Iqyzain I Make Up Artist and Wedding Gallery 20.01
“Sebuah negeri bisa menciptakan demokrasi politik dalam tempo 6 (enam) bulan dan bisa membangun ekonomi pasar selama 6 (enam) tahun. Tetapi tumbuhnya masyarakat sipil (civil society) yang kuat di Eropa Timur butuh waktu 60 (enam puluh) tahun”.

Begitulah Ralf Dahrendorf, seorang Sosiolog Jerman, mengilustrasikan betapa beratnya membangun sebuah masyarakat sipil yang kuat. Masyarakat sipil adalah pondasi sebuah bangsa. Sebagai pondasi, ia mampu mempengaruhi bahkan menentukan banyak hal dalam perjalanan sebuah bangsa. Kondisi ekonomi yang stabil misalnya,  tercermin dari sejauh mana masyarakat sipil mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar dan merata. Begitupun keadaan sosial budaya sebuah bangsa, yang hanya bisa terbentuk dari ekspresi hubungan antar individu dalam masyarakat serta ke

biasaan-kebiasaan yang menyertainya. Hal senada bisa terjadi dalam perkembangan dan penguasaan teknologi informasi. Kemampuan masyarakat memanfaatkan serta menguasai perkembangan teknologi informasi merupakan cerminan kemampuan sebuah bangsa dalam menjawab berbagai perkembangan dan perubahan jaman. Dalam bidang politik, terbebasnya masyakarat dari kungkungan budaya politik parokial-kaula menuju budaya politik partisipasi menunjukkan kesiapan sebuah bangsa menerapkan konsep demokrasi. Hal ini berarti kedewasaan politik masyarakat terbentuk melalui pendidikan politik yang mengarah kepada penguatan kesadaran masyarakat untuk memberi peran dalam sistem politik.

Ketika sistem politik terbentuk, hal yang paling logis dilakukan pemerintah adalah membangun pondasi kelembagaan. Pondasi kelembagaan tersebut haruslah kokoh, dan pondasi tersebut  hanya kokoh melalui dukungan sumber daya aparatur yang handal, handal secara keilmuan dan penguasaan teknologi informasi maupun handal dari segi mental spiritual. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah memformulasikannya dalam sebuah formula penanaman ilmu, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan (budaya) yang dirancang secara apik untuk membentuk aparatur yang kompeten dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Formula tersebutlah yang dikenal dengan Pendidikan dan Pelatiahan (Diklat).

Diklat Aparatur dan Tuntutan Perubahan

Diklat aparatur mengarah kepada tujuan yang sinergis dengan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mampu melayani dengan baik, aparatur pemerintah perlu memiliki kompetensi yang memadai seiring kian majunya tingkat pemahaman masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tak jarang, kesadaran tersebut mengarah kepada tuntutan kepada pemerintah untuk menyediakan sumber-sumber ekonomi yang bersifat spontan. Hal ini wajar dalam sebuah negara demokratis. Untuk itu, manajemen pelaksanaan Diklat aparatur harus mampu menjawab berbagai kemungkinan, segala perubahan dan semua perkembangan yang ada.

Perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks berimbas pula kepada perubahan tuntutan masyarakat terhadap administrasi pemerintahan. Hal ini ditandai dengan perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan negara dan kebutuhan kompetensi yang dipersyaratkan bagi aparatur dalam menyelenggarakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian, setiap aparatur khususnya pejabat struktural harus meningkatkan kinerjanya agar dapat mengakomodasikan kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Secara eksplisit masyarakat menghendaki adanya sumber daya aparatur yang berkualitas dan profesional, terlebih tuntutan dunia usaha dan kecenderungan perkembangan teknologi informasi dalam persaingan global mengharuskan setiap aparatur mampu membaca situasi dan mengantisipasi perubahan yang akan terjadi, sehingga dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya tersebut dapat menyesuaikan terhadap kemajuan-kemajuan dan dinamika yang terjadi di masyarakat.

