|
Salah Satu Tempat Ibadah Agama Baha'i |
PHYLOPOP.com - Halo Phylovers gimana kabarnya di liburan lebaran kali ini? Semoga sehat selalu setelah tentunya bersalaman dan bermaafan dengan kerabat dan sanak
family.
Amin!Mengisi liburan dan sebagai bahan bacaan selepas Bulan Ramadhan, kali ini Phylopop sajikan terkait Agama Baha'i. Agama Baha'i akhir-akhir ini hangat diberitakan berbagai media online. Penganutnya di Indonesia menyebar di berbagai daerah. Bahkan pemerintah dikabarkan akan mengakui Baha'i sebagai salah satu agama yang diakui berlaku di Indonesia selain Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu dan Konghucu.
Pertanyaan Phylopop, benarkah Baha'i sebuah agama tersendiri dan bukan merupakan suatu aliran kepercayaan? Benarkah pemerintah kita mengakuinya sebagai agama resmi di Indonesia? Alasan apa yang mendasari pengakuan tersebut?
Itu hanya sekelumit pertanayaan yang muncul bagi Phylopop, yang mungkin juga mewakili apa yang menjadi pemikiran Phylovers di seluruh Indonesia.
Sejarah Kelahiran Pada tahun 1844 Sayyid ‘Alí Muhammad dari Shíráz, Iran, yang lebih dikenal dengan gelarnya Sang Báb (artinya “Pintu” dalam bahasa Arab), mengumumkan bahwa dia adalah pembawa amanat baru dari Tuhan. Dia juga menyatakan bahwa dia datang untuk membuka jalan bagi wahyu yang lebih besar lagi, yang disebutnya “Dia yang akan Tuhan wujudkan”. Antara lain, Sang Báb mengajarkan bahwa banyak tanda dan peristiwa yang ada dalam Kitab-kitab suci harus dimengerti dalam arti kias, bukan arti harfiah.
Agama Báb tumbuh dengan pesat di semua kalangan di Iran, tetapi juga dilawan dengan keras, baik oleh pemerintah maupun para pemimpin agama. Sang Báb dipenjarakan di benteng Máh-Kú di pegunungan Azerbijan, di mana semua penduduk bersuku bangsa Kurdi, yang dikira membenci orang Syiah; tetapi tindakan itu tidak berhasil memadamkan api agamanya, dan mereka pun menjadi sangat ramah terhadap Sang Báb.
Kemudian dia dipenjarakan di benteng Chihríq yang lebih terpencil lagi, tetapi itu juga tidak berhasil mengurangi pengaruhnya. Pada tahun 1850 Sang Báb dihukum mati dan dieksekusi di kota Tabríz. Jenazahnya diambil oleh para pengikutnya secara diam-diam, dan akhirnya dibawa dari Iran ke Bukit Karmel di Palestina (sekarang Israel) dan dikuburkan di suatu tempat yang ditentukan oleh Bahá’u’lláh. Makam Sang Báb kini menjadi tempat berziarah yang penting bagi umat Bahá’í
Antara tahun 1848 dan 1852, lebih dari 20.000 penganut agama Báb telah dibunuh, termasuk hampir semua pemimpinnya. Mírzá Husayn ‘Alí yang lebih dikenal dengan gelarnya Bahá’u’lláh (artinya “Kemuliaan Tuhan” dalam bahasa Arab) adalah seorang bangsawan Iran yang menjadi pendukung utama Sang Báb. Pada tahun 1852, ketika Bahá’u’lláh ditahan di penjara bawah tanah Síyáh-Chál (“lubang hitam”) di kota Teheran, dia menerima permulaan dari misi Ilahinya sebagai “Dia yang akan Tuhan wujudkan” sebagaimana telah diramalkan oleh Sang Báb.
Pada tahun 1863, di sebuah taman yang diberi nama Taman Ridwán, Bahá’u’lláh mengumumkan misinya kepada para pengikut Báb yang berada di Baghdad, dan sejak itu agama ini dikenal sebagai agama Bahá’í.
Pada tahun 1868, Bahá’u’lláh diasingkan ke kota ‘Akká di Palestina (sekarang Israel), yang pada waktu itu dipakai sebagai penjara oleh kekaisaran Usmani. Dalam Kitáb-i-‘Ahd, surat wasiatnya, Bahá’u’lláh telah menunjuk putranya, ‘Abdu’l-Bahá sebagai pemimpin agamanya dan Penafsir tulisannya. Hal itu menjamin agar agama Bahá’í tidak mengalami perpecahan.
