program revitalisasi, tetapi tidak mendapatkan dukungan lembaga keuangan, terutama perbankan nasional. Anggaran yang disediakan pemerintah hanya cukup untuk merehabilitasi fasilitas mikro di pasar-pasar tradisional tersebut.
Total dana yang tersedia untuk merevitalisasi pasar tradisional pada 2009 relatif kecil hanya Rp 585 miliar, berasal dari tiga sumber, yakni stimulus fiskal untuk penanggulangan krisis ekonomi global Rp 315 miliar, dana alokasi khusus Rp 120 miliar, dan DIPA Depdag Rp 150 miliar.
Jumlah dana yang tersedia itu masih jauh dari kebutuhan untuk memperbaiki seluruh pasar tradisional yaitu sebanyak 6.800 pasar, sehingga menimbulkan persoalan yang membuat perbankan sulit mengucurkan kredit pembangunan pasar tradisional. Terlebih, belum ada bank khusus yang ditunjuk pemerintah untuk kredit investasi revitalisasi pasar tradisional, disamping terjadinya persaingan dengan pasar modern.
Permasalahan terkait pengelolaan pasar tradisional antara lain : (1) permasalahan dan citra negatif pasar tradisional umumnya terjadi akibat kurang disiplinnya pedagang, pengelola pasar yang tidak profesional, dan tidak tegas dalam menerapkan kebijakan atau aturan terkait pengelolaan operasional pasar; (2) pasar tradisional umumnya memiliki desain yang kurang baik, termasuk minimnya fasilitas penunjang, banyaknya pungutan liar dan berkeliarannya "preman-preman" pasar serta sistem operasional dan prosedur pengelolaannya kurang jelas (Kompas, 16 Februari 2009); (3) masalah internal pasar seperti buruknya manajemen pasar, sarana dan prasarana pasar yang sangat minim, pasar tradisional sebagai sapi perah untuk penerimaan retribusi, menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mengurangi pelanggan pedagang pasar, dan minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi pedagang tradisional.
Menurut Kantor Menko Perekonomian, dukungan pembiayaan untuk pasar tradisional cukup banyak. Kini, yang dibutuhkan adalah pemotongan biaya transaksi, kreativitas dan inovasi untuk mengembangkan keunikan masing-masing pasar.
Data pasar tradisional per 18 Desember 2008, jumlah pedagang 12.625.000 orang, pertumbuhan pasar tradisional menyusut 8,1 persen setiap tahun. Di Jakarta, setiap tahun 400 kios tutup, kontribusi pasar tradisional terhadap penjualan 47 produk terus menyusut, dari 78,1 persen pada tahun 2000 menjadi 69,9 persen pada tahun 2004.
Kendala terberat bagi pasar tradisional adalah sulitnya perbankan mengucurkan kredit pembangunan pasar tradisional. Hal ini disebabkan beberapa kendala seperti tidak jelasnya jenis aset pasar tradisional, serta status kepemilikan kios berupa hak pakai, bukan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atau Hak Guna Bangunan (HGB). Selain kendala tersebut, pasar tradisional juga dihadapkan pada permasalahan belum adanya bank khusus untuk penyaluran kredit investasi revitalisasi pasar tradisional, dan belum dibuatnya standar khusus pelayanan publik pasar tradisional.
Solusi Permasalahan
Kunci solusi sebenarnya ada di tangan pemerintah. Yang diperlukan adalah aturan tata ruang yang tegas yang mengatur penempatan pasar tradisional dan pasar modern. Misalnya tentang berapa jumlah hypermarket yang boleh ada untuk setiap wilayah di satu kota. Lalu berapa jarak yang diperbolehkan dari pasar tradisional jika pengusaha ingin membangun supermarket. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi ancaman kebangkrutan pada pasar tradisional akibat kepungan pasar modern yang tidak terkendali, dan memberikan wahana persaingan yang sehat antara keduanya.
Selain itu, perlu merubah “wajah” pasar tradisional agar bisa lebih nyaman dan teratur. Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya lebih sering mengedepankan kepentingan investor ketimbang kepentingan para pedagang sendiri. Harga kios yang tinggi tanpa kompromi kerap membuat pedagang “alergi” mendengar kata pembenahan. Keadaan ini tidak jarang akhirnya menimbulkan perselisihan antara pedagang lama dengan investor yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional (Indrakh wordpress.com. 2007).
Saat ini, Departemen Perdagangan menfokuskan program 2009 pada pembinaan dan revitalisasi pasar tradisional termasuk melakukan pelatihan manajemen pengelolaan pasar tradisional, penyusunan model pembangunan dan pengelolaan pasar, pelaksanaan pos ukur ulang dan perlindungan konsumen (Kompas, 16 Februari 2009).
Untuk menciptakan kondisi lingkungan pasar tradisional yang lebih baik dan lebih nyaman, kebijakan-kebijakan yang akan membantu meningkatkan daya saing pasar tradisional harus diciptakan dan dilaksanakan, dengan upaya-upaya : Pertama, memperbaiki infrastruktur. Hanl ini mencakup jaminan tingkat kesehatan dan kebersihan yang layak, penerangan yang cukup, dan lingkungan keseluruhan yang nyaman. Contohnya, konstruksi bangunan pasar berlantai dua tidak disukai di kalangan pedagang karena para pelanggan enggan untuk naik dan berbelanja di lantai dua. Untuk itu, Pemerintah Daerah dan pengelola pasar tradisional swasta harus melihat pasar tradisional bukan hanya sekadar sebagai sumber pendapatan.
Kedua, harus melakukan investasi dalam pengembangan pasar tradisional dan menetapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM). Hal ini mensyaratkan pengangkatan orang-orang berkualitas sebagai pengelola pasar dan memberikan mereka wewenang yang cukup untuk mengambil keputusan sehingga mereka tidak hanya bertindak sebagai pengumpul retribusi semata.
Ketiga, peningkatan kinerja pengelola pasar dengan menyediakan pelatihan atau evaluasi berkala. Selanjutnya, pengelola pasar harus secara konsisten berkoordinasi dengan para pedagang untuk mendapatkan pengelolaan pasar yang lebih baik. Kerjasama antar Pemda dan sektor swasta dapat menjadi contoh solusi untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional (www.semeru.co.id, 2007).
Terakhir, bahwa pedagang tradisional selama ini selalu dihadapkan pada masalah permodalan dan jaminan/asuransi atas barang dagangannya. Oleh sebab itu, sudah saatnya Pemda dan lembaga keuangan setempat memperhatikan hal ini. Strategi pengadaan barang yang kerap menjadi strategi utama pedagang tradisional adalah membeli barang dagangan dalam bentuk tunai dengan menggunakan dana pribadinya. Kondisi ini berdampak negatif terhadap usaha. Mereka menjadi sangat rentan terhadap kerugian yang disebabkan oleh rusaknya barang dagangan dan fluktuasi harga yang tidak menentu.
Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri
Artikel ini juga dimuat di beberapa media online seperti : http://www.sumbawanews.com dan http://www.nusatenggaranews.com
Posting Komentar