Hal ini sejalan dengan  arah reformasi administrasi publik yang mengacu pada terselenggaranya kualitas pelayanan aparatur pemerintah yang ditandai dengan terselenggaranya good governance dan otonomi daerah yang semakin mantap guna mengatasi permasalahan bangsa, dan mewujudkan masyarakat madani (civil society) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah ini semakin kompleks karena dihadapkan pula pada lingkungan strategis yang sangat dinamis, yaitu gelombang globalisasi yang menuntut kualitas dan kompetensi tersendiri dari aparatur pemerintah.

Untuk itu Kementerian Dalam Negeri sesuai tugas dan tanggung jawabnya sebagai institusi pemerintah yang bertanggungjawab terhadap suksesnya penyelenggaraan otonomi daerah memegang peran penting dalam peningkatan kualitas sumber daya aparatur, baik di Lingkungan Kemendagri maupun pemerintah daerah. penyelenggaraan Diklat menjadi syarat mutlak guna mewujudkan kualitas aparatur yang kompeten dan handal guna menjawab berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin cepat dan dinamis.

Diklat aparatur bertujuan untuk membekali peserta dengan pengetahuan dan keterampilan kepemimpinan, pembimbingan pelaksanaan pekerjaan, pengelolaan kegiatan, pelaksaan program secara terkoordinasi, tertib, efektif dan efisien. Selain itu, derasnya arus perubahan jaman dan tuntutan globalisasi yang melanda semua negeri, menuntut aparatur mampu membaca segala kemungkinan dan peluang yang ada. Untuk mampu membaca peluang dan kemungkinan tersebut, penguasaan ilmu pengetahuan yang diimbangi keahlian dalam memanfaatkan teknologi informasi menjadi sangat urgen.

Penyelenggaraan Diklat yang hanya berlangsung dalam hitungan hari memang menjadi kendala utama dalam hal penguasaan dan pemanfaatan teknologi informasi bagi aparatur. Terlebih dihadapkan pada sebagian besar aparatur, terutama di daerah, yang masih tergolong gaptek (gagap teknologi), mengingat segala keterbatasan yang tak terelakkan di sebagian besar pemerintah daerah. Menyadari keterbatasan tersebut, pelaksanaan Diklat harus mampu menstimulus pola pikir aparatur untuk mampu secara sadar mengisi kekosongan-kekosongan cakrawala yang dimilikinya.

Karenanya, Diklat semata sebagai suplemen dasar untuk terus memperluas wawasan keilmuan dan memperkuat landasan mental spiritual serta agar mampu mengimbangi berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin dinamis dan terbuka, sekaligus dalam rangka menjawab berbagai tantangan dan perubahan jaman yang semakin cepat.

Masalah Yang Belum Teratasi

Formulasi peningkatan kompetensi aparatur melalui Diklat diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor : 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Peraturan yang lahir pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, yaitu (1) adanya tuntutan nasional dan tantangan global untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance), (2) menciptakan sumber daya aparatur yang kompeten, dan sekaligus (3) mengatur kembali ketentuan tentang Diklat PNS sebagaimana telah diatur dalam PP Nomor 14 tahun 1994 tentang Diklat PNS. Peraturan ini jugalah yang menjadi dasar pelaksanaan Diklat Prajabatan Golongan I, II dan III, Diklatpim Tk. IV, III, II dan I, serta pelaksanaan Diklat teknis.

Dalam prakteknya, pelaksanaan Diklat-diklat tersebut mengalami berbagai masalah, baik masalah teknis maupun substantif. Masalah teknis dapat beragam bentuk, terutama belum adanya Sandar Operasional Prosedur (SOP) yang dijadikan pedoman pelaksanaan. Mengatasi keterbatasan tersebut, lembaga Diklat pemerintah menyusun pedoman pelaksanaan. Meski demikian, tidak semua lembaga Diklat melakukan hal yang sama sehingga sangat menyulitkan peserta Diklat. Tidak adanya SOP tersebut semakin rumit ketika dihadapkan pada pemerintah daerah yang jauh dari akses informasi dan berpeluang pada tidak tercapainya tujuan Diklat akibat terabaikannya hal-hal yang bersifat teknis sekalipun.