‘Abdu’l-Bahá telah mengalami pembuangan dan pemenjaraan yang panjang bersama ayahnya. Setelah dia dibebaskan sebagai akibat dari “Revolusi Pemuda Turki” (pada tahun 1908), dia mengadakan suatu perjalanan besar selama tahun 1910-1913 ke Mesir, Inggris, Skotlandia, Perancis, Amerika Serikat, Jerman, Austria, dan Hungaria, di mana dia mengumumkan prinsip-prinsip ajaran Bahá’í. ‘Abdu’l-Bahá juga mengirimkan ribuan surat ke masyarakat-masyarakat Bahá’í setempat di Iran, dengan akibat umat itu yang dahulu miskin dan hina menjadi berpendidikan dan mandiri. ‘Abdu’l-Bahá wafat di Haifa pada tahun 1921, dan kini dikuburkan di salah satu ruang dari Makam Sang Báb.
Konsep Ketuhanan Para penganut agama Bahá’í beriman kepada Tuhan Yang Esa, dan Bahá’u’lláh menegaskan bahwa semua percobaan untuk memahami atau mengisyaratkan Realitas Ilahi dalam pernyataan mana pun, tidak lain hanyalah penipuan diri: "Bagi mereka yang berilmu dan hatinya diterangi, telah terbukti bahwa Tuhan, Hakikat yang tak dapat diketahui, Keberadaan Suci, sangatlah dimuliakan melebihi segala sifat manusia, seperti keberadaan jasmani, naik dan turun, maju dan mundur. Jauhlah dari kemuliaan-Nya bahwa lidah manusia dapat mengatakan pujian yang cukup bagi-Nya, atau hati manusia memahami rahasia-Nya yang tak terkira."
Menurut ajaran Bahá’í, alat yang dipakai oleh Pencipta segala makhluk untuk berinteraksi dengan ciptaan-Nya yang terus berevolusi adalah munculnya Sosok-sosok kerasulan yang mewujudkan sifat-sifat dari Ketuhanan Yang tak dapat dijangkau itu: "Oleh karena pintu pengetahuan Sang Purba ditutup sedemikian rupa di depan wajah semua makhluk, maka Sumber kemuliaan yang tak terhingga … telah menyebabkan para Permata Kesucian muncul dari alam rohani, dalam bentuk mulia badan manusia dan dijelmakan kepada seluruh umat manusia, agar mereka membagikan rahasia Tuhan … kepada dunia, dan mengabarkan tentang kehalusan Hakikat-Nya yang kekal." Menurut Bahá’u’lláh, apa yang dimaksud dengan "mengenal Tuhan", adalah mengenal para Perwujudan yang menyatakan kehendak-Nya dan sifat-sifat-Nya, dan justru di sinilah jiwa menjadi akrab dengan Pencipta Yang melebihi bahasa maupun pemahaman.
Agama Bahá’í menganggap para "Perwujudan Tuhan" itu, yang telah menjadi pendiri agama-agama besar di dunia, sebagai wakil Tuhan di bumi dan pembimbing utama umat manusia. Menurut ajaran Bahá’u’lláh, semua perbedaan dan pembatasan yang berkaitan dengan wahyu mereka masing-masing telah ditentukan oleh Tuhan sesuai dengan kebutuhan misinya. Oleh karena itu, orang-orang Bahá’í tidak meninggikan salah satu Perwujudan di atas yang lainnya, tetapi menganggap, dalam kata-kata Bahá’u’lláh, bahwa mereka semua "berdiam dalam kemah yang sama, membubung di langit yang sama, duduk di atas takhta yang sama, mengucapkan sabda yang sama, serta mengumumkan Agama yang sama".
Ajaran-Ajaran IntiDari banyak ajaran Bahá’í, dua belas asas yang bersifat sosial berikut ini paling sering dikutip:
- Keesaan Tuhan
- Kesatuan agama
- Persatuan umat manusia
- Persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria
- Penghapusan segala macam prasangka buruk
- Perdamaian dunia
- Persesuaian antara agama dan ilmu pengetahuan
- Mencari kebenaran secara bebas
- Keperluan untuk pendidikan universal yang wajib
- Keperluan untuk bahasa persatuan sedunia
- Tidak boleh campur tangan dalam politik
- Penghapusan kemiskinan dan kekayaan yang berlebih-lebihan
Kebanyakan hukum Bahá’í terdapat dalam Kitáb-i-Aqdas tetapi hukum-hukum itu akan diterapkan secara bertahap sesuai dengan keadaan masyarakat. Beberapa hukum Bahá’í yang sudah berlaku secara umum adalah yang berikut ini:
- Sembahyang wajib Bahá’í.
- Membaca tulisan suci tiap hari.
- Dilarang bergunjing dan memfitnah.
- Menjalankan puasa Bahá’í tiap tahun.
- Minuman beralkohol dan obat bius dilarang, kecuali untuk perawatan medis.
- Hubungan seksual di luar nikah, dan homoseksual dilarang.
- Dilarang berjudi.
