Penulis:
Zainudin, M.Si.
Widyaiswara Muda Badan Diklat Kemendagri
Alumni Diklat TOF Angkatan Pertama Pusat Diklat Kemendagri Regional Yogyakarta
Alumni Diklat TOF Angkatan Pertama Pusat Diklat Kemendagri Regional Yogyakarta
Jakarta, 09 April 2014
(Silakan ambil/copy artikel ini, tapi untuk menghargai karya penulis jangan lupa sertakan sumber aslinya)
PHYLOPOP.com - Pemberlakuan Diklatpim dengan sistem penyelenggaraan pola baru (Diklatpim Pola Baru) tak lagi dapat ditawar. Hal ini sejalan dengan komitmen Lembaga Administrasi Negara (LAN-RI) untuk melakukan reformasi penyelenggaraan Diklatpim mulai tahun 2014. Memantapkan langkah tersebut, LAN-RI melakukan sosialiasi dalam berbagai kesempatan koordinasi antar instansi pemerintah (pusat dan daerah), melalui penyelenggaraan Diklatpim Pola Baru, dan yang paling mendapat perhatian adalah melalui fasilitasi penyelenggaraan Training of Facilitators (ToF) di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah.
Mempercepat capaian target alumni ToF, langkah pertama dilakukan LAN-RI adalah bermitra dengan Badan Diklat Kemendagri melalui fasilitasi penyelenggaraan ToF angkatan pertama. Langkah ini dapat dimaklumi mengingat posisi Kemendagri sebagai corong penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasca ToF angkatan pertama, secara maraton LAN-RI bersinergi dengan Kemendagri untuk mencetak alumni yang siap menjadi fasilitator penyelenggaraan ToF, Diklatpim Tk. IV dan Diklatpim Tk. III di pusat dan daerah.
Diklatpim Pola Baru diatur melalui Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara (Perka LAN-RI) Nomor 10 Tahun 2013 untuk Diklatpim Tk. I, Perka LAN-RI Nomor 11 Tahun 2013 untuk Diklatpim Tk. II, Perka LAN-RI Nomor 12 Tahun 2013 untuk Diklatpim Tk. III, dan Perka LAN-RI Nomor 13 Tahun 2013 untuk Diklatpim Tk. IV. Berdasar Perka LAN-RI tersebut, Diklatpim Tk. I bertujuan untuk mencetak pemimpin visioner, Diklapim Tk. II untuk mencetak pemimpin strategis, Diklatpim Tk. III untuk mencetak pemimpin taktikal, dan Diklatpim Tk. IV untuk mencetak pemimpin di tataran operasional.
Untuk mencetak pemimpin sesuai dengan jenjang jabatan tersebut, kurikulum Diklatpim Pola Baru disusun dalam lima tahap.
Tahap I, Diagnosa Kebutuhan Perubahan dengan melakukan diagnosa masalah-masalah organisasi agar teridentifikasi area yang akan di-reform. Tahap II, Taking Ownership (Breakthrough I) dimana peserta mengkomunikasikan masalah organisasi pada stakeholders dan mendapat persetujuan/otorisasi dari atasan langsung terkait area yang akan dirubah. Tahap III, Merancang Perubahan dan Membangun Tim untuk mengidentifikasi stakeholders terkait, melakukan komunikasi intensif dengan stakholders tersebut, merancang proyek perubahan (proposal), dan menyajikan proposal proyek perubahan untuk mendapat masukan. Tahap IV, Laboratorium Kepemimpinan (Breakthrough II) dimana peserta diuji kapasitas kepemimpinannya melalui implementasi proyek perubahan di instansinya. Tahap V, Evaluasi untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman hasil implementasi proyek perubahan melalui seminar proyek perubahan.