Riil masalah teknis tersebut beragam bentuk. Mulai dari prosedur penetapan dan pemanggilan peserta, pakaian dan kelengkapan yang harus dibawa, kapan peserta harus melapor dan berada di tempat Diklat, persyaratan administrasi peserta terutama berupa surat tugas dan kelengkapan surat keterangan kesehatan, kepastian jadwal pembelajaran, kelayakan fasilitas Diklat, penyediaan materi Diklat, absensi peserta dan para Widyaiswara/tenaga pengajar, bagaimana menghubungkan kepentingan peserta dengan penyelenggara, ketentuan ijin dan meninggalkan tempat Diklat, keharusan menginap atau tidak di tempat Diklat sampai kepada evaluasi dan pemberdayaan lulusan Diklat. Masalah-masalah teknis ini menjadi sangat kompleks terutama dalam pelaksanaan Diklat yang berdurasi panjang seperti Diklat Prajabatan dan Diklat Kepemimpinan.

Masalah lain terkait akreditasi lembaga diklat, terutama ketika Diklat tersebut dilaksanakan oleh lembaga Diklat pemerintah yang belum terakreditasi oleh Instansi Pembina. Sebagaimana amanat PP Nomor 101 tahun 2000 tentang Diklat Jabatan PNS, Diklatpim Tk. IV, Tk. III dan Tk. II hanya dapat dilaksanakan oleh lembaga Diklat Pemerintah yang sudah terakreditasi, sementara Diklatpim Tk. I dilaksanakan oleh Instansi Pembina, yaitu LAN-RI. Lahirnya peraturan ini kemudian menjadi polemik yang berkepanjangan antar lembaga Diklat pemerintah, terutama LAN-RI sebagai Instansi Pembina dengan lembaga-lembaga Diklat Kementerian dan Non-Kementerian. Sebagaimana Keputusan Kepala LAN Nomor 194/XIII/10/6/2001 tentang Pedoman Akreditasi dan Sertifikasi Lembaga Diklat PNS Pasal 2 ayat (1) dan (2), akreditasi dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kelayakan lembaga Diklat dalam penyelenggaraan jenis dan dan jenjang Diklat tertentu. Unsur penilaiannya adalah keseluruhan komponen dari unsur-unsur kelembagaan Diklat, program Diklat, SDM penyelenggara Diklat, dan Widyaiswara. Artinya, LAN-RI memiliki kewenangan penuh untuk menentukan layak tidaknya sebuah lembaga Diklat dalam penyelenggaran Diklat, baik lembaga Diklat yang ada di Kementerian dan Non-Kementerian/Lembaga maupun Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Koordinasi dan Sinkronisasi Diklat

Beberapa kendala yang masih mengganjal khususnya terkait pembinaan aparatur melalui Diklat di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah adalah muatan beberapa Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) yang sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan dan perubahan yang ada serta adanya berbagai hal yang belum terakomodir dalam beberapa Kepmendagri tersebut. Untuk itu, revisi Kepmendagri menjadi pilihan yang mendesak untuk dilakukan. Saat ini Badan Diklat Kemendagri tengah merevisi paling tidak 2 (dua) Permendagri dan 1 (satu) Kepmendagri. Peraturan yang dimaksud adalah Kepmendagri Nomor 38 Tahun 2002 tentang Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan dan Kepemimpinan di Jajaran Departemen Dalam Negeri dan Daerah, Permendagri Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Rumpun Pendidikan dan Pelatihan Teknis Substantif Pemerintahan Daerah, dan Kepmendagri dan Otda Nomor 893.3-15 Tahun 2001 tentang Penataran Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Isteri Peserta Diklat Spama dan Spamen (Diklatpim Tingkat III dan II) di Jajaran Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.