Dalam ajaran Bahá’í, memisahkan diri dari dunia tidak diperbolehkan, tetapi sebaliknya manusia harus bekerja. Melakukan pekerjaan yang berguna dianggap beribadah.
Jumlah PengikutSumber-sumber Bahá’í biasanya memperkirakan jumlah penganut Bahá’í di atas 5 juta. Kebanyakan sumber lain memperkirakan antara 5-6 juta.
Menurut
The World Almanac and Book of Facts 2004, Kebanyakan penganut Bahá’í hidup di Asia (3,6 juta), Afrika (1,8 juta), dan Amerika Latin (900.000). Menurut beberapa perkiraan, masyarakat Bahá’í yang terbesar di dunia adalah India, dengan 2,2 juta orang Bahá’í, kemudian Iran, dengan 350.000, dan Amerika Serikat, dengan 150.000. Selain negara-negara itu, jumlah penganut sangat berbeda-beda. Pada saat ini, belum ada negara yang mayoritasnya beragama Bahá’í. Guyana adalah negara dengan persentase penduduk yang beragama Bahá’í yang paling besar (7,0%).
Encyclopedia Britannica Book of the Year (1992-kini) memberikan informasi sebagai berikut: agama paling tersebar di dunia setelah Nasrani menurut jumlah negeri di mana para penganut tinggal, ada di 247 negeri di seluruh duni, anggotanya berasal dari lebih dari 2.100 suku, ras, dan suku bangsa, dan tulisan suci Bahá’í telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 800 bahasa.
Rumah IbadahRumah ibadah Bahá’í dinamakan “Mashriqu’l-Adhkár” (“Tempat-terbit pujian kepada Tuhan”), yakni tempat untuk berdoa, meditasi dan melantunkan ayat-ayat suci Bahá’í dan agama-agama lain. Rumah ibadah Bahá’í ini terbuka bagi orang-orang dari semua agama.
Rumah ibadah Bahá’í bertemakan ketunggalan: harus mempunyai sembilan sisi dengan sebuah kubah di tengahnya, dan direncanakan untuk masa depan sebagai pusat dari berbagai lembaga sosial bagi masyarakat setempat, termasuk rumah sakit, universitas, rumah jompo, dan lain sebagainya. Sampai sekarang di seluruh dunia ada tujuh Rumah ibadah Bahá’í—di New Delhi, India; Kampala, Uganda; Frankfort, Jerman; Wilmette, Illinois, Amerika Serikat; Panama City, Panama; Apia, Samoa Barat; dan Sydney, Australia.
Baha'i di Indonesia Baha’i masuk ke Indonesia sekitar tahun 1878, dibawa oleh dua orang pedagang dari Persia dan Turki, yaitu Jamal Effendi dan Mustafa Rumi. Dalam situs resmi agama Baha'i di Indonesia, dijelaskan, agama Baha’i adalah agama yang independen dan bersifat universal, bukan sekte dari agama lain. Namun, berapa jumlah pemeluk Baha'i di Indonesia hingga saat ini tidak diketahui dengan pasti.
Pada tanggal 24 Juli 2014, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan melalui akun Twitternya bahwa ia tengah mengkaji Baha'i apakah bisa diterima sebagai agama baru di Indonesia atau tidak. Kajian ini dilakukan setelah Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengirimkan surat yang mempertanyaan perihal Baha'i ini.
Tanggapan Menteri Agama Lukman membeberkan, bahwa pengakuan Baha'i sebagai agama baru, setelah Menteri Dalam Negeri mengirimkan surat pertanyaan soal Baha'i ini.
Berikut penjelasan Lukman melalui akun twitter pribadi miliknya:
"1. Awalnya Mendagri bersurat, apakah Baha'i memang benar merupakan salah saru agama yg dipeluk penduduk Indonesia? #Baha'i."
"2. Pertanyaan ke Menag itu muncul terkait keperluan Kemendagri memiliki dasar dlm memberi pelayanan administrasi kependudukan. #Baha'i"
"3. Selaku Menag saya menjawab, Baha'i merupakan agama dari sekian banyak agama yg berkembang di lebih dari 20 negara. #Baha'i"
"4. Baha'i adalah suatu agama, bukan aliran dari suatu agama. Pemeluknya tersebar di Banyuwangi (220 org), Jakarta (100 org), #Baha'i"
"5. Medan (100 org), Surabaya (98 org), Palopo (80 org), Bandung (50 org), Malang (30 org), dll. #Baha'i"
"6. Saya menyatakan bahwa Baha'i adalah termasuk agama yg dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945. #Baha'i"
"7. Berdasar UU 1/PNPS/1965 dinyatakan agama Baha'i merupakan agama di luar Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.. #Baha'i"
"8. ... yg mendapat jaminan dari negara dan dibiarkan adanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. #Baha'i"
"9. Saya berpendapat umat Baha'i sebagai warganegara Indonesia berhak mendapat pelayanan kependudukan, hukum, dll dari Pemerintah. #Baha'i"Menteri Agama Lukman Hakim Safuddin membantah menyatakan Baha'i sebagai agama baru. Lukman mengaku hanya mengatakan Baha'i sebagai agama mandiri dan dianut sejumlah masyarakat Indonesia.