Memahamkan Istilah Diagnostic Reading
Dari struktur kurikulum, Agenda Diagnostic Reading (DR) bersama Agenda Self Mastery ada di Tahap I, yakni Tahap Diagnosa Kebutuhan Perubahan. Agenda DR terdiri dari dua Mata Diklat, yakni Diagnostic Reading itu sendiri dan Organisasi Berkinerja Tinggi. Mata Diklat DR ada pada semua jenjang Diklatpim (Tingkat I, II, III dan IV). Mata Diklat Organisasi Berkinerja Tinggi khusus untuk Diklatpim Tk. II. Bersama Self Mastery, Agenda DR menjadi landasan awal dalam setiap penyelenggaraan Diklatpim, meski pada prinsipnya semua agenda merupakan satu kesatuan yang saling terkait.
Secara bahasa, istilah diagnostic reading berasal dari dua kata (bahasa Inggris), yakni diagnostic dan reading. Dalam bahasa Indonesia, istilah diagnostic biasa diartikan diagnosa. Dalam ilmu kedokteran, istilah diagnostic dimaknai sebagai ilmu untuk menentukan jenis penyakit berdasarkan gejala yang ada. Menurut Webster, diagnostic merupakan proses menentukan hakikat kelainan atau ketidakmampuan dengan ujian dan melalui ujian tersebut dilakukan suatu penelitian yang hati-hati terhadap fakta-fakta untuk menentukan masalahnya. Sedangkan menurut Harriman dalam bukunya “Handbook of Psychological Term”, diagnostic adalah suatu analisis terhadap kelainan atau salah penyesuaian dari simptom-simptomnya. Dapat disimpulkan bahwa diagnostic adalah suatu cara menganalisis suatu kelainan/penyakit dengan mengamati gejala-gejala yang nampak dan dari gejala tersebut dicari faktor penyebab kelainan/penyakit tersebut.
Sedangkan reading dalam bahasa Indonesia biasa diartikan membaca. Depdikbud-RI (1985) mengartikan membaca sebagai proses pengolahan bacaan secara kritis dan kreatif yang dilakukan dengan tujuan memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh tentang bacaan tersebut, serta penilaian terhadap keadaan, nilai, fungsi, dan dampak bacaan itu. Definisi ini sesuai dengan membaca pada tingkat lanjut, yakni membaca kritis dan membaca kreatif.
Menurut Thorndike (1967), membaca merupakan proses berpikir atau bernalar. Sementara Burn Anderson (1985) berpandangan membaca sebagai suatu proses kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan lambang-lambang bahasa tulis. Hal ini sesuai dengan membaca pada level rendah. Richard C. Anderson mengartikan membaca sebagai proses membentuk arti dari teks-teks tertulis.
Mendasari pemahaman di atas, dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa diagnostic reading adalah proses mendiagnosa gejala-gejala penyakit organisasi dengan melakukan penilaian terhadap fungsi-fungsi organisasi sesuai jenjang jabatannya dalam rangka merancang perubahan secara tepat. Tahapnya dengan cara melakukan diagnosa terhadap unit organisasi, mencari dimensi yang bermasalah, dan menyusun langkah untuk mengubahnya.
Peranan Agenda Diagnostic Reading
Membelajarkan DR secara prinsip hampir sama pada semua jenjang jabatan struktural (Diklatpim Tk. IV, III, II dan I). Bedanya ada pada area diagnosa perubahannya. Diklatpim Tk. I sebagai top leader mendiagnosa pada area visi (vision), dijabarkan dalam misi (mission) untuk mencapai tujuan (goal) dan sasaran (objectives) organisasi. Diklatpim Tk. II pada area strategi (strategy) untuk mewujudkan visi dan misi. Diklatpim Tk. III pada area peningkatan kinerja melalui program kerja. Diklatpim Tk. IV pada area peningkatan kinerja dalam bentuk kegiatan.