Pertama, revisi Kepmendagri Nomor 38 Tahun 2002 tentang Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan dan Kepemimpinan di Jajaran Departemen Dalam Negeri dan Daerah dirasa sangat perlu untuk memenuhi persyaratan kompetensi dalam pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan pemenuhan persyaratan kompetensi jabatan struktural melalui Diklat Prajabatan dan Kepemimpinan yang berkualitas. Selain itu, Diklat yang berkualitas tersebut perlu diselenggarakan oleh lembaga Diklat yang juga berkualitas, yang dilakukan secara terkoordinasi dan berkesinambungan dengan memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan.

Koordinasi dan kesinambungan yang diusung melalui revisi Kepmendagri Nomor 38 Tahun 2002 terkait dengan Seleksi (terutama Seleksi Calon Peserta Diklatpim Tk. IV dan III), pola penyelenggaraan Diklat, akreditasi lembaga Diklat, pemanggilan peserta sampai kepada penerbitan Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP) dan nomor registrasi. Perhatikan diagram berikut :


Revisi ini mengakomodir beberapa hal yang belum sinkron dan tidak termuat dalam Kepmendagri Nomor 38 Tahun 2002, yang meliputi Diklat Prajabatan Golongan I, II dan III, Diklatpim Tk. IV, III, II dan I serta terkait akreditasi lembaga Diklat. Beberapa hal krusial yang perlu direvisi di antaranya :

1.     Diklat Prajabatan Golongan I dan II : Kurikulum dan materi pokok tetap ditentukan oleh Instansi Pembina, tetapi dengan pertimbangan untuk memuat materi Muatan Teknis Substansi Lembaga yang meliputi Muatan Pemerintahan Dalam Negeri oleh Kemendagri dan Muatan Lokal oleh Provinsi, Penandatanganan STTPP dikembalikan pada pimpinan lembaga Diklat terakreditasi, nomor registrasi dikembalikan kepada Instansi Pembina, evaluasi pasca Diklat dilakukan oleh lembaga Diklat Provinsi, laporan pelaksanaan Diklat perlu disampaikan pada Badan Diklat Kemendagri dan Instansi Pembina, dan perencanaan Diklat dilaporkan ke Instansi Pembina dan Badan Diklat Kemendagri, serta Badan Diklat Kemendagri mengeluarkan ijin prinsip penyelenggaraan Diklat bagi lembaga Diklat yang baru berdiri.
2.     Diklat Prajabatan Golongan III : kurikulum nasional oleh Instansi Pembina dan Muatan Teknis Substansi Lembaga oleh Badan Diklat Kemendagri dan lembaga Diklat Provinsi, penandatanganan STTPP dikembalikan pada pimpinan lembaga Diklat terakreditasi, nomor registrasi oleh lembaga Diklat Provinsi yang bersangkutan dengan melapor pada Badan Diklat Kemendagri dan Instansi Pembina, evaluasi pasca Diklat oleh Instansi Pembina bersama Badan Diklat Kemendagri dan lembaga Diklat Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan laporan pelaksanaan dan perencanaan Diklat kepada Badan Diklat Kemendagri dan Instansi Pembina.
3.     Diklatpim Tk. I tidak banyak berubah kecuali pada pada seleksi calon peserta Diklat yang sebelumnya hanya oleh Instansi Pembina, perlu melibatkan Badan Diklat Kemendagri dan lembaga Diklat Provinsi.
4.     Diklatpim Tk. II : untuk seleksi calon peserta masih senada dengan Diklatpim Tk. I, sementara dalam mekanisme penyelenggaraan dilakukan oleh Instansi Pembina dengan melibatkan Badan Diklat Kemendagri, dan yang lain tidak banyak berubah.
5.     Diklatpim Tk. III : seleksi calon peserta Diklat dilakukan oleh Badan Diklat Kemendagri melibatkan Instansi Pembina dan Tim Seleksi Peserta Diklat Instansi (TSPDI) Provinsi dan Kabupaten/Kota, nomor registrasi oleh Badan Diklat Kemendagri melibatkan lembaga Diklat Provinsi dan melapor ke Instansi Pembina, mekanisme penyelenggaraan oleh Instansi Pembina bersama Badan Diklat Kemendagri dan lembaga Diklat Provinsi dan Kabipaten/Kota, laporan pelaksanaan Diklat disampaikan kepada Instansi Pembina dan Badan Diklat Kemendagri, dan perencanaan Diklat oleh Badan Diklat Kemendagri.
6.     Diklatpim Tk. IV : seleksi calon peserta Diklatpim oleh lembaga Diklat Provinsi melibatkan TSPDI Kabupaten/Kota, STTPP oleh lembaga Diklat Provinsi  melibatkan TSPDI Kabupaten/Kota, nomor registrasi oleh lembaga Diklat Provinsi dengan melapor pada Badan Diklat Kemendagri dan Instansi Pembina, mekanisme penyelenggaran oleh lembaga Diklat Provinsi melibatkan TSPDI Kabupaten/Kota, laporan pelaksanaan Diklat kepada Instansi Pembina dan Badan Diklat Kemendagri, dan perencaan Diklat oleh lembaga Diklat Provinsi.
7.     Akreditasi : perlu pengkajian lebih mendalam tentang akreditasi baik ruang lingkup, proses maupun kewenangan instansi.