Lukman menuturkan maksud cuitannya melalui akun Twitter @lukmansaifuddin pada Jumat, 25 Juli 2014, soal Baha'i adalah untuk menjawab pertanyaan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Pertanyaan itu, ujar Lukman, terkait dengan tugas Gamawan untuk memberikan pelayanan pada masyarakat.
Menurut Lukman, ada dua pertanyaan yang diajukan Gamawan, yaitu apakah Baha'i agama dan apakah ada warga negara Indonesia yang memeluk Baha'i.
"Lalu, saya katakan, Baha'i benar satu agama. Baha'i bukan sekte. Ia agama yang berdiri sendiri," tutur Lukman.
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan ini dalam cuitannya menyatakan para warga negara Indonesia yang menjadi pemeluk Baha'i tetap berhak mendapat pelayanan kependudukan dan hukum dari pemerintah.
Tanggapan Din Syamsuddin Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan Pemerintah Indonesia harus menjamin dan melindungi masyarakat yang menganut ajaran Baha'i. "
Pemerintah sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29 wajib menjamin dan melindungi kebebasan warga negara untuk memeluk dan menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama masing-masing, termasuk adanya warga Negara Indonesia yang menganut ajaran Baha'i," kata Din Syamsuddin di Bantul, Yogyakarta, Senin (28/7/2014).
Menurut dia, saat ini hanya beberapa agama yang mendapatkan pengakuan sosial, yaitu lima atau enam agama, dan yang mayoritas di Indonesia adalah Islam.
"Maka, selama agama itu kecil, namun keberadaannya riil ada di masyarakat, dan betul-betul sebagai agama. Maka, negara tidak bisa menghalangi," katanya.
Namun, kata dia, jika ajaran tersebut bukan agama, tetapi hanya mengaitkan dengan agama yang telah ada, dan menyelewengkan ajarannya, maka hal tersebut tidak bisa dikatakan agama.
"Ahmadiyah tidak bisa dikatakan agama, karena dia mencatolkan diri dengan Islam. Keyakinannya bertentangan dengan aqidah Islam yaitu dengan adanya nabi baru yakni Mirsa Gulam Ahmad. Namun, Baha'i atau ajaran kecil lainnya merupakan agama yang telah eksis di dunia," katanya.
Din mengatakan sebagai presiden tokoh-tokoh agama Asia dan tokoh-tokoh agama sedunia, ajaran Baha'i adalah suatu agama tersendiri, meski secara sejarah Baha'i lahir dalam kandungan Islam.
"Pendiri Baha'i seorang sufi yang mengkristal menjadi agama tersendiri, sama seperti beberapa ajaran lain yang ada di Indonesia yang berkembang menjadi agama tersendiri," katanya.
PenutupMenganut suatu agama atau kepercayaan tertentu merupakan hak asasi yang dilindungi konstitusi kita. Jika suatu aliran/kepercayaan itu lahir dan berkembang dalam masyarakat, kewajiban negara untuk melindunginya. Namun jika itu suatu agama, maka untuk mendapatkan perlindungan dan pengakuan dari negara harus diakui secara syah oleh lembaga yang berwenang dalam hal ini Kementerian Agama. Dengan demikian keberadaannya akan terjamin dan dilindungi negara.
Kenyataan Baha'i sebagai aliran kepercayaan atau sebagai suatu agama tentu mendapat perlakuan yang berbeda dari negara. Jika Baha'i adalah agama, harus dipastikan terlebih dahulu ia bukan merupakan aliran kepercayaan dan tidak boleh bertentangan dengan agama-agama yang sudah diakui secara resmi di Indonesia. Artinya untuk diakui sebagai sebuah agama, Baha'i haruslah merupakan agama yang independen agar tidak menodai agama lain.
Namun ditilik dari sejarah dan keberadaannya di berbagai negara, Baha'i merupakan sebuah agama dan bukan sebuah aliran kepercayaan. Tak dipungkiri memang sebagian kajian mengatakannya sebagai salah satu aliran Syiah.
Dalam konteks Indonesia, yang bisa Phylopop simpulkan adalah meskipun Baha'i termasuk agama yg dilindungi konstitusi sesuai Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, akan tetapi secara konkrit pengakuan tersebut mutlak ditetapkan oleh lembaga berwenang agar bisa sama pelakuannya dengan agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu dan Konghucu yang sudah terlebih dahulu diakui.
Bagaimana tanggapan Phylovers? Silakan beri komentar di kolom komentar di bawah ini.