Agenda DR punya peran strategis. Sebagai bagian dari tugas utama seorang pemimpin perubahan, mendiagnosa organisasi merupakan langkah awal yang sangat menentukan. Kesalahan mendiagnosa organisasi paling tidak berakibat dua hal. Pertama, pemimpin dapat merasa kurang percaya diri dalam meyakini apakah tujuannya benar atau tidak. Kedua, pemimpin akan kesulitan mendapatkan argumentasi yang tepat dalam meyakinkan stakeholders-nya. Keduanya dapat menjadi pintu masuk bagi stakeholdersyang resisten untuk menggagalkan perubahan yang akan dilaksanakan.
Ingin terhindar dari kesalahan diagnosa organisasi, dua prasyarat berikut mutlak dimiliki: penguasaan diri dan teknis mendiganosa organisasi.
Seorang pemimpin mutlak memiliki penguasaan diri (menguasai dirinya) sebelum melakukan diagnosa organisasi. Pemimpin tidak lagi dikuasai kepentingan lain bersifat subyektif dan sempit (kepentingan pribadi, golongan, sektoral, etnis, suku, materi, dll). Pemimpin dituntut menjernihkan pikirannya agar diagnosa yang dilakukan dimotivasi kepentingan negara, kepentingan publik, kepentingan bersama, dan demi mewujudkan cita-cita luhur bangsa mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Karenanya, penting bagi seorang pemimpin menyadari (meski banyak hal dalam dirinya yang akan mempengaruhi pengambilan keputusan) kepentingan bangsa dan negara menjadi yang utama. Begitupun halnya pejabat eselon (I, II, III, dan IV), tarikan/pengaruh yang perlu diikuti adalah pengaruh yang mengarahkan pada pengambilan keputusan untuk kepentingan publik, negara, dan kepentingan bersama. Tarikan atau pengaruh lain boleh saja ada, namun tidak boleh dibiarkan besar. Apalagi mengalahkan kepentingan publik. Jadi, ketika melakukan diagnosa organisasi dapat dipastikan bahwa area perubahan yang dipilih dan cara dalam melakukan perubahan dimotivasi oleh kepentingan publik.
Selain itu, untuk terhindar dari kesalahan melakukan diagnosa organisasi, seorang pemimpin memerlukan teknis mendiagnosa organisasi. Kompetensi teknis berada di bawah disiplin ilmu organizational development (OD). Konsep tentang OD tersebut adalah:
“.... organizational diagnosis, involves “diagnosing,” or assessing, an organization’s current level of functioning in order to design appropriate change interventions. The concept of diagnosis in organization development is used in a manner similar to the medical model. For example, the physician conducts tests, collects vital information on the human system, and evaluates this information to prescribe a course of treatment. Likewise, the organizational diagnostician uses specialized procedures to collect vital information about the organization, to analyse this information, and to design appropriate organizational interventions (Tichy, Hornstein, and Nisberg: 1977).
Konsep OD tersebut memahamkan bahwa secara teknis, kegiatan mendiagnosa organisasi terdiri atas dua kegiatan, yakni menilai kinerja organisasi/unit organisasi pada masing-masing eselon, dan menyusun langkah-langkah intervensi untuk meningkatkan kinerja unit organisasi masing-masing eselon tersebut. Untuk menilai kinerja organisasi, seorang pemimpin perlu menggunakan teknik mengumpulkan data dan informasi vital, termasuk teknik menyusun langkah-langkah intervensi.
Menilai Kinerja Unit Organisasi
Terlebih dahulu pemimpin perlu menilai kinerja unit organisasi saat ini. Dalam menilai kinerja, pemimpin perlu melihat output dan outcome apa yang harus dipenuhi oleh organisasi. Data dan informasi tentang keduanya dapat diperoleh di Renstra, laporan kinerja, hasil observasi, atau dari narasumber. Juga pemimpin perlu mem-validasi informasi tersebut dengan observasi dan mendapatkan masukan dari narasumber yang dapat dipercaya.