Tampaknya revisi Kepmendagri Nomor 38 Tahun 2002 ini lebih tertuju pada perubahan dan usaha mengakomodir beberapa hal terutama dalam Pelaksanaan Diklatpim Tk. IV dan III, sementara untuk Diklatpim Tk. II dan I lebih fokus menjadi kewenangan LAN-RI sebagai Instansi Pembina. Meski demikian, apapun kelak muatan final hasil revisi ini tetap mengedepankan pelaksanaan Diklat Aparatur sebagai bagian Integral dari Pembinaan Aparatur dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas PNS yang berdayaguna dan berhasilguna agar mampu memenuhi mutu secara profesional dan meningkatkan sikap pengabdian dan kesetiaan alumni kepada Negara Kesatuan Republik.

Kedua, revisi Permendagri Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Rumpun Pendidikan dan Pelatihan Teknis Substantif Pemerintahan Daerah, dengan tujuan untuk menyelaraskan dan sinkronisasi antara rumpun Diklat dan nama Diklat yang disesuikan dengan kebutuhan bagi masing-masing unsur penyelenggaraan pemerintah daerah sehingga muncul beberapa Diklat unggulan. Beberapa alasan yang dimunculkan adalah :

1.  Permendagri 37 Tahun 2008 belum mempertimbangkan penetapan jabatan fungsional sehingga Diklat perlu adanya penyesuaian.
2.  Nama–nama mata Diklat dalam Permendagri 37 tahun 2008 banyak yang belum dapat dibedakan dengan  Diklat Teknis Substantif Umum. Rumpun Diklat Teknis Substantif hanya memuat pengelompokkan Diklat yang memiliki karakteristik pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Diklat-diklat teknis yang bersifat umum tidak dimasukkan ke dalam rumpun diklat ini.
3.  Diklat sebagai bagian dari sistem penyelenggaraan pemerintahan harus memiliki fokus tertentu.
4.  Jenis Diklat di Permendagri 37 tahun 2008 masih terlalu banyak dan perlu disederhanakan sehingga muncul diklat prioritas sebagai diklat unggulan Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri yang sesuai dengan kebutuhan daerah.
5.  Ke depan, Diklat harus memiliki korelasi dengan pengembangan karir PNS.

Ketiga, revisi Kepmendagri dan Otda Nomor 893.3-15 Tahun 2001 tentang Penataran Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Isteri Peserta Diklat Spama dan Spamen (Diklatpim Tingkat III dan II) di Jajaran Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Kepmendagri ini diubah menjadi Pedoman Penyelenggaraan Orientasi Peranan Wanita Dalam Pembangunan Keluarga dan Bangsa bagi Isteri Peserta Diklatpim Tk. III di Lingkungan Kemendagri dan Pemda, sehingga cakupannya hanya untuk siteri peserta Diklatpim Tk. III dengan alasan bahwa Diklatpim Tk. II menjadi kewenangan Instansi Pembina. Permendagri ini juga sejalan dengan peraturan lain sebelumnya, yaitu Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan, Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarustamaan Gender Daerah, dan Kepmendagri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Daerah.