Informasi tentang kinerja tidak semata diperoleh dari unsur output organisasi. Data dan informasi tentang kinerja bisa pula didapat dari input, business process termasuk lingkungan organisasi. Standar-standar kinerja masing-masing unsur ini tentu sudah ditetapkan. Misalkan, untuk unsur input yang berupa sumber daya manusia, tentu sudah ditetapkan standar-standar kualitas yang dibutuhkan oleh organisasi dalam rangka menjalankan proses untuk menghasilkan output. Begitu pun input lain seperti anggaran, proses tentu sudah ada standar-standar yang sudah harus dipenuhi.
Jika data dan informasi sudah dikumpul dan dianalisis, dan ditemukan bahwa ternyata unsur-unsur tersebut tidak memenuhi standar yang ditetapkan sehingga terdapat kesenjangan atau gap, maka gap itulah yang dapat menjadi sasaran dari obyek perubahan. Pun jika terpenuhi, maka gap dapat diciptakan dengan meningkatkan standar yang sudah terpenuhi. Dengan demikian, gaptercipta sebagai pintu masuk untuk melakukan perubahan.
Menyusun Langkah-Langkah Intervensi
Berangkat dari gap atau kesenjangan tersebut, langkah-langkah intervensi dapat disusun. Pertama deskripsikan secara terukur tentang kondisi kinerja yang diharapkan, sekaligus mendeskripsikan secara terukur tentang kondisi kinerja saat ini.
Pendeskripsian kedua hal di atas memperlihatkan kesenjangan atau gap. Untuk menutup kesenjangan tersebut, pemimpin perlu melakukan intervensi organisasi. Kemana intervensi akan diarahkan bergantung dari hasil analisis terhadap data dan informasi yang terkumpul. Untuk itu, diperlukan data dan informasi yang akurat. Pemimpin perlu turun ke lapangan, mengamati secara langsung apa yang terjadi. Pemimpin tidak boleh menyandarkan data dan informasi yang tertulis dalam dokumen, melainkan juga memerlukan data pengalaman (tacit knowledge).
Intervensi dapat diarahkan pada inputorganisasi sehingga sasaran perubahan bisa berupa perubahan terhadap sumber daya manusia, sarana dan prasarana, anggaran atau input lainnya. Intervensi juga dapat diarahkan pada business process, transformasi, atau cara organisasi mengolah input-nya seperti penggunaan teknologi informasi, simplifikasi sistem dan prosedur. Begitu pula intervensi dapat diarahkan pada output organisasi, termasuk lingkungan organisasi. Untuk suatu perubahan yang kompleks, intervensi dapat dilakukan secara berseri mulai dari input, proccess, output, hingga lingkungan.
Penutup
Seperti juga agenda lain, dalam rangka sosialisasi Diklatpim Pola Baru, alumni ToF Agenda DR yang dinyatakan kompeten dapat menjadi fasilitator pada penyelenggaraan ToF dan Diklatpim. Pada penyelenggaraan ToF, fasilitator diharapkan mampu membelajarkan agenda DR dengan memberikan pemahaman dan praktek menyusun bahan paparan (tayangan) tentang membangun kompetensi Diklatpim pola baru, sistem penyelenggaraan Diklatpim pola baru, kurikulum Diklatpim pola baru, dan skenario pembelajaran DR (refleksi, konsep dasar dan teori DR, aplikasi, dan evaluasi). Sementara pada pelaksanaan Diklatpim, fasilitator langsung membelajarkan skenario pembelajaran DR pada peserta sesuai dengan jenjang Diklatpim-nya (membelajarkan refleksi, konsep dasar dan teori DR, aplikasi, dan evaluasi).
Ada beberapa hal penting yang perlu ditekankan kepada peserta dalam agenda DR.