Permendagri tentang Orientasi ini disusun dalam rangka meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan para isteri Pejabat Struktural Esselon III, khususnya dalam memberikan dukungan bagi suami yang melaksanakan tugas-tugas pengabdian, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta agar mampu berperan aktif dalam pembangunan keluarga dan bangsa. Sebagian besar Mata Diklat yang diusung memang dirancang untuk memberi peluang yang besar kepada Isteri peserta Diklatpim Tk. III untuk ikut serta dalam pembangunan melalui dukungan terhadap tugas-tugas suami. Lahirnya Permendagri ini sekaligus memperkuat ciri khas Kemendagri dalam melakukan pembinaan terhadap aparatur di Lingkungan Kemendagri dan daerah, yang tidak dimiliki oleh Kementerian atau non Kementerian lain.

Diklat Penjenjangan Aparatur

Untuk mempersiapkan para pejabat (Eselon IV, III, II dan I) atau staf potensial untuk menduduki jabatan struktural, ditetapkanlah PP Nomor : 13 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor : 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural. Peraturan ini menjadi dasar pelaksanaan Diklat jabatan struktural, baik pejabat yang akan atau telah menduduki jabatan. Sebagai pedoman dalam penyelenggaraan Diklat jabatan struktural, LAN-RI sebagai Instansi Pembina menjabarkannya dalam 4 (empat) keputusan, yakni Keputusan Kepala LAN Nomor : 542/XIII/10/6/2001  tentang Pedoman Penyelenggaraan Diklatpim Tk. I untuk Diklatpim Tk. I, Keputusan Kepala LAN Nomor : 199/XIII/10/6/2001  tentang Pedoman Penyelenggaraan Diklatpim Tk. II untuk Diklatpim Tk. II, Keputusan Kepala LAN Nomor 540/XIII/10/6/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Diklatpim Tk. III untuk Diklatpim Tk. III, dan Keputusan Kepala LAN Nomor : 541/XIII/10/6/2001  tentang Pedoman Penyelenggaraan Diklatpim Tk. IV untuk Diklatpim Tk. IV.

Sebagai pelaksana urusan pemerintahan di bidang urusan dalam negeri dan otonomi daerah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) menetapkan Permendagri Nomor : 31 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah dan Kepmendagri Nomor : 38 Tahun 2002 tentang Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan dan Kepemimpinan di Jajaran Departemen Dalam Negeri dan Daerah (peraturan yang disebutkan terakhir sedang dalam proses revisi).

Sebagai dasar pelaksanaan Diklat struktural, PP Nomor : 13 Tahun 2002 Pasal 7 ayat (1)  mengatur keharusan mengikuti dan lulus Diklatpim sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan untuk jabatan tersebut bagi PNS yang akan atau telah menduduki jabatan struktural. Selanjutnya ayat (2) berbunyi : PNS yang telah memenuhi persyaratan kompetensi jabatan struktural tertentu dapat diberikan sertifikat sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh instansi pembina dan instansi pengendali serta dianggap telah mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan kepemimpinan yang dipersyaratkan untuk jabatan tersebut.

Penerapan PP Nomor : 13 Tahun 2002 (Pasal 7) ini ternyata juga berdampak pada beberapa hal, mulai dari seleksi calon peserta Diklat sampai kepada keharusan mengikuti Diklat bagi pejabat yang sudah menduduki jabatan struktural. Di daerah banyak bermunculan pertanyaan terkait pelaksanaan seleksi dan Diklatpim pasca penerapan PP Nomor : 13 Tahun 2002. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah terkait seleksi Diklatpim bagi pejabat yang sudah menduduki jabatan struktural. Sejauh ini, Badan Diklat Kemendagri tetap melakukan seleksi meski pejabat tersebut sudah menduduki jabatan struktural atau bahkan tengah mengikuti Diklatpim yang dipersyaratkan sementara menurut ketentuan hal itu tidak lagi diperlukan. Seleksi tersebut biasa dikenal dengan seleksi khusus, dilakukan dengan alasan untuk menerapkan asas persamaan dan kesetaraan bahwa semua pejabat yang menduduki jabatan struktural harus mengikuti seleksi. Tentu saja seleksi tersebut hanya bersifat administratif dan tidak ada alasan untuk tidak lulus.