Pertama, agenda DR harus dipahami peserta secara pribadi. Berbagai metode yang digunakan dalam pembelajaran DR pun harus mengarah pada pemahaman peserta secara pribadi, bukan pemahaman kelompok. Pemahaman pribadi menjadi sangat penting mengingat DR merupakan senjata yang dipakai peserta untuk mensukseskan proyek perubahannya. Proyek perubahan itu sendiri merupakan proyek individu dan menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing peserta.
Kedua, fasilitator tidak diperkenankan untuk menyarankan peserta menggunakan salah satu metode atau alat tertentu dalam melakukan analisis permasalahan organisasi. Peserta diberi kebebasan untuk menggunakan alat yang paling dikuasai karena masing-masing alat memiliki keunggulan dan kelemahannya. Selain itu, penguasaan peserta terhadap metode juga berbeda-beda. Untuk itu, fasilitator dituntut memiliki pemahaman dan kemampuan untuk melakukan analisis dengan menggunakan alat atau metode apa pun. Jika peserta memerlukan pembimbingan dalam menerapkan metode tertentu, fasilitator harus siap melakukan pembimbingan.
Ketiga, peserta dirangsang serta dibimbing untuk menemukan beberapa isu strategis dalam organanisasinya. Fasilitator tidak diperkenankan untuk menekankan peserta pada salah satu isu strategis. Dari banyaknya isu strategis yang muncul, bisa jadi peserta belum mampu menemukan satu isu strategis yang akurat, sehingga ada kemungkinan isu tersebut berubah setelah melakukan pembimbingan dengan coach, mentor atau conselor. Selain itu, atasan langsung (mentor) peserta lebih paham kondisi organisasinya. Mentor jugalah yang memberi otorisasi terhadap proyek perubahan.
Keempat, pada agenda DR peserta harus mampu menemukan alternatif solusi pemecahan masalah organisasi. Solusi yang ditemukan masih dalam bentuk alternatif, karenanya terdapat beberapa solusi (lebih dari satu) dan belum diketahui solusi mana yang paling tepat. Ibarat pepatah “satu penyakit banyak obatnya” bukan “satu obat untuk banyak penyakit”.
Kelima, beberapa isu strategis dan alternatif solusi tersebut menjadi modal peserta agar siap melangkah ke tahap II dan tahap III. Dengan modal itu, peserta memiliki keberanian/motivasi untuk mengkomunikasikan masalah organisasi pada stakeholders, mendapat otorisasi/persetujuan dari atasan langsung, serta sebagai gambaran awal untuk merancang proyek perubahan (proposal) yang baik dan terarah sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi organisasinya.
Keenam, meski di tahap DR peserta sudah menemukan isu-isu strategis dan alternatif solusi permasalahan organisasinya, namun peserta belum menentukan tema atau judul proposal proyek perubahan. Menyusun tema atau judul proyek perubahan ada pada tahap II, dan diaplikasikan melalui proposal proyek perubahan pada tahap III.
Bahan Bacaan
1. Antony Robibins dalam Unlimited Power (Kuasa Tak Terbatas), penerjemah Arvin Saputra, Karisma Batam Center, Jakarta, 2005.
2. Herfetz, R., Grashow, A., Linsky M. dalam The Practice of Adaptive Leadership: Tools and Tactics for Changing Your Organization and The World, Harvard Bussiness Press, Boston Massachusetts, 1999.
3. Bahan Ajar Diklatpim Tk. IV Pola Baru Agenda Diagnostic Reading, LAN-RI, 2014.
4. Bahan Ajar Diklatpim Tk. III Pola Baru Agenda Diagnostic Reading, LAN-RI, 2014.
5. PP Nomor 101 Tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS.
6. Perka LAN-RI Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pedoman Peny. Diklatpim Tk. I.
7. Perka LAN-RI Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pedoman Peny. Diklatpim Tk. II.
8. Perka LAN-RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Pedoman Peny. Diklatpim Tk. III.
9. Perka LAN-RI Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Peny. Diklatpim Tk. IV.
Posting Komentar