Permasalahan lain yang muncul terkait korelasi Diklatpim dengan pengembangan karir PNS. Harus diakui persoalan ini sebagai persoalan klasik yang sensitif di kalangan PNS pusat maupun daerah. Hal ini dimulai dari ketidakpastian calon peserta Diklatpim yang sudah lulus seleksi Diklatpim yang dipersyaratkan tetapi tidak pernah diikutsertakan dalam Diklatpim terkait. Tak jarang PNS yang sudah mengikuti Diklatpim yang dipersyaratkan tetapi tidak memiliki kesempatan untuk menduduki jabatan struktural. Di lain sisi, tak jarang pula pejabat yang sudah menduduki jabatan struktural tetapi sudah lama tidak mengikuti Diklatpim yang dipersyaratkan. Bahkan terdapat beberapa kasus pejabat yang menduduki jabatan struktural tidak pernah mengikuti Diklatpim setingkat atau dua tingkat di bawah jabatan yang dipersyaratkan. Hal ini berakibat pada kecenderungan pejabat untuk mengejar jabatan struktural tanpa diimbangi dengan kompetensi jabatan yang dipersyaratkan. Jika ini yang terjadi, perlu dipertanyakan peran Instansi Pembina dan Badan Diklat Kemendagri sebagai koordinasi pelaksanaan Diklat aparatur di daerah.

Beberapa kasus unik juga terjadi di daerah, misalnya terdapat peserta seleksi Diklatpim Tk. III yang belum pernah mengikuti seleksi dan Diklatpim Tk. IV. Hal ini bisa terjadi salah satunya karena sebelumnya telah menduduki jabatan “Eselon V” (biasanya ini terjadi dalam beberapa kasus peserta seleksi yang sudah mendekati Batas Usia Pensiun yang sebelumnya menduduki jabatan tertentu tapi bukan eselon IV).

Penutup

Pembinaan SDM aparatur merupakan keharusan yang tak bisa ditawar dewasa ini, terlebih ketika penguatan masyarakat sipil menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Jika tolok ukur tersebut menjadi standar, maka penguatan masyarakat sipil haruslah ditandai dengan menguatnya masyarakat sipil secara kolektif dalam ruang publik untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat, pilihan, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi, mencapai sasaran kolektif, mengajukan tuntutan pada negara, memperbaiki fungsi struktur negara, dan untuk menuntut akuntabilitas negara. Sadar atau tidak, masyarakat sipil adalah suatu kehidupan sosial berorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama.

Ketika penguatan masyarakat sipil menjadi pilihan logis dalam dinamika perubahan yang semakin mengglobal, maka penguatan kompetensi aparatur dalam bidang pelayanan dan kepemimpinan menjadi hal yang tak dapat ditawar pula. Penguatan kompetensi tersebut harus benar-benar terakumulasi secara wajar dan mudah melalui distribusi yang merata sehingga tidak ada alasan bagi aparatur untuk memiliki kecenderungan mengejar jabatan struktural semata tanpa diimbangi dengan kompetensi yang dipersyaratkan.

Berbagai kendala yang menghambat sudah saatnya disuplemen secara serius. Alokasi dana dan dukungan sarana dan prasarana perlu direformulasi agar mampu memetakan berbagai kebutuhan dasar, penunjang dan tambahan dalam rangka optimalisasi peningkatan kompetensi aparatur dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelayanan yang cepat, tepat dan murah kepada masyarakat.

* Zainudin, M.Si. (Badan Diklat Kemendagri)

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.